Penanggulangan Banjir

M Thoha B Sampurna Jaya Akademisi Universitas Lampung DI seluruh Indonesia, tercatat sekitar 5.590 sungai induk dan ada 600-an di antaranya berpotensi menimbulkan banjir. Daerah rawan banjir yang dicakup sungai-sungai induk ini mencapai 1,4 juta hektare. Dari berbagai kajian yang telah dilakukan, banjir yang melanda daerah-daerah rawan pada dasarnya disebabkan oleh penebangan hutan liar yang menyebabkan hutan gundul, pembuangan sampah yang sembarangan, permukiman di bantaran kali, daerah yang datarannya rendah, curah hujan yang tinggi, drainase yang diubah tanpa mengindahkan amdal, bendungan yang jebol, sistem kelola tata ruang yang salah, terjadinya gempa dan tsunami, dan tanah tidak mampu menyerap air. Secara umum, banjir dapat dikelompokkan menjadi tiga. Pertama, kegiatan manusia yang menyebabkan terjadinya perubahan tata ruang dan berdampak pada perubahan alam. Kedua , peristiwa alam seperti curah hujan sangat tinggi, kenaikan permukaan air laut, badai, dan sebagainya. Ketiga , degradasi lingkungan seperti hilangnya tumbuhan penutup tanah pada area tangkapan air, pendangkalan sungai akibat sedimentasi, penyempitan alur sungai, dan sebagainya. Banjir tidak hanya meluluhlantakkan perumahan dan permukiman, tetapi juga merusak fasilitas pelayanan sosial ekonomi masyarakat dan prasarana publik, bahkan menelan korban jiwa. Kerugian semakin besar jika kegiatan ekonomi dan pemerintahan terganggu bahkan terhenti. Meskipun partisipasi masyarakat dalam rangka penanggulangan banjir sangat nyata, terutama pada aktivitas tanggap darurat, banjir menyebabkan tambahan beban keuangan negara, terutama untuk merehabilitasi dan memulihkan fungsi sarana dan prasarana publik yang rusak. Di Provinsi Lampung, daerah aliran sungai (DAS) mengalami pendangkalan, seperti di (1) Sungai Tulangbawang di Lampung Utara (termasuk anak Sungai Way Pedada, Way Kanan/Sungkai, Way Umpu, Way Buyut, Way Papan, Way Bujuk ); (2) Way Terusan di Lampung Tengah, dengan anak‑anak sungainya seperti Way Penanggung, Way Sari, Way Tapui, Way Bunut, Way Kembang, dan Way Basung. Kemudian, (3) Way Pangubuan di Lampung Tengah, dengan anak‑anak sungainya seperti Way Juruitung, Way Bundan, Way Lempuyang; (4) Way Seputih di Lampung Tengah, dengan anak-anak sungainya seperti Way Tipo, Way Waya, Way Rumbia. Lalu, (5) Way Pegadungan di Lampung Tengah, dengan anak sungainya seperti Way Raman, Way Sukadana, dan Way Batanghari; (6) Way Sekampung di Lampung Tengah dan Lampung Selatan, dengan anak‑anak sungainya seperti Way Kandis, Way Galih, Way Huwi, Way Bekarang, dan Way Ketibung, dan sungai lain yang bermuara di laut. Penanggulangan dan Solusi Terjadinya banjir dapat terjadi dalam waktu relatif pendek dan terulang tiap tahun. Hal ini menuntut kebijakan dan program lebih serius mengantisipasinya sehingga kerugian dapat diminimalkan. Beragam upaya pemerintah yang bersifat struktural ( structural approach ) ternyata belum sepenuhnya mampu menanggulangi masalah banjir di Indonesia, termasuk di Provinsi Lampung. Penanggulangan banjir selama ini lebih terfokus pada penyediaan bangunan fisik pengendali banjir untuk mengurangi dampak bencana. Selain itu, meskipun kebijakan nonfisik—yang umumnya mencakup partisipasi masyarakat—dalam penanggulangan banjir sudah dibuat, tetapi belum diimplementasikan secara baik, bahkan tidak sesuai kebutuhan masyarakat sehingga efektivitasnya dipertanyakan. Kebijakan sektoral, sentralistik, dan top-down tanpa melibatkan masyarakat sudah tidak sesuai dengan perkembangan global yang menuntut desentralisasi, demokrasi, dan partisipasi pemangku kepentingan, terutama masyarakat yang terkena bencana. Pertanyaannya adalah siapa yang disebut masyarakat? Seberapa jauh masyarakat dapat berpartisipasi? Pada tahapan mana masyarakat dapat berpartisipasi? Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tersebut harus menjadi pertimbangan dalam merumuskan dan melaksanakan kebijakan partisipasi masyarakat dalam penanggulangan banjir. Penanggulangan banjir yang hanya melulu pembangunan fisik ( structural approach ) harus disinergikan dengan pembangunan nonfisik ( non-structural approach ), yang menyediakan ruang lebih luas bagi munculnya partisipasi masyarakat, sehingga hasilnya lebih optimal. Dari penjelasan itu, kebijakan penanggulangan banjir yang bersifat fisik harus diimbangi dengan langkah-langkah nonfisik, sehingga peran masyarakat dan pemangku kepentingan lainnya diberi tempat yang sesuai. Agar penanggulangan banjir lebih