SAAT ini kita masih berada di tahun politik, yakni pemilu 2024. Tahun yang penuh dengan gimmick-gimmick yang diperlihatkan kepada masyarakat ataupun pencitraan-pencitraan yang diidentifikasi sebagai calon wakil rakyat. Pemilu adalah pesta yang sangat ditunggu di setiap 5 tahun sekali. Pesta rakyat untuk memilih wakil-wakil rakyat agar bisa menjalankan aspirasi-aspirasinya.
Kata pesta yang identik dengan kebahagiaan dan kesenangan, tetapi telah sirna ketika melihat kondisi di pilpres dan pileg kemarin. Penuh dengan intrik-intrik, anomali ataupun drama yang ditunjukkan para calon wakil rakyat, jauh dari kata kebahagian.
Pemilu yang seharusnya dijalankan dengan luber jurdil, asas pemilu yang seharusnya kita junjung tinggi. Namun, asas tersebut sepertinya tidak berlaku di pemilihan kemarin. Timbul pertanyaan dari masyarakat, “Sebentar lagi akan diadakannya pilkada serentak, apa mungkin hal-hal yang terjadi kemarin akan terjadi di pilkada nanti?”
Putusan Mahkamah Konstitusi No. 90/PUU-XXI/2023 sebagai anomali awal dalam proses pemilu serentak 2024, putusan yang menimbulkan banyak sekali penolakan-penolakan dan menghasilkan pencalonan anak kandung dari pemimpin tirani saat ini. Putusan pencalonan tersebut sangat memengaruhi peta perpolitikan yang ada. Putusan yang mengatasnamakan mendukung kaum muda untuk bisa lebih banyak partisipasinya dalam berpolitik.
Dari sekian banyak pemuda Indonesia, ternyata hanya satu orang yang menggunakan karpet merah tersebut. Ini adalah tanda bahwa pemuda hanya dijadikan “tumbal”, padahal keputusan itu adalah hadiah yang diberikan oleh paman (Anwar Usman) untuk keponakannya (Gibran Rakabuming Raka). Kaum muda adalah subjek dalam demokrasi, bukan sebagai objek. Jangan jadikan pemuda sebagai alasan untuk menjalankan politik dinastinya.
Bukan hanya putusan MK yang mengambinghitamkan kaum muda, tapi ada lagi putusan yang mengatasnamakan pemuda, yaitu putusan MA No. 23/P/HUM/2024 dengan menambah tafsir terkait batasan umur calon kepala atau wakil kepala daerah. Lagi, keputusan yang mengatasnamakan untuk kaum muda, tapi keputusan yang memberikan karpet merah untuk anak bungsu pemimpin tirani saat ini, Kaesang Pangarep.
Anak, istri, suami, keponakan, cucu, paman, bibi, anggota keluarga lainnya ataupun kolega-kolega ditunjuk tanpa mempertimbangkan kemampuan ataupun prestasi yang dimiliki. Politik dinasti akan menghasilkan dinasti politik di tiap daerah. Kita akan melihat berapa orang kaum muda yang menggunakan keputusan itu. Apakah akan banyak atau hanya anak Presiden Jokowi saja yang menggunakannya? Mau sampai kapan rakyat dipermainkan seperti ini.
Elite-elite politik masih saja bermain-main dalam proses pilkada, menunjuk calon-calon pemimpin daerah dengan tidak tepat seperti politik dinasti ataupun orang yang memiliki popularitasnya saja. Rakyat selalu dijadikan objek saja dalam demokrasi Indonesia, padahal kita semua paham bahwa pemilihan kepala daerah (pilkada) adalah hal yang sangat penting untuk menentukan kemajuan setiap daerah provinsi atau kabupaten/kota di Indonesia.
Pilkada 2024 bukan sekadar serangkaian formalitas demokrasi dan bukan hanya serangkaian politik biasa, melainakn sebagai fondasi bagi kemajuan setiap daerah di Indonesia. Pilkada tidak bisa kita anggap sebelah mata. Pembangunan daerah itu akan bergantung dengan terpilihnya kepala daerah yang ada. Terpilih karena memiliki pengalaman ataupun prestasi akan berbeda hasilnya dengan terpilih karena dilihat popularitasnya saja.
Kebijakan-kebijakan yang diambil untuk masyarakat pasti langsung oleh tiap kepala daerah, bukan langsung dari pemerintah pusat. Meremehkan pilkada sama saja tidak memperhitungkan pembangunan dan kemajuan daerah. Mungkin kita paham bahwa Pemerintah Pusat memiliki program-program yang akan berhubungan dari tiap daerah, tetapi daerah memiliki kondisi, kebutuhan, masalah ataupun tantangan yang akan berbeda.
Maka itu, pilkada sangat penting dalam memilih pemimpin yang tepat sesuai dengan kebutuhan daerah, bukan calon yang dipilih tanpa pernah terjun dan paham akan daerah tersebut. Jika meritokrasi bukan sebagai patokan memilih pemimpin di daerah, kita akan melihat bahwa daerah tersebut akan hanya dimanfaatkan oleh orang-orang yang memenangkan pilkada tersebut.
Pilkada 2024 adalah momentum untuk rakyat bisa membenahi sistem demokrasi yang telah dihancurkan saat pemilu kemarin. Elite-elite politik harus berhenti mempermainkan rakyat, jangan jadikan masyarakat sebagai objek demokrasi saja untuk mengambil suaranya tanpa mengambil aspirasinya.
Memilih calon-calon kepala daerah itu harus selektif. Pilkada memilih calon tiap daerah provinsi dan kota/kabupaten tidak kalah penting daripada pilpres ataupun pileg. Memperbaiki kondisi tiap daerah, menyejahterakan rakyat, dan menjalankan aspirasi-aspirasi rakyatlah tujuannya pilkada, bukan sebagai batu loncatan tiap orang untuk ke jenjang politik berikutnya.
Masyarakat harus lebih peka terhadap kondisi perpolitikan dan demokrasi saat ini. Jangan sampai memilih pemimpin yang hanya mementingkan kepentingan pribadinya, tidak melihat prestasi dan kemampuan calon, serta jangan memilih calon pemimpin yang dari awal sampai hari H pemilihan berbuat licik dan curang, menjalankan politik uang, maju dengan politik dinasti ataupun kecurangan lainnya yang “mencederai” arti demokrasi yang ada. *