Politik Kotor dan Risiko Politik

Syarief Makhya

Dosen dan Dekan FISIP Universitas Lampung

BARU-BARU ini beredar di media sosial bahwa KPK berkunjung ke Lampung. Konon, mereka sedang memonitor pilkada di delapan kabupaten/kota di Provinsi Lampung yang terkait dengan modus politik uang, suntikan dana dari pengusaha, jual-beli rekomendasi partai, dan modus-modus lainnya. Namun, dalam realitasnya, berangkat dari pengalaman-pengalaman sebelumnya, tidak ada efek jera apa yang dilakukan KPK dalam menangkap pelaku kejahatan kriminal. Politik kotor dalam wujud penggunaan politik uang, gratifikasi, penyalahgunaan kewenangan, dsb terus berjalan dan secara kuantitas cenderung meningkat jumlahnya. Tidak ada rasa kapok, tidak ada motivasi untuk melakukan kompetisi politik berdasarkan prisip fairness, dan tidak ada niat untuk meningkatkan kualitas berdemokrasi. Pokoknya, untuk bisa menang, harus licik dan bersaing dengan segala cara. Dalam sebuah seminar baru-baru ini di Bandar Lampung, ada temuan bahwa politik uang itu terjadi dalam pilkada, tetapi tidak termasuk dalam kategori terstrusktur, sistematis, dan masif (TSM). Fakta ada politik uang tapi tidak ada TSM menunjukkan bahwa terjadi demoralitas dalam persaingan politik yang tidak bisa terajangkau dari aspek penegakan hukum. Baru-baru ini beredar di media sosial bahwa KPK berkunjung ke Lampung. Konon, mereka sedang memonitor pilkada di delapan kabupaten/kota di Provinsi Lampung yang terkait dengan modus politik uang, suntikan dana dari pengusaha, jual-beli rekomendasi partai, dan modus-modus lainnya. Politik uang dianggap sebagai realitas politik sebagai akibat ketidakjangkauan implementasi aspek hukum, keterbatasan kapasitas pengawas dan perilaku masyarakat di masyarakat bawah yang cenderung pragmatis, masa bodoh, serta tidak punya persepsi yang positif terhadap pentingnya peran strategis seorang pemimpin. Di sebagian pandangan masyarakat, persaingan politik menggunakan politik uang, gratifikasi, jual-beli suara, dsb sudah dianggap biasa dan wajar. Singkat kata, tanpa amunisi, gizi, cis , atau uang, peluang untuk menang dalam kompetisi politik sangat kecil. Bahkan, secara kuantitatif bisa dihitung berapa besar uang harus dikeluarkan untuk memenangkan pertarungan politik. Konon, untuk pemilihan kepala daerah di Kota Bandar Lampung, dibutuhkan anggaran sebesar Rp50 miliar untuk biaya saksi, kampanye, ongkos politik, mahar politik, termasuk di dalamnya biaya untuk memengaruhi pemilih dengan politik uang. Para penyelenggara pemilu (KPU dan Bawaslu) juga pesimistis dan tidak berdaya kalau praktik politik uang bisa diberantas atau dicegah. Dengan dalih tidak ada TSM, mereka berasumsi pilkada atau pemilu dianggap sudah memenuhi prinsip luber dan jurdil, kendati mereka mengakui kalau praktik politik uang itu ada. Tanpa Politik Kotor Apakah praktik politik kotor akan dibiarkan begitu saja dalam setiap arena pertarungan pemilihan kepala daerah dan dianggap sebagai suatu kenyataan yang tidak mungkin bisa dicegah? Jika memungkinkan bisa diatasi, bagaimana mengantisipasinya? Ada empat hal yang bisa kita lakukan sebagai upaya untuk mengantisipasi dan menjamin tidak terjadi politik kotor Pertama, political risk atau risiko politik apabila pilkada diulang secara totalitas dan ditemukan pelanggaran terhadap aturan main persaingan politik harus dianggap sebagai risiko politik. Dalam perspektif ini, aturan terstruktur, sistematis, dan masif harus ditinjau ulang. TSM adalah regulasi yang tidak terukur, penuh perdebatan, dan sulit untuk diimplementasikan. TSM adalah bahasa hukum untuk menghindar penyelenggara pemilu dari risiko politik. Kedua, pendekatan kultural. Untuk mewujudkan pilkada yang bebas dari permainan politik kotor, peran serta publik menjadi sangat penting. Peran Baswalu sangat terbatas baik dari sumber daya manusia, pengalaman di lapangan, dan jaringan dengan institusi lain. Oleh karena itu, butuh peran serta publik dalam mengawasi, menyampaikan informasi, dan mengadukan kecurangan pilkada. Publik harus dilindungi dan dijamin keamanan dan keselamatannya dari tekanan premanisme yang sengaja dibayar oleh mereka yang berkepentingan. Ketiga, institusi Baswalu harus diperkuat dari kapasitas kewenangan, organisasi, dan sumber daya manusia serta kompetensinya. Saya membayangkan institusi Bawaslu seperti KPK, yang bisa melakukan OTT, memiliki keberanian untuk menangkap orang dan secara institusi dilengkapi perangkat organisasi yang memadai. Mungkin perannya akan lebih efektif dan berwibawa, tidak seperti sekarang yang hanya melaksanakan fungsi administratif dan hanya aksesori penyelenggara pemilu. Keempat, edukasi pemilu berintegritas selama ini masih tidak optimal dan hanya dilakukan oleh KPU yang jangkauannya sangat terbatas. Pemilih harus dilakukan edukasi pemilu yang berintegritas yang terkelola secara berkesinambungan dan masif serta dilaksanakan oleh semua pihak yang memiliki kedekatan atau akses pada berbagai komunitas-komunitas yang ada di masyarakat. Dengan demikian, ada target untuk melakukan penyadaran secara kolektif di masyarakat tentang bahayanya politik kotor dan tebangun kesadaran untuk memilih pemimpin berdasarkan pilihan hati nurani yang terbebas dari tekanan apa pun serta kesadaran untuk mewujudkan pilkada yang berintegritas. Catatan untuk Lampung Indeks korupsi tahun ini menurun antara lain karena maraknya politik uang. Lampung dikenal sebagai arena persaingan politik berbasis politik uang. Jumlah masyarakat terdidik secara kuantitatif rendah, paran serta publik terbatas, infrastrukur tidak terlalu bagus, wilayahnya sangat luas dengan sebaran jumlah pemilih yang tidak merata, dan kepentingan pemilik modal di setiap anjang pilkada cukup tinggi. Karakteristik seperti tersebut secara hipotesis membuka peluang terjadinya politik kotor. Namun, kita tidak boleh menyerah dan pasrah bahwa politik kotor di Lampung tidak bisa dicegah. Empat usulan tersebut segera direalisasikan. Kalaupun belum memungkinkan untuk dilaksanakan, cara yang paling mudah adalah melakukan kampanye besar-besaran dengan melibatkan semua pihak tentang antipolitik kotor; menyampaikan pesan politik kotor adalah haram untuk dilakukan dan memiliki keberanian untuk menyampaikan perilaku politik kotor kepada aparat penegak hukum.

