SAAT ini perubahan iklim begitu cepat dan bahkan tidak menentu (anomaly) . Selain faktor alam, kondisi ini dipicu oleh ulah manusia. Penggunaan bahan bakar fosil, seperti batu bara, minyak, dan gas yang menghasilkan gas yang menangkap panas, peningkatan karbondioksida dan metana yang berasal dari penggunaan bensin untuk bahan bakar mesin industri dan kendaraan, pembukaan lahan dan hutan oleh perambah, tempat pembuangan sampah dan pembakarannya meningkatkan karbondioksida yang menjadi sumber emisi metana.
Suhu bumi meningkat 1,1 derajat Celsius lebih panas dari pada akhir tahun 1800-an. Tahun 2011—2020 adalah kondisi terpanas bumi dan pemanasan ini akan terus meningkat selama periode 2021—2024. Perubahan iklim yang sangat cepat ini mendorong terjadinya berbagai bencana alam, banjir, kebakaran hutan, tanah longsor, kekeringan panjang, kemarau berkepanjangan, turunnya debit air, naiknya suhu dan permukaan air laut dll.
Bencana alam hampir terjadi di seluruh belahan dunia, tidak hanya melanda negara-negara miskin yang cenderung abai pada lingkungan, tetapi juga di negara negara maju yang terkenal dengan kepeduliannya atas lingkungan. Perubahan iklim yang dirasa dalam beberapa dekade terakhir ini salah satunya dipicu serangan El Nino dan El Nina yang menyebabkan kekeringan panjang dan turunnya produktivitas lahan.
Dampak Perubahan Iklim pada Sektor Pertanian
Sektor yang paling terdampak akibat perubahan iklim adalah sektor pertanian. Kenaikan suhu, kemarau yang berkepanjangan, naiknya permukaan air laut, dan berkurangnya kuantitas air memicu rusaknya lahan dan produksi pertanian. Anomali iklim juga mengubah pola masa tanam petani, kuantitas dan kualitas panen, termasuk meningkatnya jenis hama dan wabah penyakit baru tanaman pertanian.
Kemarau panjang ini menyebabkan gagal panen pada berbagai komoditas pangan. Potensi sawah yang hilang di Pulau Jawa dan Sumatera karena naiknya air laut dan kekeringan masing- masing 113.000 ha—146.473 ha dan 1.314 ha—1.345 ha (Handoko et al. 2008). Bahkan penelitian Peng et al (2004) dan Handoko (2008) menemukan telah terjadi penurunan produksi tanaman padi sebanyak 10% dan 27,1% , penurunan produksi jagung 13,6%, kedelai 12,40%, dan tebu 7,60%. Sementara penelitian Bella et al (2022) menemukan akibat terjadinya El Nino, dampak perubahan iklim yang terjadi di Maluku telah menurunkan produksi padi sebanyak 2,9%, sedangkan akibat pengaruh El Nina produksi padi turun 2,4%; turunnya produksi jagung 7,4% akibat El Nino dan 3,9% akibat El Nina.
Namun, dampak El Nino justru meningkatkan produksi pada komoditas ubi jalar 2,5% di Maluku. Bahkan ramalan FAO menyebutkan bahwa Indonesia adalah negara yang paling menderita karena perubahan iklim ini. Kekeringan dan banjir akan menurunkan kapasitas produksi pangan dan produksi pertanian. FAO memprediksi bahwa terjadi penurunan produksi pangan dan pertanian sebesar 5% pada 2025 dan sebesar 10% pada 2050.
Berdasarkan skor indeks ketahanan pangan global, tahun 2021 Indonesia berada pada skor 59,2 yang masuk kategori moderat. Sementara data Global Hunger Indonesia (GHI) menunjukkan tingkat kelaparan masyarakat di Indonesia termasuk kategori tingkat kelaparan sedang, mengalami penurunan dari 24,9% tahun 2010 menjadi 20,1% pada 2019 atau berada pada urutan ke-73 dari 116 negara.
Mencermati fenomena alam ini, harga pangan terutama beras akan terus mengalami kenaikan dan akan menjadi pemicu inflasi. Banyak negara penghasil pangan, seperti India dan Vietnam, telah mengurangi bahkan berencana menghentikan ekspor pangan untuk menyelamatkan kebutuhan pangan di dalam negeri masing-masing. Walau Indonesia dikaruniai tanah yang subur dan kekayaan alam yang melimpah, ancaman kerawanan pangan, kelaparan, dan inflasi tetap harus diwaspadai dan diantisipasi dengan serius, cepat, dan bijak, seperti halnya India dan Vietnam.
