Iskandar Zulkarnain
Wartawan Lampung Post
KEMISKINAN melahirkan radikalisme. Miskin materi, miskin wawasan, miskin pemahaman keagamaan, juga miskin pergaulan menyebabkan anak bangsa terjerumus dalam gerakan radikal. Bagaimana menanggulanginya? Bangsa ini harus mengedepankan pendekatan kemanusiaan seperti agama, politik, ekonomi, pendidikan, keamanan, serta kultur dan budaya.
Selain itu, gerakan radikalisme tumbuh sumbur karena ekses dari distorsi dalam berdemokrasi. Contohnya? Kelompok anak bangsa yang suaranya tidak didengar akan melesat di luar pagar demokrasi. Mereka berteriak kencang menyuarakan antidemokrasi. Sangat sepele kan! Demokrasi yang dibangun tidak memberikan rasa keadilan bagi kelompok satu ini. Mereka juga manusia. Mereka ingin hidup. Mereka juga ingin disapa dan dirangkul.
Badan Nasional Penanggulangan Teroris (BNPT) pada November 2017 lalu menyebutkan lima besar provinsi secara nasional dengan tingkat potensi radikalisme cukup tinggi. Salah satunya adalah Lampung. Paling tinggi ditempati Bengkulu di angka 58,58%, menyusul Gorontalo 58,48%, Sulawesi Selatan 58,42%. Lampung berada di posisi keempat, yakni 58,38%. Posisi kelima adalah Kalimantan Utara (58,3%).
Ranking potensi kerawanan itu disampaikan Kapolda Lampung Irjen Suntana dalam kuliah umumnya di hadapan civitas akademika Universitas Lampung, Rabu (21/3/2018). Sebagai komandan kamtibmas, Suntana juga membeberkan ada 101 orang di Lampung ini terindikasi simpatisan Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) yang tersebar di 11 kabupaten. Di luar dugaan!
Dalam survei BNPT, kata Suntana lagi, pelaku radikalisme dan terorisme itu pernah mengeyam lulusan SMA sebesar 63,6%, drop out/dikeluarkan dari perguruan tinggi 5,5%, dan lulusan perguruan tinggi 16,4%. Strategi penyebaran ideologi radikal ini dilakukan melalui jariangan komunikasi langsung, perkawinan, dakwah, penerbitan buku, pendidikan, dan media internet. Angka di atas adalah fakta bahwa sasaranya adalah anak muda.
Maka itu, seorang cendekiawan muslim, Azyumardi Azra mengingatkan generasi muda Islam harus bersikap kritis menghadapi gagasan radikal baik di dunia nyata maupun dunia maya. Banyak propaganda kelompok-kelompok radikal yang tidak bersumber dari fakta sejarah. Yang mudah disusupi adalah perguruan tinggi melalui aktivitas dakwah di kampus.
BNPT memiliki data bahwa penyusupan radikalisme ke kampus melibatkan dosen dan mahasiswa. Bahkan, lembaga ini memetakan dosen yang diduga memiliki paham radikal dan tidak sejalan dengan nilai Pancasila. Penyebaran paham itu tumbuh dan berkembang dengan makin mudahnya mengakses teknologi komunikasi digital. Penyebarannya sangat terang benderang.
Seperti propaganda membangun daulah islamiyah. Hingga saat ini, sejarah membuktikan, tidak ada daulah islamiyah atau khilafah yang berhasil hidup di bumi Nusantara. Pada tahun politik ini, propaganda yang ditebar aktivis radikalisme sangat laku dijual. Generasi now?anak muda harus kritis, dan tidak mudah digoda dengan retorika yang berakhir menyesatkan.
Anak Presiden ke-4 RI Gus Dur, Yenny Wahid pernah mengungkapkan hasil survei Lingkar Survei Indonesia (LSI) bahwa 0,4% muslim Indonesia pernah terlibat dalam radikalisme baik secara aktif, maupun menyumbang dana untuk gerakan radikal dan intoleran. Menurut Yenny, angka itu sangat fantastis jika diambil dari jumlah penduduk di Indonesia. Maka akan ditemukan ada 600 ribu anak bangsa pernah terlibat gerakan radikal.
Yang paling mengejutkan dari hasil survei itu, sebanyak 7,7% warga Indonesia berpotensi terlibat gerakan radikalisme jika ada kesempatan. “Artinya ada 11 juta orang jika dilihat dari jumlah penduduk di Indonesia,” ujar Yenny. Sungguh mengkhawatirkan, namun Yenny merasa lega bahwa 72% responden dari survei itu menolak aksi dan tindakan radikal.
Diakui atau tidak, menjamurnya paham radikal di negeri ini akibat pikiran anak-anak bangsa yang miskin pengetahuan. Karena dipikirannya adalah surga. Orang yang tidak sepaham dengan alirannya bukan saudaranya. ?Kami penghuni surga,? kata dia. Kalau sudah begitu, surga bisa didapatkan secara cepat dan instan, serta jalan pintas. Maka itu, pendidikan harus menjadi garda terdepan untuk pencegahan radikalisme.
Nahdlatul Ulama (NU) juga pernah merekomendasikan kepada pemerintah agar menguatkan pendidikan karakter berwawasan moderatisme yang diimplementasikan ke dalam kurikulum. Selain itu, peningkatan kapasitas tenaga pendidik melalui kompetensi, dan pengelolaan program strategis seperti bidik misi. Lembaga pengelola dana pendidikan untuk membantu siswa dan mahasiswa miskin juga sebagai penangkal radikalisme.
Kalau mau bicara soal kebangsaan, generasi yang mengembangkan paham radikalisme saat ini, justru lebih mundur dari para pejuang pendiri negara. Ketika Sumpah Pemuda berkumandang pada 1928, anak-anak bangsa dari berbagai pelosok negeri ini melepaskan identitas, menembus batas-batas untuk mengusung keindonesiaan. Mereka cinta Tanah Air.
Pada penghujung tahun 2017, tepatnya 18 Desember, BNPT mengumpulkan sedikitnya 100 mantan teroris di Masjid Istiqlal, Jakarta. Hasilnya? Mantan teroris yang bertobat itu mengimbau anak bangsa yang masih terjebak dalam jaringan radikalisme dan terorisme agar menyadari perbuatannya. Mereka mengaku ada yang salah terhadap pemahaman selama ini.
Agama mengajarkan ketenteraman dan kecerdasan. Paham radikalisme dan terorisme menimbulkan kekacauan, keresahan, dan merusak nilai-nilai kemanusiaan. Ribuan orang meregang nyawa, tidak sedikit yang cacat tubuh seumur hidup. Irak, Suriah, Afghanistan adalah contohnya. Tadinya, negara itu damai, kini porak poranda. Akankah Indonesiaku seperti negeri tersebut? Jawabnya, TIDAK!