integratif dan efektif, diperlukan tidak hanya koordinasi di tingkat pelaksanaan, tetapi juga di tingkat perencanaan kebijakan, termasuk partisipasi masyarakat dan pemangku kepentingan lainnya. Atas dasar pertanyaan dan pertimbangan itu, perlu adanya institusi yang ditugaskan mengoordinasikan perencanaan penanggulangan banjir, yang mengkaji kebijakan penanggulangan banjir secara komprehensif dan tidak bias sektor dan wilayah, dengan penekanan pada partisipasi masyarakat dalam penanggulangan banjir. Dalam rangka mengurangi dampak banjir, perlu berbagai kebijakan dan program penanggulangan, baik yang bersifat pencegahan, intervensi, maupun pemulihan. Pada tahap prabencana dilakukan (1) membuat peta rawan bencana; (2) membangun, meningkatkan, memperbaiki atau normalisasi, dan memelihara sungai, tampungan air, dan drainase beserta peralatan dan fasilitas penunjangnya. Banjir terjadi dalam waktu relatif pendek dan berulang setiap tahun, sehingga menuntut kebijakan lebih serius dalam mengantisipasinya. Lalu, (3) menyusun peraturan dan menertibkan daerah bantaran sungai; (4) membuat peta daerah genangan banjir; (5) sosialisasi dan pelatihan prosedur tetap penanggulangan banjir; (6) menegakkan hukum terhadap pelanggaran pengelolaan daerah aliran sungai; (7) menyediakan cadangan pangan dan sandang serta peralatan darurat banjir lainnya. Kemudian, (8) membuat sumur resapan; (9) pemantapan satkorlak bencana banjir; (10) merevisi tata ruang provinsi maupun kota/kabupaten secara terkoordinasi dan terintegrasi; (11) mengendalikan perkembangan lingkungan dan pengembangan daerah hulu; (12) membuat penampungan air dengan teknologi; (13) menerapkan pengelolaan sungai terpadu berdasarkan satuan wilayah sungai (SWS) dan memberdayakan kelembagaan pengelolaan SWS. Selain itu, (14) membangun fasilitas pengolah limbah dan sampah yang terpadu; (15) mereboisasi kota/kabupaten dan daerah hulu; (16) mendirikan posko banjir di wilayah RT dan RW/dusun, (17) pembuatan sumur resapan, pembuatan biopori di lahan pekarangan; dan atau penggunaan konblok untuk lahan pekarangan. Kebijakan dan program pada tahapan ketika terjadi bencana berupa (1) pemberitahuan dini kepada masyarakat tentang kondisi cuaca; (2) menempatkan petugas pada pos-pos pengamatan; (3) menyiapkan sarana penanggulangan. Lalu; (4) mengevakuasi dan mengungsikan penduduk ke daerah aman, sesuai yang telah direncanakan dengan memanfaatkan seluruh komponen masyarakat, TNI, Polri, Satlak PBP, Satkorlak PBP, Badan SAR Nasional (Basarnas), dan Karang Taruna; (5) memberikan bantuan pangan, pakaian, dan peralatan kebutuhan lainnya, serta pelayanan kesehatan darurat kepada korban bencana; (6) mendata lokasi dan jumlah korban bencana. Pada tahap setelah banjir, kebijakan dan program yang telah dilakukan bersifat fisik dan nonfisik. Program dan kegiatan fisik yang dilakukan adalah (1) pendataan kerusakan bangunan dan fasilitas publik; (2) memperbaiki prasarana publik yang rusak. Kemudian, (3) pembersihan lingkungan; program kegiatan nonfisik dapat berupa sosialisasi mitigasi bencana banjir, peningkatan pelatihan keterampilan menanggulangi banjir, dan melakukan penegakan hukum, sehubungan dengan penanggulangan banjir, antara lain penertiban penggunaan lahan secara illegal, penertiban penggunaan lahan di garis sepadan sungai. Kesimpulan Program nonfisik berupa keterlibatan dan pemberdayaan masyarakat secara nyata dalam menjaga agar tidak terjadinya banjir, membudayakan hidup sehat dan bersih, serta tidak membuang sampah sembarangan menjadi bagian yang penting dalam mengambil kebijakan pengelolaan banjir. Perlu diwujudkannya kanal–kanal dan embung-embung yang akan memberi kemudahan dalam mengendalikan banjir di perkotaan maupun perdesaan. Dengan demikian, selain perangkat peraturan yang dilaksanakan dengan konsisten, menumbuhkembangkan sikap dan perilaku yang peduli terhadap lingkungan memerlukan juga pendekatan yang lebih edukatif dan adaptif dari aspek human ecology sejak dini melalui berbagai media yang ada. Secara konseptual, dapat disimpulkan bahwa terjadinya banjir karena manajemen bencana yang lemah dan terbatasnya program pananggulangan bencana banjir, rendahnya tingkat kepedulian pengambil keputusan dan masyarakat terhadap pelanggaran tata ruang dan pemanfaatan lahan di bantaran sungai, lemahnya penegakan hukum lingkungan dan pelaksanaan peraturan yang ada, kurangnya koordinasi antarlembaga pemerintah yang terkait, dan terbatasnya dana pemerintah untuk penanggulangan banjir,

