MENGUTIP berita Antara pada Minggu (27/10/2024), Prof. Ova Emilia, rektor Universitas Gadjah Mada, mengatakan bahwa perguruan tinggi seyogianya tidak hanya fokus menghasilkan lulusan yang berpengetahuan (knowledgable), tetapi juga yang memiliki sifat-sifat unggul yang memungkinkan mereka bertindak sebagai agen perubahan di dalam masyarakat. Bagaimana perguruan tinggi memaknai sifat-sifat unggul tersebut dalam rangka menjalankan peran persiapannya?
Membaca Tanda Zaman
Agar mampu menghasilkan lulusan yang mudah terserap lapangan kerja, perguruan tinggi harus pandai membaca tanda-tanda zaman. Salah satu persoalan yang selalu dihadapi oleh semua organisasi yang menyediakan peluang kerja formal adalah kemampuan beradaptasi dan berkembang dalam landskap industri yang semakin dikendalikan oleh teknologi ini.
Agar mampu bertahan dan bertumbuh di tengah beragam tantangan itu, organisasi wajib memiliki rencana strategis, manajemen perubahan yang efektif, dan pemahaman yang kuat terhadap situasi yang sedang berkembang (Levi Olmstead, 2024).
Pertanyaan besar yang selalu menggelayut dalam pikiran manusia di era digital ini adalah: apakah mesin berpikir akan menggantikan peran manusia dalam segala aspek kehidupan, mengingat inovasi mencengangkan yang terus dilakukan terhadap robot berkemampuan AI (artifical intelligence)?
Menurut Prof. Stella Christi (2024), dalam bidang penyimpanan data, akselerasi perhitungan dan otomatisasi tehadap pekerjaan bersiat klerikal atau berulang, manusia akan selalu dikalahkan oleh robot AI. Tetapi, menurut Wakil Menteri Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi Indonesia dalam Kabinet Merah Putih Presiden Prabowo Subianto itu, secanggih-canggihnya teknologi, ia tak pernah bisa menggantikan posisi manusia.
Karena itu, ke depannya perguruan tinggi di Indonesia dalam pengembangan sumber daya manusia harus fokus pada human skills, yakni berbagai keterampilan yang khas manusiawi dan tak tergantikan oleh mesin cerdas.
Keterampilan Manusiawi
Forum Ekonomi Dunia dalam laporan tahunannya mengenai tren ekonomi dunia merekomendasikan tujuh keterampilan yang berpusat pada manusia (human-centric skills) yang perlu dikembangkan karena dianggap sejajar dengan kemajuan teknologi bagi kesiapan kerja manusia di masa depan.
Pertama, kemampuan komunikasi (communication skills). Komunikasi efektif menjadi amat penting di era digital, saat bekerja atau belajar jarak jauh dan berbagai interaksi virtual menjadi hal yang wajar. Keterampian berkomunikasi tidak hanya menyangkut kemampuan menyampaikan informasi, tetapi juga mendengarkan secara aktif, menafsir berbagai isyarat nonverbal dan memahami nada-nada emosional dalam percakapan. Sebagai tim kerja yang semakin beragam dan tersebar luas, keterampilan komunikasi dapat membantu menjembatani perbedaan dan mendorong kerja sama.
Kedua, kecerdasan emosional (emotional intelligence/EI) mencakup kemampuan untuk mengenal, memahami, dan mengelola emosi seseorang sambil berempati terhadap orang lain. Di dalam lingkungan digital saat interaksi tatap muka langsung mungkin terbatas, EI menjadi sangat vital untuk membangun relasi, mengatasi konflik, dan memungkinkan kerja tim yang efektif. Para pemimpin dengan kecerdasan emosional yang tinggi dapat menciptakan budaya kerja suportif yang meningkatkan keterlibatan karyawan dan produktivitas.
Ketiga, kemampuan menyesuaikan diri (adaptability). Laju perubahan yang cepat di bidang teknologi menuntut individu untuk mampu beradaptasi atau menyesuaikan diri dengan peralatan, proses, dan berbagai tantangan baru yang berdatangan. Kemampuan beradaptasi itu termasuk sikap terbuka terhadap upaya mempelajari berbagai keterampilan baru alih-alih menolaknya. Keterampilan ini sangat penting karena aktivitas organisasi selalu berkisar pada upaya menanggapi permintaan pasar atau kemajuan teknologi.
Keempat, keterampilan pemecahan masalah (problem solving skills). Ketika pekerjaan-pekerjaan klerikal diotomatisasi melalui teknologi, maka kemampuan pemecahan masalah yang khas manusiawi akan diperlukan. Maka para calon pekerja atau pekeja harus mampu berpikir kritis dan kreatif dalam mengatasi berbagai tantangan kompleks yang menuntut solusi-solusi inovatif. Ini mencakup kemampuan untuk menganalisis berbagai situasi dari sudut tinjauan yang berbeda dan pengembangan strategi untuk yang memanfaatkan wawasan manusia dan kemampuan teknologi.
Keterampilan Kerja Sama
Kelima, keterampilan kerja sama (collaboration skills). Kerja sama antarmanusia tetapi menjadi dasar pijakan bagi kerja tim di era digital ini. Kemampuan untuk menggalang kerja sama dengan orang lain, baik secara pribadi maupun secara virtual, merupakan hal penting untuk mencapai tujuan bersama. Keterampilan kerja sama termasuk menegosiasikan perbedaan, berbagi gagasan secara terbuka, memberikan umpan balik yang konstruktif, dan mengembangkan sudut pandang yang beragam untuk meningkatkan outcomes.
Keenam, kreativitas (creativity). Kreativitas semakin diakui sebagai keterampilan manusia yang vital untuk melengkapi berbagai kemajuan teknologi. Sementara mesin pintar dapat memproses data secara efisien, tetapi tidak mampu menghasilkan gagasan orisinal atau berpikir di luar kotak seperti manusia. Mendorong kreativitas memungkinkan individu untuk menginovasi solusi yang tidak bisa diberikan oleh teknologi saja.
Ketujuh, berpikir kritis (critical thinking). Mencakup kemampuan menganalisis informasi secara obyektif dan membuat penilaian berdasarkan bukti dan bukan berdasarkan asumsi-asumsi. Di era yang dibanjiri oleh data dan informasi dari berbagai sumber ini, kemampuan berpikir kritis menyanggupkan individu untuk membedakan wawasan yang bernilai dari noise, membuat keputusan-keputusan berasarkan informasi yang benar dan mengarah kepada kesuksesan.
Jadi berbagai keterampilan-keterampilan manusiawi, seperti komunikasi, kecerdasan emosional, adaptabilitas, kemampuan memecahkan masalah, kemampuan kerja sama, kreativitas, dan kemampuan berpikir kritis sama pentingnya untuk kemampuan untuk menguasai teknologi. Kemampuan-kemampuan manusiawi itulah yang menjadi target pengembangan SDM oleh perguruan tinggi. *