
USAI sudah pesta demokrasi negeri ini. Hasilnya? Akan terpilih pemimpin yang dikehendaki rakyat. Kali ini, dua pesta sekaligus–memilih presiden dan wakil presiden serta anggota parlemen. Kampanyenya tujuh bulan bertarung merebut simpati anak bangsa. Mereka menajur pancing. Rakyat memilih dan memilah, siapa yang pantas dan layak memimpin negara ini.
Dua jam setelah pencoblosan pada Rabu, 17 April 2019 lalu, sejumlah lembaga survei yang dipatenkan Komisi Pemilihan Umum (KPU) melakukan hitung cepat dan exit poll. Pasangan calon No 01 Joko Widodo-Ma’ruf Amin sukses mendulang suara lebih banyak dari pasangan No 02 Prabowo Subiato-Sandiaga Uno.
Seperti versi hitung cepat Litbang Kompas memasukkan data pemilih 76,75%, menunjukkan Jokowi-Amin meraih 54,28%, sedangkan Prabowo-Sandi 45,72%. Tak hanya Kompas, masih ada sembilan lembaga survei seperti Rakata Institute, Indo Barometer, Charta Politika, Poltracking Indonesia, Indikator Politik Indonesia, SMRC, LSI Denny JA, CSIS, serta Cyrus Network menunjukkan angka yang tidak jauh beda.
Hasil survei itu berbeda dengan hasil hitungan manual (real count) Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandi. Lebih 62% data C1 hasil rekapitulasi dimenangkan pasangan No 02. Atas dasar itulah, Prabowo dengan tegas mendeklarasikan kemenangannya didampingi cawapres Sandi. Dua deklarasi kemenangan, Prabowo tidak didampingi cawapresnya.
Kamis sore hingga malam terjadi klaim kemenangan. Prabowo mengatakan deklarasi kemenangan perlu disampaikan lebih cepat karena dia mengaku memiliki bukti kecurangan dalam pelaksanaan Pemilu 2019. Sementara Jokowi-Amin menyatakan pasangannya memenangi pertarungan hasil hitung cepat (quick count) dengan mengantongi suara 54,28%.
Bagi Tim Jokowi masih harus menunggu hasil perhitungan manual KPU pada 22 Mei mendatang. Bangsa ini perlu belajar dari negara-negara maju. Masih ada sebagian elite yang berkompetisi belum mampu menerima kekalahan. Padahal sebelum pemilihan, mereka mendeklarasikan diri; siap kalah dan siap menang. Mental tempe! Siap menang tapi tidak siap kalah.
Elite negeri ini perlu waktu mengakui kekalahan dengan sejumlah posisi tawar dan bargaining. Di negara demokrasi yang telah mapan, Amerika Serikat dan negara di Eropa, contohnya. Ada satu tradisi yang patut diikuti, yakni pidato kekalahan ketika pertarungan telah berakhir.
Baca juga : https://lampost.co/epaper/kolom/refleksi/kekuatan-istikharah/
Mereka yang kalah dalam pemilihan tanpa sungkan menyampaikan pidato kekalahan di hadapan pendukungnya. Bahkan, dia meminta maaf atas kegagalan. Bahkan, dia menyerukan kepada massanya agar memberikan dukungan penuh kepada pemenang. Indah sekali!
Seringkali dalam pesta demokrasi baik berskala daerah maupun nasional. Mulai dari ormas hingga partai politik, para pendukung mengikuti perintah pemimpin. Jika pemimpin legawa dan ikhlas atas kekalahannya, pastilah pendukungnya demikian juga. Anak bangsa yang cinta damai memberikan apresiasi karena mengakui kekalahan secara jantan.
Energi Positif
Mengakui kekalahan memberikan energi positif dan pendidikan politik yang sangat luar biasa bagi anak bangsa. Pihak kalah juga dinilai sebagai sosok negarawan yang memikirkan kepentingan lebih besar.
Pastinya pemimpin mencirikan kepentingan rakyat. Jangan sampai memiliki nafsu kekuasaan berlebihan mengalahkan yang lebih besar. Yang jelas, kompetisi menghadirkan pemenang dan kalah. Ibnu Qayyim Al Jauziyah berkata: sesungguhnya di antara hikmah Allah dalam keputusan-Nya memilih para raja, pemimpin, dan pelindung umat manusia adalah sama dengan amalan rakyatnya.
Bahkan, kata Qayyim, perbuatan rakyat seakan-akan adalah cerminan dari pemimpin dan penguasa. Jika rakyat lurus, lurus juga penguasanya. Begitu sebaliknya! Masih ingat cita-cita pendiri bangsa ini? Adil dan makmur. Rakyat harus sejahtera.
Negara hadir untuk menyatukan keberagaman. Hanya karena pemilu, anak bangsa bercerai berai. Sekali lagi negara harus hadir. Oleh karena itulah perlu dihargai ajakan capres-cawapres untuk tetap menjaga persatuan dan kesatuan, memelihara perdamaian, dan tidak provokatif.
Prajurit TNI dan Polri disumpah menjaga keutuhan bangsa dan negara berdasarkan pada Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika, dan NKRI. Baik Menko Polhukam, Panglima TNI, maupun Kapolri akan bertindak tegas menghadapi aksi yang nyata-nyata mengganggu ketertiban dan keamanan nasional. Mengapa petinggi keamanan bersikap demikian?
Karena partisipasi publik pada Pemilu 2019 mencapai 80,9%. Angka itu melampaui target yang ditetapkan sebesar 77,5 %. Angka partisipasi itu menunjukkan siapa pun yang menjadi presiden memiliki legitimasi publik yang sangat tinggi. Maka itu, TNI dan Polri harus menjaganya!
Tidak saja negara menjaganya, organisasi keagamaan seperti MUI, Muhammadiyah, termasuk mantan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono bersikap demikian. Ketua Umum Partai Demokrat itu menginstruksikan kadernya tetap berpegang teguh pada keyakinan bahwa keamanan dan keselamatan NKRI adalah di atas segalanya. Sikap itu patut dicontoh!
Seluruh elemen bangsa harus menjaga ketenangan dan tali persaudaraan. Jika ada kecurangan, selesaikan melalui jalur hukum dengan mengajukan gugatan sesuai dengan peraturan perundangan. Rakyat jangan diprovokasi. Sebagai pengemban amanah di bumi milik Tuhan ini, manusia harus menjaga dan merawat persatuan, dan persaudaraan sesama anak bangsa.
Kita tunggu saja keputusan Tuhan, siapa pemilik kemenangan. Rakyat sudah memutuskannya. Tuhan juga sudah menitipkannya kepada anak manusia yang memiliki kecerdasan dan akal sehat. Jangan sekali-kali menolak hak-hak Tuhan. Elite yang habis berpesta juga harus menunjukkan kepada rakyat untuk kembali merajut kebersamaan. Bangunlah ibu pertiwi ini. Bukan membuat gaduh yang akan memicu kehancuran! ***