KETIKA kalender menuju tahun baru, harapan akan kehidupan yang lebih baik kembali mengemuka di hati jutaan buruh Indonesia. Pemerintah telah mengumumkan kenaikan upah minimum sebesar 6,5 persen pada tahun 2025.
Meski bagi sebagian orang angka ini terlihat kecil, bagi buruh ini adalah secercah harapan yang berarti. Kenaikan ini membuat rata-rata upah minimum provinsi (UMP) nasional menjadi Rp3.315.728, atau naik sekitar Rp202.368 dari tahun lalu. DKI Jakarta menjadi provinsi dengan UMP tertinggi, yaitu Rp5.396.761, sedangkan Jawa Tengah memiliki UMP terendah sebesar Rp2.169.349. Kenaikan UMP ini dihitung dengan menambahkan 6,5 persen dari UMP tahun 2024.
Daerah yang memiliki banyak kawasan industri, seperti Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Banten, diminta memperkuat dialog antara pemerintah, pengusaha, dan buruh. Pemerintah Pusat akan terus memantau pelaksanaan aturan ini di daerah dan memberikan bantuan jika diperlukan.
Namun, beberapa pihak mengkritik kebijakan ini. Sekjen OPSI menilai kenaikan 6,5 persen terlalu seragam dan tidak mencerminkan kondisi ekonomi tiap daerah. Asosiasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (ASPSI) juga mengungkapkan masih ada buruh yang sudah lama bekerja tetap menerima upah minimum sehingga pemerintah perlu menurunkan harga kebutuhan pokok sebelum menaikkan UMP.
Kenaikan UMP ini mencerminkan komitmen pemerintah untuk menjaga kesejahteraan buruh di tengah tantangan ekonomi global. Dengan inflasi yang terus mengintai dan harga kebutuhan pokok yang cenderung meningkat, tambahan ini bukan sekadar angka. Ini merupakan upaya untuk melindungi daya beli masyarakat kelas buruh. Namun, apakah ini cukup untuk menjawab kebutuhan hidup yang semakin kompleks?
Harapan di Tengah Keterbatasan
Bagi buruh pabrik, pegawai toko, dan jutaan buruh di sektor informal, kenaikan upah minimum bukan hanya soal angka di slip gaji. Ia melambangkan pengakuan atas kerja keras mereka yang sering terabaikan. Di balik setiap rupiah, ada cerita tentang keluarga yang mencoba bertahan, anak-anak yang berharap bisa sekolah lebih tinggi, dan impian kecil yang ingin diwujudkan.
Bagi seorang buruh pabrik, kenaikan ini bisa berarti tambahan untuk biaya sekolah anaknya atau sekadar memastikan meja makan tak pernah kosong. Kebijakan ini sejalan dengan Konvensi ILO Nomor 131 yang menekankan pentingnya upah layak sebagai bagian dari penghormatan terhadap martabat buruh. Rahmi dan Riyanto (2022) menunjukkan bahwa kenaikan upah minimum dapat berdampak positif pada produktivitas tenaga kerja. Artinya, ketika buruh dihargai lebih baik, mereka akan lebih bersemangat dan produktif.
Namun, tak bisa disangkal bahwa kenaikan ini tetap berada dalam keterbatasan. Bagi banyak keluarga buruh, kenaikan 6,5 persen mungkin hanya cukup untuk menutupi kenaikan biaya hidup yang terus merangkak. Harga bahan makanan, transportasi, dan biaya pendidikan sering kali naik lebih cepat dari kenaikan upah itu sendiri. Meski demikian, sedikit tambahan ini tetap membawa napas baru bagi mereka yang selama ini terhimpit kesulitan.
Di sisi lain, pengusaha menghadapi dilema yang tak kalah berat. Kenaikan upah berarti peningkatan biaya operasional, terutama bagi usaha kecil dan menengah yang masih berjuang pulih dari dampak pandemi. Bagi sebagian pengusaha, ini menjadi tantangan untuk tetap menjaga kelangsungan bisnis tanpa harus mengorbankan kesejahteraan buruh. Di sinilah perlunya dialog terbuka antara buruh, pengusaha, dan pemerintah untuk mencari solusi yang saling menguntungkan.
Bagi pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM), perjuangan untuk menjaga keberlangsungan usaha sudah cukup berat. Tambahan beban biaya tenaga kerja ini bisa menjadi tantangan besar jika tidak disertai dengan kebijakan pendukung, seperti insentif atau pelatihan. Menurut Indria Nurhakim (2015), pelaku UMKM kerap berada di persimpangan sulit, antara menaikkan gaji sesuai aturan atau tetap menjaga stabilitas usaha mereka.
Oleh karena itu, pemerintah perlu mempertimbangkan kebijakan pendukung yang komprehensif untuk memitigasi dampak negatif dari kenaikan upah minimum. Langkah-langkah seperti pelatihan keterampilan bagi buruh berpendidikan rendah, insentif bagi UMKM, dan dialog sosial antara pemerintah, pengusaha, dan buruh menjadi krusial dalam memastikan bahwa kebijakan upah minimum mencapai tujuan utamanya, yaitu meningkatkan kesejahteraan buruh tanpa mengorbankan pertumbuhan ekonomi dan kesempatan kerja. Pemerintah juga harus berkomitmen menjaga inflasi di rentang 1,5–3,5 persen. Inflasi rendah dapat merugikan produsen, sedangkan inflasi tinggi akan memberatkan masyarakat.
Menuju Kesejahteraan yang Berkelanjutan
Kenaikan upah minimum adalah langkah kecil dalam perjalanan panjang menuju kesejahteraan yang berkelanjutan. Selain kenaikan upah, buruh juga membutuhkan jaminan sosial yang memadai, akses pendidikan, dan pelatihan keterampilan untuk meningkatkan daya saing.
Pemerintah perlu memastikan kebijakan ini diiringi dengan langkah-langkah strategis lainnya, seperti stabilisasi harga kebutuhan pokok dan pengembangan lapangan kerja yang layak. Di sisi lain, buruh diharapkan dapat memanfaatkan tambahan ini dengan bijak. Pengelolaan keuangan yang baik, investasi dalam pendidikan, dan pengembangan keterampilan menjadi kunci untuk keluar dari lingkaran kemiskinan.
Kenaikan upah minimum sebesar 6,5 persen mungkin tidak dapat menjawab semua permasalahan yang dihadapi buruh. Namun, ini menjadi secercah harapan di tengah gelombang ketidakpastian. Sebagai pengingat bahwa perjuangan menuju kesejahteraan adalah tugas bersama yang membutuhkan kerja sama dan empati dari semua pihak.
Bagi para buruh, ini adalah pesan bahwa kerja keras mereka dihargai. Bagi pengusaha, ini adalah tantangan untuk berinovasi dan beradaptasi. Dan bagi pemerintah, ini adalah panggilan untuk terus berupaya memberikan kebijakan yang berpihak pada rakyat. Tahun 2025 adalah babak baru, sebuah kesempatan untuk melangkah lebih jauh menuju Indonesia yang lebih adil dan sejahtera. Semoga secercah harapan ini menjadi sinar yang menerangi jalan panjang perjuangan kita bersama. *