Upaya mengantisipasi kerawanan pangan, bahaya kelaparan dan peningkatan inflasi akibat perubahan iklim ini menjadi tantangan cukup berat bagi Indonesia, terutama bahaya kelaparan ketika lahan pertanian makin sempit akibat beralih fungsi untuk kepentingan pembangunan, pertambahan jumlah penduduk, lahan yang makin tua, produktivitas lahan menurun, bibit unggul sulit didapat, unsur hara tanah terus berkurang akibat bencana alam dan penggunaan pestisida, SDM petani yang tua karena makin kurang diminati kaum muda. Indonesia harus waspada terhadap ancaman bencana kelaparan ini yang dapat memicu berbagai persoalan lainnya, seperti derajat kesehatan masyarakat, IPM, kerawanan sosial dan keamanan.
Pengaruh Perubahan Iklim terhadap Perekonomian
Dalam fungsi produksi klasik dan teori harga, untuk mempermudah analisis diasumsikan bahwa faktor cuaca atau iklim dianggap konstan sehingga dalam perekonomian jumlah produksi akan senantiasa meningkat seiring dengan penambahan faktor-faktor produksi, tetapi dengan penambahan yang makin berkurang (The Law of Diminshing Return). Penambahan output ini akan selalu terserap oleh pasar sesuai dengan Hukum Say’s, bahwa supply creates own demand.
Namun, dalam kondisi nyata, faktor perubahan iklim sangat dominan memengaruhi sektor pertanian. Perubahan iklim menyebabkan komoditas pertanian akan terganggu. Akibat gagal panen, kekeringan, kemarau, membuat produktivitas menurun, komoditas tumbuh tidak maksimal. Akibatnya harga komoditas pertanian terganggu, inflasi pangan menjadi sumber inflasi utama di Indoneisa.
Kenaikan harga akibat berkurangnya supply komoditas ini menguntungkan petani, tetapi karena pangan menyangkut barang esensial yang menguasai hajat hidup orang banyak, maka ketika harga pangan naik, pemerintah membuka kran impor, terutama beras. Fluktuasi harga komoditas pertanian ini paling tinggi karena ada time lag atau jeda waktu antara musim tanam dan musim panen.
Banyak spekulan yang bermain di sela-sela time lag. Para spekulan pangan sangat diuntungkan dengan kondisi ini, tetapi di sisi lain petani sangat dirugikam. Salah satunya karena petani telah terjerat sistem ijon. Kenaikan harga komoditas pertanian tidak dinikmati petani. Harga tinggi dinikmati oleh para tengkulak yang telah memberikan bantuan dana sebelum panen tiba. Petani terpaksa terjerat utang dengan sistem ijon untuk mempertahankan hidupnya karena panen belum tiba. Oleh karena itu, sistem ijon ini harus dipangkas. Pemerintah perlu memberikan insentif bantuan kepada para petani, terutama bantuan pinjaman dana atau bantuan fisik makanan/minuman untuk menutupi pengeluarannya ketika musim panen belum tiba.
Pemerintah memberikan pelatihan-pelatihan dan bantuan modal usaha agar para istri petani mempunyai usaha lain membantu suaminya, seperti membuka usaha warung, pembuatan keterampilan sulam, membuat kue, kuliner, menjahit , membuat aneka suvenir dengan memanfaatkan bahan baku di sekitar untuk menambah penghasilan keluarga.
Kenaikan harga pada komoditas pertanian akan mendorong kenaikan pada harga-harga barang lainnya, inflasi ikutan. Ciri khas inflasi di Indonesia adalah kenaikan harga pangan atau volatile food, ketika harga beras naik akan diikuti dengan kenaikan harga telur, merembet ke minyak, bawang merah dan lainnya. Lebih dari 50% rata-rata pengeluaran penduduk (miskin) untuk pangan, terutama beras. Hampir 95% pangan utama penduduk adalah beras.
Ketika harga beras naik, konsumsi beras dan protein lainnya seperti telur, ikan asin, tahu dan tempe akan berkurang. Sebagai pengganti nasi, sebagai sumber karbo, penduduk miskin akan beralih ke barang inferior lainnya, seperti nasi aking. Artinya sepanjang komoditas beras merupakan komoditas utama dalam kebutuhan makanan penduduk, maka kenaikan harga beras yang salah satunya dipicu akibat perubahan iklim akan memperparah tingkat kemiskinan.
Berbagai kajian pun menunjukkan bahwa kenaikan harga beras 20% dapat meningkatkan ketidakmerataan (ketimpangan pendapatan) dan kemiskinan sebesar 1%. Oleh karena itu, stabilitas harga beras harus menjadi prioritas pemerintah, jika tidak kemiskinan akan meningkat.
Turunnya kinerja di sektor pertanian ini merabah pada sektor keuangan, yaitu meningkatnya kredit bermasalah pada sektor pertanian, perkebunan, industri yang berkaitan dengan pangan dan pengolahan hasil pertanian dan merembet pada sektor perumahan, asuransi, dan sebagainya. Dampak perubahan iklim pada sektor pertanian, antara lain terjadi pergeseran musim sehingga menyulitkan petani untuk menentukan masa tanam dan masa panen bagi komoditas pertaniannya. Selain itu, perubahan iklim juga mengakibatkan terjadi fluktuasi suhu dan kelembapan udara menyebabkan banyak tanaman pangan yang terganggu pertumbuhan dan perkembangannya sehingga kualitas dan kuantitas panen menurun.
