Abdul Gafur
Wartawan Lampung Post
Kiri dikira komunis
Kanan dicap kapitalis
Keras dikatai fasis
Tengah dinilai tak ideologis
Muka klimis katanya necis
Jenggotan dikatai teroris
Bersurban dibilang kearab-araban
Bercelana Levi’s di-bully kebarat-baratan.
SYAIR di atas merupakan penggalan lirik lagu Bingung yang dipopulerkan penyanyi Iksan Skuter yang dirilis pada 2016 lalu. Pemilik nama asli Mohammad Iksan ini bukanlah nama baru di dunia hiburan Tanah Air. Ia pernah menjadi gitaris dari grup musik Putih yang eksis sejak tahun 2000.
Iksan Skuter, lahir di Blora pada 30 Agustus 1981. Musisi indi yang berdomisili di Malang, Jawa Timur itu banyak menyuarakan persoalan politik, korupsi, lingkungan, dan alam negeri ini lewat syair-syair lagunya.
Jika Anda familier dengan karya-karya Iwan Fals, Iksan Skuter tampaknya memilih gaya serupa dalam merangkai kata menggubah syair-syair lagunya.
Saya pun beruntung dapat menyaksikan secara langsung Iksan Skuter manggung pada medio Februari lalu. Kala itu Iksan didaulat panitia Journalist Day Media Group Network untuk menghibur para tamu dan undangan yang hadir.
Iksan tampil santai sembari menyandang gitar akustiknya naik ke atas panggung. Suara beratnya menyapa segenap hadirin.
Untuk menguasai audiens, Iksan langsung menggoda perhatian hadirin dengan petikan-petiksn gitar akustiknya. Ia langsung tancap gas memilih lagu Bingung sebagai pembuka penampilannya sore itu.
Pilihan Iksan sungguh tepat. Begitu lagu ini masuk pada bagian reff sontak sebagian besar hadirin ikut bernyanyi mengikuti gocekan gitar dan suara Iksan.
Makin hari makin susah saja
Menjadi manusia yang manusia
Sepertinya menjadi manusia
Adalah masalah buat manusia
Jujur saja. Sebelum melihat penampilan Iksan hari itu, saya tidak kenal dan tidak hafal lirik lagu-lagunya. Namun, mendengar hampir seluruh penonton sore itu bernyanyi bersamanya, saya merasakan kesan magis dalam sebuah seni pertunjukan.
Ya. Saya lumayan merinding merasakan momen itu. Terlebih syair lagu Bingung, menurut saya, cukup menggelitik dan sarat makna.
Iksan tampaknya cukup peka menangkap fenomena sosial kekinian. Jadi manusia belakangan ini memang tidak mudah.
Apa kata orang nanti kalau saya kerap tampil bersurban?
Apa kata tetangga nanti kalau rumah kita tidak ikut renovasi pagar model terbaru?
Dan jujur saja mungkin ada sebagian di antara kita bolak-balik sibuk berdandan bukan untuk diri sendiri, melainkan untuk pendapat orang lain.
Para suami jangan terlalu gede rasa dulu ya jika melihat sang istri dandan maksimal di depan kaca. Belum tentu penampilan kinclong dan wow pasangan hidup Anda itu untuk Anda.
Sebab, tidak sedikit kita menyaksikan ibu-ibu yang rajin mengunggah foto selfie hasil kerja kerasnya berdandan ke media sosial. Bukan puja-puji dari bibir Anda yang dinanti, melainkan komentar para netizen di media sosial yang ia tunggu detik demi detik.
*
Pendapat atau pandangan orang lain di era kekinian terasa begitu menentukan. Celakanya, pandangan atau pendapat orang lain itu kerap menghakimi dan bahkan bisa menentukan hidup matinya seseorang.
Contoh nyatanya terjadi di Kecamatan Pesanggrahan, Banyuwangi. Seorang anak sekolah dasar (SD) sebelas tahun dengan tragis mengakhiri hidupnya melalui cara gantung diri.
Usut punya usut akhirnya pihak kepolisian mengungkapkan bahwa peristiwa nahas itu dipicu ungkapan teman-teman korban yang kerap merundungnya. Korban kerap mendapat perundungan rekan di sekolahnya lantaran tidak punya ayah.
Bocah malang itu berkali-kali dirundung verbal. Hal ini membuatnya depresi hingga akhirnya memilih menyudahi hidup.
