PERINTAH harian itu sangat menggelegar! Semua pejabat dari pusat hingga daerah dikumpulkan Presiden agar ikut mengamankan agenda besar dan strategis bangsa. Apa isinya? Jika ada yang mengganggu diminta TNI/Polri, hakim, dan jaksa untuk menggigitnya.
Sebaliknya, jika ada aparat penegak hukum yang menggigit pejabat dan pengusaha—mencari-cari kesalahan—Presiden akan menggigitnya juga. Perintah tersebut disampaikan Presiden Joko Widodo (Jokowi) di Sentul International Convention Center, Bogor, Rabu (13/11), pekan lalu.
Tercatat yang hadir dalam apel akbar yang dibungkus Rapat Koordinasi Nasional Indonesia Maju 2019 itu sebanyak 2.693 orang. Isinya? Pejabat Pemerintah Pusat dan daerah. Menteri, kepala lembaga negara hadir, tidak boleh berwakil. Termasuk gubernur, bupati, wali kota, ketua DPRD, kajati, kajari, kepala pengadilan, kapolda, kapolres, pangdam, danrem, dandim.
Rapat di Sentul itu terbesar dalam sejarah pemerintahan Jokowi. Dengan tegas Presiden sampaikan bahwa, “Karena tugas saudara adalah menggigit siapa pun yang memiliki niat buruk mengganggu agenda besar bangsa ini. Dan saya tidak akan memberikan toleransi kepada penegak hukum yang hanya menakuti dan mengganggu inovasi kepala daerah dan pengusaha.”
Sambil berseloroh Presiden pun meluruskan kalimat “gigit”. “Kalau masih diteruskan, diingatkan lagi yang main-main akan saya gigit sendiri.” Tentu Jokowi memiliki cara tersendiri arti dari “gigit sendiri”. “Bisa lewat KPK, bisa lewat Polri. Bisa juga kejaksaan. Saya akan bisikin, di sana ada yang main-main,” tegas Presiden.
Pernyataan Presiden itu langsung disikapi kepala Kepolisian RI, Jaksa Agung, bahkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Usai perintah gigit, Polri dan Kejaksaan Agung menerbitkan surat edaran kepada gubernur, bupati, dan wali kota terkait penegakan hukum dan penyelenggaraan pemerintahan daerah.
Adalah Kadiv Propam Mabes Polri Irjen Listyo Sigit Prabowo menyeru aparatnya hingga ke daerah untuk memberi peringatan dini kepada pejabat daerah yang berpotensi melanggar hukum.
“Jangan jadi bagian masalah. Apabila terbukti, pimpinan menindak tegas anggota yang terbukti bermain dan menghambat proyek pembangunan,” kata dia.
Dan saya tidak akan memberikan toleransi kepada penegak hukum yang hanya menakuti dan mengganggu inovasi kepala daerah dan pengusaha.
Bagaimana dengan jaksa? Orang nomor satu di Gedung Bundar, Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin juga setegas Polri. Dia mengingatkan anak buahnya. Burhanuddin akan menindak jaksa yang memeras.
“Kalau ada jaksa nakal, saya akan bina. Kalau tidak bisa dibina, saya akan binasakan. Saya akan tindak setegas-tegasnya kalau ada yang nakal,” kata dia. Tak hanya Polri dan jaksa, KPK merespons perintah Jokowi. KPK menilai ada hal penting yang harus direnungkan dari perintah Presiden. Sangat paham karena Jokowi lagi fokus memerangi praktik mafia hukum.
“Penegak hukum ada yang melakukan pemerasan. Ini fatal dan berisiko. Kalau ada mafia, kepastian hukum sulit terwujud. Berimplikasi para investor jadi ragu untuk menanamkan modal atau berusaha di Indonesia,” ujar juru bicara KPK Febri Diansyah.
***
Menarik memang! Bahkan Jaksa Agung Burhanuddin mengingatkan jaksa yang selama ini suka mencari keuntungan pribadi menggunakan jabatan agar berhenti melakukan praktik itu. Bahkan, tidak diperkenankan lagi ada orang yang menjadi target operasi dalam kasus korupsi.
Begitu melemahnya penindakan yang selama ini ditakuti! Apalagi masih ada penyelenggara pemerintah doyan korupsi. Semua berbenah. Kepala daerah juga harus bersih-bersih untuk tidak membagi fee proyek, praktik jual beli jabatan, gratifikasi, pencucian uang bersama-sama pengusaha.
Jika tidak semua berbenah, virus itu kembali menyerang. Ingat kan dengan pengaduan Kotak Pos 5000. Efektifkah? Yang ada hanya fitnah karena tidak disertai data lengkap. Parahnya lagi, terjadi kecemburuan antarlembaga.
“Kami disuruh menahan diri tidak membongkar kasus korupsi. Padahal secara kasat mata, praktik kolusi di pemda minta fee proyek sampai 15 persen masih terjadi,” kata seorang penyidik menanggapi dua surat edaran petinggi Polri dan jaksa. Ini dirasa tidak adil untuk bersih-bersih korupsi.
Jika tidak semua berbenah, virus itu kembali menyerang. Ingat kan dengan pengaduan Kotak Pos 5000.
Sebaiknya kepala daerah, polisi, jaksa, juga hakim ngopi —duduk bareng berkoordinasi untuk membersihkan praktik korupsi, memeras pejabat dan pengusaha. Polisi dan jaksa juga berbenah di internal lembaga. Jika ini tidak dilakukan, akan sulit meningkatkan kinerja pencegahan dan penindakan hukum. Saatnya Kapolri baru dan Jaksa Agung baru menata ulang.
Kepala daerah—apakah dia gubernur, wali kota dan bupati—mengingatkan anak buahnya untuk tidak melanggar hukum. Langkah selanjutnya adalah setiap jajaran ke bawah membentuk pusat pengaduan publik untuk kasus aparat nakal, juga kasus korupsi dengan nomor WhatsApp. Sehingga aparat memperoleh informasi dari warga yang nyata , bukan ilusi di lapangan.
Rakyat berharap dan mendambakan pembersihan praktik korupsi, reformasi hukum, sehingga penegakan hukum di negeri ini tidak pandang bulu. Tajam ke bawah, tumpul ke atas. Kepala daerah, polisi, jaksa, dan hakim membuka diri untuk dievaluasi kinerjanya oleh rakyat.
Pekan ini, perintah Presiden Jokowi untuk menggigit aparat dilaksanakan Polda dan Pemprov Lampung. Sudah saatnya berhenti korupsi, berhenti memeras, berhenti menakuti rakyat. Tegak lurus mengamankan agenda besar dan strategis bangsa ini, agar rakyat merasakan negara hadir.
Hidup ini pilihan. Dan memilih untuk lebih baik lagi. Jangan kecewakan masyarakat. Sudah cukup duit rakyat dikuras guna kepentingan pribadi. Ratusan pejabat mulai dari gubernur, bupati, dan wali kota juga anggota parlemen, polisi, jaksa, hingga hakim ditangkapi karena berbuat culas ikut serta membobol harta negara. ***