Politik Kotor dan Risiko Politik

Berjalan di Puncak Zaman

Petugas Temukan Sapi Kurban Mengandung Cacing Hati

Chairil Anwar

Petugas Temukan Sapi Kurban Mengandung Cacing Hati

Iduladha Momentum Introspeksi Diri

Daging Kurban Higienis tanpa Plastik

Gedung Dalom Sekala Bekhak Salurkan 12 Sapi

Hutan Tertua

BERITA TERBARU

TOP NEWS

Benang Merah Konflik Manusia dengan Satwa

23 Ribu Peserta Gagal Masuk SMA/SMK Negeri

Tembus Rp12,42 Miliar Ekonomi Syariah kian Kokoh

Jalur SPMB SMP Prioritaskan Jarak

Perencanaan Keuangan Kunci Kemapanan Finansial

Perkuat Akses Keuangan Inklusif

Kebingungan Peserta Warnai Hari Pertama SPMB

Buka Ekspor Sawit di Pasar Eropa

Perketat Pengawasan Truk ODOL

Kreatif Hadapi Efisiensi Anggaran

POPULAR POST

BPK RI Periksa Keuangan Polres Lampung Timur

Pelantikan Pimpinan DPRD Lampura Berlangsung Sederhana

Koran Digital Lampung Post, Edisi Selasa, 02 September 2025

Koran Digital Lampung Post, Edisi Kamis, 04 September 2025

Koran Digital Lampung Post, Edisi Rabu, 03 September 2025

Tentang Kami

Alamat Kami

Iklan & Sirkulasi