DALAM politik, dua pendekatan utama sering menjadi landasan strategi dan pengambilan keputusan: pragmatisme dan identitas politik. Pragmatisme menekankan tindakan yang didorong oleh kebutuhan praktis dan hasil konkret, sementara identitas politik mengakar pada nilai-nilai, prinsip, dan kesetiaan terhadap kelompok atau komunitas tertentu. Keduanya memainkan peran penting dalam politik modern, tapi sering berseberangan dalam hal prioritas dan tujuan.
Pada konteks era politik modern, pragmatisme telah menjadi salah satu pendekatan dominan dalam kontestasi kekuasaan. Para politisi, baik di tingkat lokal maupun nasional, kerap mengadopsi pendekatan pragmatis untuk menyesuaikan diri dengan realitas politik yang kompleks dan penuh tantangan.
Di satu sisi, pragmatisme memungkinkan mereka yang terlibat dalam kontestasi politik merespons kebutuhan masyarakat dengan lebih fleksibel. Namun, di sisi lain, pragmatisme juga dapat menimbulkan pertanyaan tentang integritas politik dan kesesuaian dengan prinsip-prinsip ideologis yang mendalam. Lantas, bagaimana bagaimana dua pendekatan ini berinteraksi, dan apakah mungkin menemukan keseimbangan antara pragmatisme dan identitas politik?
Pragmatisme dalam Politik
Menurut Prof. Richard Rorty, seorang filsuf pragmatis dari Amerika Serikat, pragmatisme adalah jalan tengah yang memungkinkan politisi untuk fokus pada hasil nyata daripada memperdebatkan ideologi. “Politik adalah tentang apa yang bisa dilakukan di dunia nyata,” kata Rorty. Bagi Rorty, pragmatisme adalah solusi terhadap stagnasi politik yang disebabkan oleh perdebatan ideologis yang tidak produktif.
Pragmatisme dalam politik sering menyusup dan mencerminkan keputusan-keputusan yang didasarkan pada tujuan praktis untuk memperoleh atau mempertahankan kekuasaan, terlepas dari apakah tindakan tersebut konsisten dengan ideologi atau janji kampanye. Dalam konteks pilkada, fenomena ini terlihat dalam koalisi politik yang terbentuk bukan berdasarkan kesamaan visi dan misi, melainkan pada pertimbangan elektabilitas dan peluang menang. Para kandidat sering terlibat dalam aliansi yang bersifat sementara dan bersedia mengubah arah kebijakan demi mencapai hasil yang diinginkan.
Di Indonesia, pragmatisme politik terlihat jelas dalam bagaimana partai politik dan calon kepala daerah menyusun strategi kampanye. Kandidat mungkin akan menyesuaikan pesan-pesan kampanye mereka dengan isu-isu yang dirasa populer di kalangan pemilih, seperti perbaikan infrastruktur, pendidikan, dan kesehatan, meskipun hal tersebut tidak selalu sejalan dengan visi jangka panjang yang mereka tawarkan. Akibatnya, pendekatan pragmatis ini bisa mengaburkan garis antara prinsip dan oportunisme.
Pragmatisme dan Identitas Politik
Di tengah dinamika politik yang terus berubah dan semakin kompleks, politisi dituntut untuk menyeimbangkan antara kebutuhan praktis dan identitas politik yang dimilikinya. Mereka yang hanya terpaku pada identitas murni memang sering kehilangan relevansi di mata pemilih yang menginginkan hasil nyata. Pada posisi seperti ini kehadiran pendekatan pragmatis menjadi sebuah solusi alternatif yang dapat membantu politisi untuk meraih tujuan jangka pendek walaupun tidak sepenuhnya meninggalkan prinsip dasar mereka.
Pada kondisi pragmatisme politik yang semakin berkembang luas, kehadiran identitas politik seharusnya mampu menjadi pendekatan yang mengakar pada nilai-nilai, budaya, etnisitas, agama, yang mendalam. Pendekatan ini menekankan pentingnya kesetiaan kepada kelompok atau komunitas tertentu dan sering memperjuangkan agenda yang secara langsung merefleksikan aspirasi kelompok tersebut.
Identitas politik cenderung lebih stabil dan kurang fleksibel dibandingkan pragmatisme, karena lebih berfokus pada prinsip-prinsip yang dianggap tidak dapat dinegosiasikan. Di Indonesia, identitas politik justru sering berhadapan langsung dengan kondisi yang sering mencerminkan perpecahan etnis, agama, atau sosial-ekonomi, di mana politisi menggunakan isu-isu identitas untuk membangun basis dukungan yang kuat di antara kelompok-kelompok yang merasa memiliki ikatan historis atau ideologis.
