Puncak Haji Berbasis Fikih

PUNCAK haji di Arafah, Muzdalifah, dan Mina pada 2024 telah tuntas dengan lancar dan sukses. Itu tak lepas dari strategi yang diterapkan panitia pelaksana ibadah haji (PPIH) Arab Saudi Kementerian Agama RI. Strategi itu berbasis argumentasi keagamaan fikih yang menyelaraskan antara keabsahan haji dan kenyamanan serta keselamatan jiwa. Ramah jemaah haji lansia pun bukan sekadar slogan, melainkan nyata adanya dan berlandaskan argumentasi keagamaan fikih yang kukuh dan autoritatif. Arafah-Muzdalifah Strategi yang diterapkan ketika menghadapi wukuf di Arafah ialah dengan safari wukuf bagi jemaah haji lansia, dimensia, orang-orang yang sedang sakit, dan berkebutuhan khusus. Mereka diberangkatkan dari hotel Mekah memasuki dan melewati wilayah Arafah dengan berkendara bus secara bersamaan tanpa turun dari kendaraan. Sementara itu, bagi jemaah haji yang masih muda, sehat, dan tak ada kendala tetap melaksanakan wukuf dengan menginap di tenda-tenda ber-AC yang telah tersedia. Safari wukuf berbasis argumentasi keagamaan fikih yang kukuh. Sebagaimana penjelasan Imam Yahya Syaraf al-Nawawi, ulama terkemuka mazhab Syafii, dalam kitab Al-Idhah fi Manasiki Al-Hajji wa Al-'Umrah menyatakan bahwa wajib wukuf di Arafah yang waktunya terbatas ialah dari bergesernya matahari—pada waktu masuk zuhur—sampai munculnya fajar pada malam Hari Raya Iduladha. Barang siapa yang berhasil di Arafah menemukan sebentar saja dari waktu itu, sah wukuf dan hajinya. Barang siapa yang tidak berhasil menemukan sama sekali waktu itu, hajinya tidak sah. Safari wukuf dalam penjelasan Imam al-Nawawi itu ialah sah lantaran berhasil menemukan waktu wukuf di Arafah yang telah ditentukan meski hanya sebentar. Sejatinya, pandangan Imam al-Nawawi itu tidak hanya berlaku bagi jemaah haji yang memiliki uzur an sich , tetapi juga bagi mereka yang normal dan sehat. Karena itu, bagi yang normal tanpa uzur, siapa pun, apalagi sopir, petugas yang mendampingi dan membersamai safari wukuf, tergolong sah wukuf dan haji mereka sebab yang terpenting ialah menemukan waktu wukuf yang terbatas itu meski sebentar saja. Setelah wukuf di Arafah tuntas. Jemaah haji didorong ke Muzdalifah dengan dua golongan, yaitu golongan murur dan golongan non- murur . Murur makna generiknya ialah berjalan, yang artinya golongan yang melakukan wukuf dengan berjalan dengan menaiki bus melintasi wilayah Muzdalifah tanpa berhenti, yang terdiri atas jemaah haji lansia, orang sakit, lemah fisik, dan uzur. Sementra itu, non- murur , yaitu wukuf dan berdiam di Muzdalifah bagi jemaah haji normal, sehat, dan tak ada uzur. Mina Di Mina terdapat dua aktivitas, yaitu lempar batu jamrah dan mabit. Tahun ini, PPIH dan masyariq sebagai panitia lokal mempersiapkan batu yang sudah ada di plastik sebanyak yang dibutuhkan, bahkan lebih yang dibagikan ke semua jemaah haji Indonesia sehingga jemaah haji Indonesia tidak susah-susah mencari batu. Tertulis “kantong batu jamarat. Lempar jumrah aqabah 7 batu; hari tasyriq pertama 21 batu; hari tasyriq kedua 21 batu; hari tasyriq ketiga 21 batu. Demi keselamatan Anda, jauhilah kerumunan/berdesakan”. Ada dua persoalan krusial dalam soal lempar jamrah yang bisa diatasi melalui argumentasi keagamaan fikih yang memadai. Pertama, bagaimana lempar jamrah bagi jemaah haji lansia, orang sakit, fisik lemah, dimensia, dan sejenisnya? Sementara itu, kondisi jamarat sangat padat dan berdesak-desakan yang berpotensi mengancam keselamatan jiwa mereka. Solusinya ialah lempar jamrah bagi jemaah haji lansia dan orang sakit yang tak mampu melaksanakan lempar sendiri diwakilkan atau badal/ niyabah (digantikan) oleh orang lain yang mampu dan kuat. Hal itu terdapat dalam penjelasan Prof. Dr. Khalid bin Abdullah al-Muslih dalam buku Al-Nubdzat fi Ahkami Al-Hajji wa Al-'Umrah yang menyatakan bahwa ada sebuah hadis yang diriwayatkan dari Jabir RA bahwa, "Kami berhaji bersama Rasulullah SAW dan kami bersama perempuan dan anak-anak. Kemudian kami membacakan talbiah untuk anak-anak dan kami melemparkan batu jamrah untuk mereka". Kedua, soal afdhaliyat (keutamaan) waktu melempar batu jamrah pada saat bergesernya matahari, tepatnya pada waktu zuhur. Akan tetapi, pada waktu utama itu dipastikan jemaah haji akan mengalami kepadatan dan desakan yang luar biasa, yang berpotensi mengancam kesehatan dan bahkan jiwa, lantaran saat itu semua jemaah haji dari seluruh dunia berduyun-duyun datang demi mendapatkan keutamaan dan kesunahan. Di sini ada pertemuan antara meraih keutamaan yang bersifat sunah dan hifdzhu al-nafs (menjaga jiwa) sebagai salah satu maqashid al-syariah (tujuan-tujuan universal syariat) yang bersifat wajib. Penyelesaiannya dengan menggunakan qawa ’ id al-fiqhiyah bahwa idzaa ta ’ aradha baina al-wajib wa al-sunnah quddima al-wajib (ketika berbenturan antara wajib dan sunah, (hukum) yang wajib yang diprioritaskan). Artinya, menjaga jiwa yang harus diprioritaskan. Tak kalah pentingnya ialah soal mabit di Mina. Dengan keterbatasan wilayah Mina, saya melihat langsung betapa banyak jemaah haji dari negara-negara lain selain Indonesia yang tak berada di tenda dan memilih mabit di trotoar jalan, di emperan toko, di samping jamarat, dan bahkan di jalanan. Sementara itu, sebagian besar jemaah haji Indonesia mabit di tenda dan sebagian jemaah yang lain lebih memilih mabit di Mina dalam waktu terbatas saja sembari lempar batu jamrah dan sisa waktunya di hotel alias bolak-balik dari hotel ke Mina dan dari Mina ke hotel. Jemaah haji lansia dan orang sakit yang berada di rumah sakit tidak melaksanakan mabit di Mina dan lempar batu jamrahnya pun diwakilkan atau badal/ niyabah . Keragaman cara mabit itu ialah gambaran dari keragaman pendapat para ulama tentang mabit di Mina. Sebagian ulama, yaitu dari mazhab Maliki, Syafii, dan Hambali berpendapat bahwa mabit di Mina ialah wajib secara penuh dan yang tidak melaksanakan harus membayar dam. Pendapat lain menyatakan boleh mabit semampunya, fa batsa haytsu syita (mabit terserah Anda). Sebagian ulama lain, yaitu dari mazhab Hanafi, sebagian dari Syafiiyah dan Ahmad, dan Ibnu Hazm berpendapat sunah dan jika tidak mabit tidak dikenai dam atau apa pun. Akan tetapi, menurut ulama yang mewajibkan mabit di Mina memberi rukhsah (keringanan) kepada orang-orang yang uzur, lansia, sakit, dan pelayan atau panitia haji untuk tidak melaksanakan mabit di Mina atau memperbolehkan mabit di luar Mina dengan dianalogikan hukumnya kepada ahli siqayah (pelayan air) dan ahli ru ’ at (penggembala). Itu disebabkan Rasulullah SAW memberikan keringanan bagi para pelayan air yang disebut ahli siqayah , seperti Abbas, untuk minum dan mandi serta wudu para jemaah haji dan para penggembala kambing untuk keperluan dan mabit di luar Mina. *