Penanggulangan Banjir

Campur Tangan Manusia dalam Susunan Menhir

Manfaat Aerobik untuk Kesehatan Otak

Chairil Anwar

Manfaat Aerobik untuk Kesehatan Otak

Empat Perubahan dalam Transformasi Digital

Ingin Mandiri, Dodit Mulyanto Tinggal di Hutan

Sopir Truk Mengamuk di Merak

Israel Terus Tangkapi Warga di Al-Aqsha

BERITA TERBARU

TOP NEWS

Kreatif Hadapi Efisiensi Anggaran

Pendaftar Jalur SNBP Itera dan Unila Terus Bertambah

Perhotelan Turun hingga 50 Persen Akibat Efisiensi Anggaran

Panitia Universitas Tak Bisa Tangani Kasus Gagal PDSS

Efisiensi Anggaran ke Daerah Berlaku untuk DAK dan DAU

Eva Dwiana Resmikan JPO Milenial

Optimalkan Ekonomi Biru dan Hijau untuk Tingkatkan Kebijakan Fiskal

Penanganan Korupsi Berlanjut

Awasi Kebijakan Harga Singkong di Lapangan

Capaian Pengamanan Lampung dan Sinergi Pusat-Daerah

POPULAR POST

BPK RI Periksa Keuangan Polres Lampung Timur

Pelantikan Pimpinan DPRD Lampura Berlangsung Sederhana

Koran Digital Lampung Post, Edisi Jum’at, 23 Mei 2025

Koran Digital Lampung Post, Edisi Weekend, 25 Mei 2025

Koran Digital Lampung Post, Edisi Rabu, 28 Mei 2025

Tentang Kami

Alamat Kami

Iklan & Sirkulasi

Selamat Datang kembali!

Ambil kata sandi Anda