Pengaruh terhadap Perekonomian Lampung
Perekonomian Lampung didukung sepenuhnya oleh sektor pertanian. Hal ini terlihat dari produk domestik regional bruto (PDRB) Lampung hingga tahun TW 2 tahun 2024 ini yang masih didominasi sektor pertanian dengan kontribusi sebesar 29,04 %, tapi dengan pertumbuhan per tahun hanya 0,32%, jauh di bawah pertumbuhan sektor transportasi dan pergudangan yang tumbuh 15,19 % .
Beberapa periode lalu, kontribusi sektor pertanian ini pernah mencapai 45%, tapi terus menurun hingga saat ini. Sebagian besar penduduk Lampung bekerja sebagai petani di desa, tapi kesejahteran petani Lampung kurang menguntungkan terlihat dari nilai tukar petani (NTP) Lampung pada TW II tahun 2024 sebesar 128,94 jauh di bawah NTP Bengkulu yang mencapai 180, Riau 160—180 dan Jambi 140—150. NTP terendah keempat ini harus menjadi perhatian Pemerintah Provinsi Lampung karena sektor pertanian adalah sektor penggerak utama perekonomian Lampung.
Seperti halnya provinsi lain yang perekonomiannya didominasi sektor pertanian, perubahan iklim akan berdampak pada perekonomian dan kesejahteraan Lampung. Perubahan iklim akan menurunkan produktivitas pertanian, memengaruhi kontribusi pada PDRB, meningkatnya pengangguran, kenaikan inflasi , dan menurunkan NTP.
Urban Farming
Di tengah kecemasan, pertanian perkotaan (urban farming) bisa menjadi alternatif solusi mengatasi krisis pangan khusus di wilayah perkotaan yang terkendala dengan lahan pekarangan yang sempit. Urban farming adalah berkebun dengan memanfaatkan ruang yang ada di rumah atau pemukiman.
Selain memiliki manfaat langsung berupa terpenuhinya sebagian kebutuhan sayuran untuk keluarga, juga bisa mendapatkan keuntungan, ruang hijau di perkotaan meningkat, mengurangi, memanfaatkan waktu luang dengan produktif, terutama bagi ibu-ibu rumah tangga. Metode tanpa media tanah dapat dimanfaatkan, yaitu hidroponik dan aquaponic serta integrated urban farming system (IUFS) yaitu teknik pertanian yang berwawasan lingkungan, ekonomis, dengan semua limbah yang dihasilkan dapat dimanfaatkan kembali.
Limbah pertanian dapat digunakan untuk pakan ternak dan kotoran ternak dapat diolah menjadi pupuk kompos. Dengan metode ini masyarakat mendapat ketersediaan sayuran sebagai sumber nutrisi, menghijaukan lingkungan, dan turut membantu mengurangi dampak pemanasan global. Selain itu, dapat menguatkan rasa kebersamaan dan menciptakan budaya gotong royong dalam lingkungan masyarakat kota. Selain kegiatan pertanian, juga dapat dikombinasikan bertani dan berternak dengan menerapkan IUFS.
Peran Pemerintah
Perubahan iklim berdampak pada semua sektor baik secara langsung maupun tidak langsung. Sektor pertanian, perkebunan, perikanan merupakan sektor-sektor yang terdampak langsung akibat perubahan iklim ini . Sektor pertanian ini mempunyai multiplier effect yang besar pada sektor-sektor lainnya dalam perekonomian, bisa positif bisa juga negatif.
Sektor-sektor yang terpengaruh oleh kinerja sektor pertanian antara lain sektor keuangan, industri, kesehatan, dan juga pada tingkat kesejahteraan, yaitu tingkat kemiskinan dan pengangguran. Keluarga miskin membelanjakan lebih dari 50% untuk kebutuhan pangan sehingga kenaikan sektor pangan karena pengaruh perubahan iklim akan mengakibatkan perubahan kondisi ekonomi keluarga miskin dalam membelanjakan pendapatannya.
Pemerintah perlu melakukan berbagai upaya untuk mengatasi dampak perubahan iklim pada sector pertanian ini antara lain dengan kebijakan fiskal. Kebijakan fiskal yang dapat dilakukan, antara lain serapan anggaran harus dipercepat namun dengan better spending; mengkaji ulang kebijakan fiskal mulai dana insentif daerah (DID) atau kebijakan perpajakan; mengkaji ulang penentuan tarif PBB dengan menggunakan tanaman pertanian, peternakan, perkebunan sebagai variabel pengurang besaran tarif; meningkatkan alokasi anggaran untuk sektor pertanian, perkebunan, dan peternakan, terutama untuk revitalisasi lahan lahan pertanian, subsidi pupuk, harga pangan, alat pertanian. *