Puncak Haji Berbasis Fikih

Mukti Ali Qusyairi, Ketua LBM PWNU DKI Jakarta, dosen Pascasarjana PKU-MI (Pendidikan Kader Ulama Masjid Istiqlal), dan konsultan ibadah haji PPIH Arab Saudi 2024

Ketahanan Kesehatan Global

Manajemen Haji dan Penguatan Kelembagaan

wiji

Manajemen Haji dan Penguatan Kelembagaan

MBKM dan Dilema Peran Ormawa

Krakatau Festival XXXIII Penggerak Ekonomi Lampung

Koran Digital Lampung Post, Edisi Rabu, 03 Juli 2024

Pj Gubernur Lampung Monitor PPDB SMA/SMK di Lampung Tengah

BERITA TERBARU

TOP NEWS

Benang Merah Konflik Manusia dengan Satwa

23 Ribu Peserta Gagal Masuk SMA/SMK Negeri

Tembus Rp12,42 Miliar Ekonomi Syariah kian Kokoh

Jalur SPMB SMP Prioritaskan Jarak

Perencanaan Keuangan Kunci Kemapanan Finansial

Perkuat Akses Keuangan Inklusif

Kebingungan Peserta Warnai Hari Pertama SPMB

Buka Ekspor Sawit di Pasar Eropa

Perketat Pengawasan Truk ODOL

Kreatif Hadapi Efisiensi Anggaran

POPULAR POST

Pelantikan Pimpinan DPRD Lampura Berlangsung Sederhana

BPK RI Periksa Keuangan Polres Lampung Timur

Koran Digital Lampung Post, Edisi Sabtu, 19 Juli 2025

Guru PJOK Punya Peran untuk Membantu Pencegahan Penyakit

Koran Digital Lampung Post, Edisi Senin, 21 Juli 2025

Tentang Kami

Alamat Kami

Iklan & Sirkulasi

Selamat Datang kembali!

Ambil kata sandi Anda