WAKIL Presiden RI Gibran Rakabuming Raka menyampaikan arahan dalam Rapat Koordinasi Evaluasi Pendidikan Dasar dan Menengah di Hotel Sheraton Grand Jakarta. Kegiatan yang dilaksanakan pada 11 November 2024 itu berisi wacana penerapan pembelajaran coding di tingkat pendidikan dasar, meliputi SD dan SMP.
Lalu, sampai manakah tingkat urgensi implementasi kebijakan ini sehingga sudah selayaknya diberlakukan, serta indikator apa saja yang perlu dipersiapkan agar hal baru yang menyasar pada penguasaan teknologi ini dapat benar-benar berpihak pada siswa secara umum. Bukan hanya menyentuh siswa di kota-kota besar yang seolah sudah mewakili kualitas pendidian di seluruh bagian Indonesia.
Merilis hasil pendataan dari Badan Pusat Statistik (BPS) yang telah memperkirakan bahwa penduduk Indonesia yang tinggal di wilayah perkotaan sejumlah 66,6 persen pada tahun 2035. Sedangkan pada 2020, jumlah populasi yang tinggal di perkotaan diperkirakan mencapai 57,3 persen dari populasi total Indonesia. Pendataan yang dilakukan selama lima tahun sekali ini mengindikasikan bahwa hampir setengah penduduk Indonesia masih tinggal di pedesaan.
Hampir samanya jumlah penduduk yang tinggal di perkotan dan pedesaan akan berimbas secara langsung pada dunia pendidikan. Kesenjangan pada kemampuan penguasaan serta fasilitas digital antara pusat kota, kota pinggiran, dan desa saat ini masih menjadi kendala bagi pemerataan digitalisasi pendidikan. Kesenjangan digital mengacu pada mereka yang memiliki akses ke teknologi digital dan internet dengan mereka yang tidak.
Dalam konteks pendidikan dasar (SD dan SMP) di Indonesia, kesenjangan digital masih menjadi perhatian yang signifikan. Hal ini dikarenakan teknologi yang semakin berperan penting dalam pembelajaran modern dan sumber daya pendidikan. Pemetaan kesenjangan digital dalam pendidikan sekolah di Indonesia melibatkan identifikasi kesenjangan akses perangkat digital dan konektivitas internet antara siswa dan sekolah di berbagai wilayah dan latar belakang sosial ekonomi.
Adanya perbedaan ketersediaan konektivitas internet, menjadi salah satu aspek utama kesenjangan digital di sekolah-sekolah Indonesia. Sementara daerah perkotaan, khususnya pusat perkotaan, umumnya memiliki infrastruktur internet yang lebih baik dan penetrasi internet yang lebih tinggi, sementara daerah pinggiran kota, pedesaan dan atau terpencil sering kesulitan dengan akses internet yang terbatas atau tidak ada sama sekali (blank spot).
Kurangnya konektivitas ini menghambat akses siswa ke sumber belajar online, platform pendidikan, dan alat digital. Dan hal ini menempatkan mereka pada posisi yang kurang menguntungkan dibandingkan dengan rekan mereka di perkotaan dalam hal digitalisasi pembelajaran.
Bahkan jika beberapa sekolah memiliki akses ke perangkat digital dan konektivitas internet, kualitas dan keragaman konten pendidikan yang tersedia secara online dapat sangat bervariasi dan membingungkan. Sekolah dan lembaga swasta yang didanai dengan baik, mungkin mampu membayar langganan ke platform pendidikan yang komprehensif, memberikan siswa berbagai sumber daya dan materi pembelajaran interaktif. Tetapi, sebaliknya, sekolah kurang mampu atau pinggiran tentu memiliki akses sangat terbatas atas konten semacam itu. Masalah perbedaan ini pun akan berdampak pada kualitas pendidikan secara keseluruhan.
Beberapa solusi terkait kesenjangan digitalisasi pendidikan bisa diberikan, yaitu penyediaan infrastruktur digital untuk sekolah yang tidak dapat mengakses internet. Pemerintah tidak harus mendistribusikan gawai terlebih dahulu ke tiap sekolah, tetapi mulai dengan mendistribusikan materi pembelajaran secara offline untuk setiap sekolah di awal sebagai sarana digital utama.
Penyediaan ini dapat melayani semua perangkat digital, seperti smartphone, tablet maupun laptop tanpa menggunakan internet atau data. Hal ini dilakukan agar masyarakat bisa memanfaatkan materi digital yang sudah ada untuk pembelajaran tanpa perlu akses internet.
Libur sekolah saat ini, yang menyisakan waktu satu semester ke depan untuk tahun ajaran 2024-2025 diharapkan menjadi tenggat bagi pemegang kebijakan untuk dapat memulai kembali program penyetaraan teknologi ini. Semester dua akan dimulai hampir serentak di seluruh Indonesia, yaitu tanggal 2 Januari 2025. Dan saat semester di tahun baru itu terlaksana, hendaknya beberapa permasalahan pendidikan di tahun sebelumnya telah mendapatkan solusi terbaik.
Indikator keberhasilan pembelajaran yang digagas kementerian adalah adanya partisipasi siswa dalam pendidikan Indonesia yang merata, pembelajaran yang efektif dan tidak adanya ketertinggalan peserta didik. Mari bersama kita kawal dan upayakan pencapaian indikator ini agar dapat selalu berjalan efektif dan optimal.
Hal ini seyogyanya menjadi pemikiran bersama untuk mendapatkan solusi terbaik agar prioritas Merdeka Belajar yang utama, yaitu digitalisasi pembelajaran dan sekolah, dapat menyentuh akar rumput, yaitu pendidikan pada masyarakat dan peserta didik marginal.
Implementasi pembelajaran coding bisa diasumsikan seperti bagaimana kita menyediakan remedial bagi siswa yang belum menguasai pembelajaran dan enrichment/pengayaan bagi siswa yang sudah melampaui pemahaman pembelajaran. Jadi, tidak boleh disamakan dalam satu kurikulum untuk setiap kondisi yang berbeda. Hal ini dilakukan agar kesenjangan pembelajaran digital tidak lebih melebar.
Dengan mengenali perbedaan dan mengimplementasikan inisiatif yang ditargetkan, pemerintah serta pemangku kepentingan pendidikan dapat bekerja untuk menciptakan sistem pendidikan yang lebih inklusif dan merata secara digital. Agar jargon pendidikan untuk semua, sebagai ikhtiar memperkuat pilar pendidikan, dapat dipastikan menyentuh semua target belajar, dan siswa memiliki kesempatan yang sama untuk berkembang di era digital saat ini.
Langkah yang dianggap penting dan bertujuan agar Indonesia dapat bersaing dengan negara lain yang telah menghasilkan banyak tenaga ahli di bidang teknologi ini, sebaiknya mendapatkan kajian lebih mendalam agar implementasi pembelajaran coding di pendidikan dasar dapat lebih efektif dan efisien. *