Contoh di atas mungkin terlalu ekstrem, tapi demikianlah kira-kira gambaran sosial masyarakat kita saat ini. Banyak contoh lain anak atau remaja di sekitar kita depresi karena bullying atau perundungan lantaran berbeda penampilan atau selera berpakaian.
Di Korea Selatan bahkan diketahui banyak kasus bunuh diri lantaran persoalan standar penampilan yang di sana yang terlalu tinggi.
Mengutip data Badan Pusat Statistik Korea Selatan, tingkat kasus bunuh diri di negeri K-Pop tersebut mencapai 27,3 per 100 ribu orang atau naik 1,2% pada tahun 2021 dengan 13.352 kasus. Persoalan penampilan dituding menjadi biang kerok di balik fenomena ini. Itu pula mengapa praktik operasi bedah plastik turut menjamur di Negeri Ginseng tersebut.
*
Merenungkan fenomena ini saya pun teringat akan sebuah hikayat seorang bapak yang berkelana bersama anak semata wayangnya. Sepasang pengelana ini datang dan pergi dari satu ke desa ke desa lainnya.
Karena pengelanaan ini berjarak sangat jauh, keduanya sepakat membawa seekor keledai sebagai alat transportasi sekaligus rekan seperjalanan.
Ketika memasuki Desa A, keduanya mendapatkan perhatian dan cibiran penduduk setempat. Itu si anak sungguh tidak berkepribadian dan tidak tahu sopan santun, ujar seorang penduduk Desa A.
Iya betul. Masak tega sekali bapaknya berjalan kaki sementara dia enak-enakan duduk di atas punggung keledai. Mendengar hal itu, maka turunlah si anak dari keledai dan naiklah si bapak.
Keesokan harinya sampailah mereka ke Desa B. Tidak dinyana mereka juga mendapatkan cibiran serupa, tapi tidak sama. Si bapak benar-benar keterlaluan, masak dia tega anaknya berjalan kaki, sementara dia bersantai di atas keledai, ujar penduduk Desa B.
Mendengar kritikan dari penduduk setempat, kali ini si anak ikut naik ke atas punggung keledai. Mereka pun lantas melanjutkan perjalanan.
Sampailah mereka di Desa C. Lagi-lagi di desa ini keduanya tidak lepas dari kritik dan nyinyiran penduduk di sana. Sungguh tidak berperi kebinatangan. Masak keledai yang kecil dan kurus itu ditunggangi bapak dan anak sekaligus, ujar penduduk Desa C. Kedua pengelana itu pun saling pandang dan berupaya menemukan solusi terbaru seraya meneruskan perjalanan.
Sesampainya keduanya di Desa D, ayah dan anak itu tampak lega. Sudah tidak ada lagi penduduk yang mengkritik dan mencemooh cara mereka berkelana.
Bahkan, sambutan kali ini cukup meriah dari ketiga desa sebelumnya. Tidak sedikit penduduk Desa D yang tertawa terpingkal-pingkal melihat keduanya.
Bapak dan anak sama-sama gemblung. Punya keledai bukannya ditunggangi kok malah dibopong bareng-bareng, ujar seorang penduduk Desa D seraya menahan tawa.
Begitulah kiranya jikalau manusia hidup dengan pandangan orang lain. Kegelisahan eksistensial ini pula yang kiranya ditangkap filsuf modern asal Prancis, Jean-Paul Sartre. Sartre menangkap fenomena pasca-Perang Dunia II bahwa karier dan jalan hidup seseorang amat ditentukan pandangan umum masyarakat di mana laki-laki dianggap baik jika berkarier sebagai tentara, sedangkan kaum hawa sebaiknya menjadi buruh pabrik tekstil.
Sartre mendobrak pandangan itu. Ia pun menggelorakan filsafatnya bahwa manusia memiliki kebebasan absolut.
Hidup manusia itu bebas dan tidak terbelenggu takdir atau bahkan penpatan orang kebanyakan. Kehidupan manusia itu bahkan telah dikutuk untuk bebas menentukan pilihannya sendiri tanpa ada determinasi dari siapa pun dan kelompok mana pun.
Jika tidak, ya hiduplah seperti si bapak-anak dan keledainya tadi yang kebingungan persis lirik lagunya Iksan Skuter, Bingung. n