
ARAB Saudi pernah menutup ibadah haji, rukun Islam kelima ini. Negeri Petro Dolar secara tegas meniadakan perhelatan ibadah di Padang Arafah pada tahun 1814, 1837, dan 1858. Penyebabnya adalah wabah penyakit menular yang superhebat. Tahun 1892 karena wabah kolera dan 1987 wabah meningitis. Tidak ada yang mengumandangkan kalimat talbiah.
Semua tiarap menyelamatkan nyawa dari pandemi. Indonesia pun pernah tidak mengirim jemaah ke Tanah Suci karena alasan lagi digempur agresi Belanda. Itu terjadi pada tahun 1946 , 1947, dan 1948. Tegas tahun 1947, Menag Fathurrahman Kafrawi mengeluarkan maklumat penghentian ibadah haji di masa perang.
Tahun 2020 ini, bangsa yang mayoritas berpenduduk muslim ini kembali tidak mengirimkan jemaah haji. Wabah corona alasannya. Kajian literatur dan pengalaman yang pahit itulah maka penyelenggaraan haji tahun ini–tertunda yang diselimuti ancaman virus corona atau Covid-19.
Wabah corona dikhawatirkan berakibat tragedi kematian massal yang akan mengancam jutaan manusia yang sedang berkumpul dua kota suci yakni Mekah dan Madinah. Indonesia tidak mau mengambil risiko besar.
Penantian mendengarkan pengumuman dari menteri agama harap-harap cemas. Karena sebagian besar jemaah haji asal Indonesia–rentan tertular virus corona. Suasana ingin bermunajat di Arafah, mabit di Muzdhalifah, dan melontar di Mina, memeluk Ka’bah, mencium Hajar Aswad, hingga ziarah ke makam Rasulullah saw, serta minum air Zamzam hilang seketika.
Dengan berbagai pertimbangan di tengah pandemi, Menteri Agama Fachrul Razi membatalkan keberangkatan 220 ribu jemaah calon haji, termasuk Lampung sebanyak 7.140 orang. “Selain mampu secara ekonomi dan fisik, kesehatan, keselamatan, serta keamanan, jemaah haji harus dijamin dan diutamakan. Baik dari embarkasi, dalam perjalanan, maupun selama di Arab Saudi hingga pulangnya ke Tanah Air harus aman,” ucap Menteri.
Virus yang mematikan itu tidak hanya melanda Indonesia, juga negara-negara belahan Timur Tengah dan seluruh dunia. Tidak ada yang patut disalahkan. Semua harus ikhlas dan berlapang dada. Sebab, agama Islam mengajarkan menjaga jiwa adalah kewajiban yang harus diutamakan.
Negara ini harus melindungi rakyatnya karena tidak ada kepastian kapan wabah corona itu mereda. Dan belum ada jawaban pasti dari Arab Saudi kapan pula Kota Mekah dan Madinah untuk diziarahi umat muslim seluruh dunia. Indonesia tidak memiliki cukup waktu untuk melakukan persiapan, pelayanan, dan perlindungan kepada jemaah calon haji.
Persiapan sangat matang agar jemaah dapat menunaikan ibadah haji secara aman dan nyaman. Pengalaman pelaksanaan ibadah haji tahun-tahun sebelumnya, menjadi ukuran. Tadinya, musim haji tahun ini rencana awal keberangkatan kloter pertama pada 26 Juni. Membutuhkan waktu 25 hari untuk mengurus visa, penerbangan, serta akomodasi dan transportasi.
Ribet sekali! Belum jika nanti jemaah haji mematuhi protokol kesehatan harus ditambah 14 hari untuk karantina sebelum keberangkatan dan saat kedatangan ke Tanah Air. Jika jemaah dipaksakan berangkat, ada risiko yang amat besar yang harus dihadapi. Keselamatan jiwa dan kesulitan selama pandemi. Belum lagi di Padang Arafah, Muzdhalifah, dan Mina.
***
Ibadah haji normal saja, susah payahnya mengatur jemaah karena pasti ada yang sudah uzur–harus dibopong memakai kursi roda. Belum lagi jumlahnya besar dalam satu kloter. Masa pandemi satu sama lain harus menjaga jarak. “Di asrama haji juga di maktab antre makan dan mandi. Pengalaman selama ini, sulit mengaturnya apalagi saat ibadah di Masjid Nabawi dan Masjid Haram selama pandemi,” kata temanku, Sulaiman (58).
Sulaiman adalah pembimbing haji. Dia pun tidak bisa membayangkan betapa sulitnya mengatur jemaah saat tawaf, sai, berdiam di Arafah, mabit, serta melontar ketika ibadah haji menerapkan jaga jarak. “Di hari Arafah saja, ada puluhan jemaah yang berdiam dalam satu tenda. Belum lagi di Mina. Jika virus corona belum mereda. Bisa dipastikan, malapetaka pasti datang–menghantui jemaah,” katanya.
Jutaan tamu Allah akan terinfeksi virus corona dan bersiap-siap pula mati syahid. Arab Saudi pasti gelagapan menghadapinya. Tragedi Terowongan Mina dan peristiwa robohnya tower crane hingga kini menyisakan duka yang amat dalam bagi bangsa Indonesia. Jika ibadah haji dipaksakan, negeri ini akan sibuk mengurusi nasib jemaahnya di Tanah Suci.
Ketika pemberangkatan dibatalkan oleh pemerintah, jemaah kehilangan kesempatan beribadah haji tahun ini. Apakah tahun depan masih ada umur, kesehatan, dan dana yang cukup. Tapi sebaliknya? Jika pemberangkatannya tidak dibatalkan, bersiap keselamatan jemaah haji terancam. Di sini, negara hadir untuk memilih keselamatan rakyatnya.
Yang jelas wabah virus ini membawa hikmah yang mendalam. Bagi yang sudah berniat dan terjadwal menunaikan haji, maka ia sudah mendapatkan pahala haji sempurna. Menghadapi pembatalan haji tahun ini, pasti ada jemaah yang kecewa dan bereaksi beragam. Betapa tidak, karena mereka sudah mengantre bertahun bahkan puluhan tahun untuk masuk daftar haji.
Ketulusan dan keikhlasan untuk tetap berhaji dan meraih pahala walaupun belum berangkat, tengah diuji. Apakah jemaah kembali menarik setoran biaya haji–yang sudah dilunasinya, atau tetap mengendap di rekening negara. Pilihan sulit yang dihadapi jemaah di tengah pandemi corona.
Boleh diambil, 100% tidak ada pemotongan. Jika ingin kembali berangkat ke Tanah Suci, jemaah calon wajib daftar dari awal. Ini pilihan! Memang nilai perputaran uang untuk haji khusus saja sekitar 200 juta dolar AS—300 jutadolar AS atau Rp4,35 triliun. Itu jemaah haji khusus yang menggunakan travel, belum lagi haji reguler–yang jumlah uangnya sangat fantastis.
Kegagalan pemberangkatan haji tahun ini, sudah tercatat pahalanya. Rasulullah saw bersabda : “Barang siapa bertekad melakukan kebaikan lantas tidak bisa terlaksana, maka Allah mencatat baginya satu kebaikan yang sempurna. Jika ia bertekad lalu bisa terpenuhi dengan melakukannya, maka Allah mencatat baginya 10 kebaikan hingga 700 kali lipatnya sampai lipatan yang banyak.” (HR. Bukhari dan Muslim). Subhanallah. ***