DUA orang curhat betapa dahsyatnya kekuatan media siber—online dalam menyebarkan informasi di era digital. Mereka adalah Bupati Lampung Tengah Loekman Djoyosoemarto dan Bupati Lampung Utara Agung Ilmu Mangkunegara.
Dua pucuk pimpinan kabupaten di Lampung itu menyoroti ketidakakuratan berita yang disiarkan media online—imbas dari belum berkompetennya wartawan dan perusahaan pers yang belum standar.
Kegelisahan itu disampaikan saat silaturahmi di tempat berbeda pada hari yang sama, Senin (24/9/2018). Loekman curhat di ruang kerjanya di Gunungsugih. Sedangkan Agung di ruang redaksi Lampung Post.
Pada era digitalisasi saat ini, kompetensi, integritas, dan terverifikasinya media online sangat dibutuhkan dalam menjalankan tugas-tugas jurnalistik.
Maraknya media online, kata dua bupati itu, rakyatnya akan lebih mudah mengetahui peristiwa terkini tanpa menunggu esok hari. Media ini juga haruslah menyiarkan berita akurat. Juga berbenah memenuhi permintaan pasar.
Asia Sentinel
Jika tidak, akan ditinggalkan pembaca. Dua pekan lalu, media online bernama Asia Sentinel yang berbasis di Hong Kong meminta maaf. Mantan Presiden SBY dan Partai Demokrat diberitakan yang berisi fitnah.
Berita terkait skandal Bank Century yang diduga melibatkan Cikeas diakui editor Asia Sentinel, John Berthelsen, tidak memenuhi kaidah jurnalistik. Secara terbuka, John meminta maaf kepada seluruh rakyat Indonesia atas kerugian yang ditimbulkan dari berita ini. Bahkan secara jujur, media online itu mengakui tidak mencari konfirmasi dari orang yang diberitakan.
Baca juga : https://lampost.co/epaper/kolom/refleksi/moralitas-caleg/
Berita tersebut dinilai tidak berimbang dan mencederai praktik jurnalisme. Terkesan artikel yang disiarkan media Asia Sentinel menghasut dan tidak adil bagi Presiden keenam Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Yang jelas, Asia Sentinel tanpa konfirmasi. Berbeda berita Wall Street Journal (WSJ) yang membongkar kasus korupsi melibatkan mantan PM Malaysia.
Najib Razak dan keluarganya diseret ke pengadilan karena berita yang disiarkan WSJ dilengkapi fakta yang akurat. Di negeri ini, menjelang Pemilu 2019, fenomena penyebaran berita melalui online kian masif. Karena itu, anak bangsa diingatkan agar tidak mudah terprovokasi dengan beredarnya berita hoaks yang mengandung fitnah untuk memecah belah negeri ini.
Pakar keamanan siber Pratama Persadha mengatakan harapan publik agar pemerintah bisa memverifikasi akun media sosial sulit direalisasikan. Itu lantaran internet bekerja dengan prinsip anonim atau siapa saja bisa menjadi siapa saja. Apalagi pengguna internet di Indonesia per Januari 2018 mencapai 145 juta orang atau sebanyak 55% dari jumlah penduduk.
Kemudahan menyiarkan informasi itu, kata Pratama, kerap dimanfaatkan pihak yang tidak bertanggung jawab. Apalagi publik tidak melengkapi dirinya dengan literasi. Itu sangat gampang terhasut dan menduplikasi berita sesat yang diviralkan. Negeri ini memberikan kebebasan berpendapat. Akan tetapi harus dibarengi pertanggungjawaban etik kepada publik.
Langkah Tegas
Sebagai langkah tegas, pemerintah sudah menerbitkan Undang-Undang (UU) No 11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Juga UU No 40/1999 tentang Pers. Peraturan itu menangkal berita bohong dan mengandung fitnah. Dengan dua undang-undang itu media siber ikut memerangi penyebaran berita bohong atau fakta.
Indonesia berdiri hingga saat ini karena sikap patriot, keberagaman suku dan agama.
Ingat! Penyebaran berita bohong dan fitnah sangat rentan di tengah pesatnya teknologi dan informasi. Data dari Mabes Polri menyebutkan, peredaran berita bohong di dunia maya cukup masif atau sekitar 3.500 kasus/hari. Berita hoaks terus meningkat menjelang Pemilu 2019.
Patut menjadi renungan, maraknya situs gelap—dalam bentuk media online lebih berbahaya dari media sosial (Facebook, Twitter, dan lainnya). Situs gelap itu lebih menyulitkan aparat mengantisipasinya. Mengapa? Sebab, pembuat situs menggunakan identitas anonim yang sulit dilacak.
Maka itu, anak bangsa yang bekerja di dunia pers perlulah menerapkan prinsip-prinsip peliputan jurnalisme damai ketika sebuah konflik yang tengah berlangsung. Pers menjadi penengah, menjadi penyejuk dalam menyelesaikan konflik antaranak bangsa. Terlebih pada Pemilu 2019.
Jurnalisme Damai
Konsep jurnalisme damai yang pertama kali digagas Johan Galtung—menginspirasi publik. Peristiwa konflik atau yang mengarah pertikaian dapat diberitakan dengan mengedepankan penyelesaian, perdamaian. Berita yang disiarkan itu juga bukan untuk membuat runcing suasana, sehingga memicu kekacauan sosial politik.
Tahun 2019 adalah tahun politik bagi negeri ini. Nasib masa depan bangsa ditentukan dalam bilik suara. Pertarungan sangat sengit. Semuanya harus mengendalikan diri dan menebar kedamaian. Diramalkan dengan sangat lugas bahwa politikus cenderung mengeluarkan pernyataan-pernyataan provokatif, kontroversial, dan sensasional.
Bahkan ikut memanas-manasi pihak yang berkonflik. Situasi seperti itu, pers menerapkan prinsip jurnalisme damai. Pers memilih, memilah, dan menyaring pernyataan politikus untuk keutuhan bangsa. Politikus yang saling serang dan menghalalkan segala cara, tidak perlu diunggulkan apalagi untuk dipilih. Mereka meraih kekuasaan dengan cara-cara tidak terhormat.
Keberagaman
Indonesia berdiri hingga saat ini karena sikap patriot, keberagaman suku dan agama. Anak bangsa harus melawan aksi kekerasan, penyebaran berita hoaks yang membuat keresahan di tengah keharmonisan.
Hadapilah orang-orang bersumbu pendek berdalih agama dan etnik dengan kesejukan. Pers sebagai pilar demokrasi tidak perlu ikut terseret—memperkeruh suasana karena bisa memecahbelah anak-anak bangsa. ***