Dalam beberapa kasus, identitas politik bisa menjadi alat yang kuat untuk menggalang solidaritas dan membangun perubahan yang bermakna. Namun, di sisi lain, identitas politik juga dapat memecah belah dan memperkuat polarisasi dalam masyarakat. Seorang ilmuwan politik dari Yale University, Dr. Seyla Benhabib, menyoroti bahwa identitas politik memiliki dua sisi: potensi untuk memperkuat inklusi sosial dan bahaya memperdalam perpecahan. “Identitas politik dapat menjadi kekuatan pembebasan, tetapi juga dapat membatasi ruang untuk dialog dan kompromi,” kata Benhabib.
Menurut penulis, meskipun identitas politik penting untuk mengartikulasikan hak-hak kelompok yang terpinggirkan, politik yang berpusat pada identitas juga harus terbuka terhadap dialog dan perdebatan agar tidak menjadi eksklusif. Ketika pragmatisme menjadi alat utama untuk memperoleh kekuasaan, ada risiko besar bahwa kepercayaan publik terhadap institusi politik akan terkikis. Jika pemilih merasa bahwa para pemimpin politik hanya mementingkan kemenangan jangka pendek dan mengabaikan janji-janji reformasi atau perubahan mendasar, rasa frustrasi terhadap politik dapat meningkat. Pada akhirnya, hal ini dapat mengarah pada apatisme politik atau munculnya gelombang populisme yang lebih besar
Menyeimbangkan Pragmatisme dan Identitas Politik
Keseimbangan antara pragmatisme dan identitas politik terletak pada kemampuan politisi untuk menjaga keterbukaan dalam dialog. Politisi yang efektif adalah mereka yang mampu menyelaraskan pragmatisme dengan nilai-nilai identitas tanpa sepenuhnya mengorbankan keduanya. Dalam pandangan penulis, pragmatisme tanpa identitas akan kehilangan makna dan tujuan, sedangkan politik identitas tanpa pragmatisme akan sulit mencapai hasil yang nyata.
Di Indonesia, keseimbangan ini penting terutama dalam konteks keberagaman sosial dan budaya. Pragmatisme politik yang sepenuhnya mengabaikan identitas dan nilai-nilai lokal akan sulit diterima, sementara politik yang terlalu kaku dengan identitasnya mungkin tidak efektif dalam menyelesaikan masalah-masalah praktis yang dihadapi masyarakat.
Sejauh Mana Pragmatisme Dapat Diterima?
Pragmatisme tidak sepenuhnya negatif. Justru, dalam beberapa kasus, pragmatisme politik dapat memberikan keuntungan yang nyata dan praktis dalam merespons tantangan yang kompleks dan mendesak. Pragmatisme memungkinkan politisi dan partai politik untuk beradaptasi dengan situasi yang berubah dengan cepat.
Mereka dapat mengambil keputusan yang cepat dan tepat untuk merespons kebutuhan masyarakat yang mendesak tanpa terjebak pada dogma ideologis yang kaku. Misalnya, dalam krisis kesehatan atau ekonomi, pragmatisme memungkinkan pemerintah untuk mengambil tindakan cepat tanpa terlalu memperdebatkan implikasi ideologis dari setiap langkah yang diambil.
Pertanyaan kritis yang perlu direnungkan adalah sejauh mana pragmatisme politik dapat diterima dalam sistem demokrasi. Pada tingkat tertentu, pragmatisme adalah elemen yang tidak bisa dihindari. Para politisi, baik lokal maupun nasional, harus merespons dengan cepat kebutuhan masyarakat dan menyesuaikan diri dengan dinamika politik yang kompleks. Namun, batasannya adalah ketika pragmatisme mulai merusak kepercayaan publik terhadap proses demokrasi, atau ketika para politisi hanya fokus pada kemenangan jangka pendek tanpa memperhatikan visi jangka panjang.
Untuk menjaga keseimbangan antara pragmatisme dan prinsip politik, transparansi dan akuntabilitas harus menjadi pilar dalam setiap keputusan politik. Koalisi politik, aliansi strategis, dan perubahan kebijakan harus dijelaskan secara terbuka kepada publik untuk memastikan bahwa tindakan tersebut dilakukan demi kepentingan bersama, bukan hanya untuk keuntungan pribadi atau kelompok tertentu. *