
SAWAHLUNTO menjadi kota mati. Itulah yang terbersit di pikiran saya ketika mengunjungi kawasan tambang batubara milik PT Bukit Asam (BA) Unit Penambangan Ombilin (UPO) pada tahun 2002. Perusahaan pelat merah itu berencana menghentikan produksinya karena tidak kuat lagi menghadapi masyarakat yang melakukan penambangan liar.
Memang batubara yang dikeruk dari bumi Sawahlunto sangat tinggi dan bernilai. Mungkin itu sebabnya kolonial Belanda berjibaku menguasai kota tua ini ratusan tahun. Ombilin adalah tambang dalam tanah. Batubaranya diambil dari dalam perut bumi dengan menggunakan lori. Buktinya? Terdapat terowongan yang kini masih tersisa. Itu menjadi saksi bisu.
Jika perusahaan yang ditunjuk pemerintah–PTBA berhenti beroperasi, mau jadi apa Sawahlunto ini? Pikirku saat itu. Padahal yang menggerakkan sebagian besar perekonomian kota itu adalah UPO Bukit Asam. Satu sisi pemerintah daerah tidak berdaya menghadapi tambang rakyat. Di sisi lain, PTBA terus merugi karena ulah penambang liar.
Tak sedikit nyawa penambang liar melayang ketika batubara yang dikeruk dalam terowongan meledak. Apalagi tidak dilengkapi alat pengaman, apalagi pengetahuan tidak cukup untuk menambang. Ada kesan pembiaran dari pemerintah daerah. Apakah takut dengan rakyat? Atau sengaja oleh daerah agar Bukit Asam cepat menutup unit usahanya di Sawahlunto.
“Bukit Asam tidak bisa berbuat banyak,” kata pejabat PTBA saat itu. BUMN ini sengaja membawa rombongan wartawan berkunjung ke Ombilin.
Hari ini, benar-benar Unit Ombilin sudah tutup. Banyak aset PTBA peninggalan kolonial terbengkalai. Gedung kuno, lori, termasuk hotel tidak terawat. Jalan satu-satunya menyelamatkan aset tambang bernilai sejarah itu agar tetap terjaga, dengan “menjualnya” ke badan dunia. Beruntung, Sabtu (6/7), UNESCO PBB menetapkan Sawahlunto menjadi warisan budaya dunia.
Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan yang bernaung di bawah bendera PBB menyetujuinya dalam sidang ke-43 Komite Warisan Dunia UNESCO PBB pada Kongres Baku di Azerbaijan. Persyaratan yang harus dipatuhi pascaditetapkan Penambangan Ombilin jadi situs warisan dunia adalah masyarakat dilarang melakukan penambangan.
“Salah satu poin penting dari penetapan itu, tidak boleh lagi ada aktivitas tambang liar di daerah warisan dunia tersebut,” ujar Gubernur Sumatera Barat Irwan Prayitno, awal pekan ini (8/7).
Kini Sawahlunto menjadi warisan dunia kelima yang dimiliki Indonesia. Sebelumnya negeri ini sudah memiliki empat warisan dunia kategori alam, yakni Taman Nasional Komodo (1991), Taman Nasional Lorentz (1999), Hutan Tropis Sumatera (2004), dan Taman Nasional Ujung Kulon (1991). Selain kategori alam, ada juga kategori budaya, yakni Candi Borobudur (1991), Candi Prambanan (1991), Situs Sangiran ( 1996), sistem Subak di Bali (2012), serta Sawahlunto (2019).
Baca juga: https://lampost.co/epaper/kolom/refleksi/tiga-huruf/
Warisan Dunia
Keinginan kuat memasukkan Sawahlunto menjadi warisan dunia kategori budaya bermula pada 2015. Kota tua itu dimasukkan daftar sementara yang pada akhirnya disetujui dengan penyebutan Ombilin Coal Mining Heritage of Sawahlunto. Maksudnya lebih bermakna universal.
Penambangan batubara di Ombilin itu terjadi karena adanya pertukaran nilai kemanusiaan sepanjang masa, baik dalam perkembangan arsitektur maupun teknologi. Seni monumental, perencanaan kota dan desain lanskap. Itu masih sangat dirasakan masyarakat Sawahlunto.
Selain itu terjadi keunikan dalam proses penambangan. Di situ terjadinya transformasi–pertukaran informasi dan teknologi dari Eropa ke lokal. Kolonial mengajarkan teknologi eksploitasi batubara yang modern. Prosesnya cukup lama mulai akhir abad ke-19 hingga awal abad ke-20.
Persoalannya sekarang, mampukah anak bangsa di Sawahlunto merawat warisan dunia itu. Jika dirawat dengan baik, Sawahlunto jadi kota wisata–berpotensi dikunjungi oleh turis mancanegara. Kota yang divonis menjadi kota mati pada 2002 itu disulap jadi wisata baru bagi rakyat dunia.
Tempat wisata baru yang dikenal “Kota Tambang” masih menyimpan cadangan batu bara 110 juta ton. Nilai kalori dalam kandungan batubara lebih dari 7 kcal per kg. Batu bara terbaik di dunia itu siap-siap menjadi tempat pusat kajian ilmu pengetahuan.
Di Ombilin ini juga terdapat banyak museum. Antara lain Museum Gudang Ransum. Di museum ini, wisatawan dapat mencari tahu teknologi sejak era kolonial yang digunakan tempat—dapur masak. Ada juga Museum Kereta Api, Museum Pakaian Tradisi, dan Museum Lubang Tambang Mbah Suro.
Lubang Sawah Luwung, contohnya. Menjadi prioritas tempat pendidikan. Sedangkan wisata jadi pertimbangan karena faktor keamanan. Lengkaplah sudah destinasi baru bernama Sawahlunto. Agar lebih ramai dikunjungi, pengelola pariwisata di situ harus mengikuti tren dunia digital.
Data di Kementerian Pariwisata mencatat, lebih dari 70% turis asing dan domestik yang pelesiran di berbagai daerah di negeri ini menggunakan media digital untuk memesan akomodasi wisata. Sekali lagi, jika tidak ingin mati, pelaku industri pariwisata harus menghadirkan layanan digital.
Kementerian juga mengembangkan branding Wonderful Indonesia Digital Tourism 4.0. Pengembangan sumber daya manusia, serta penggunaan teknologi informasi. Ingat! Masa depan pariwisata itu berada dalam genggaman digital. Apalagi pasarnya adalah kaum milenial.
Dan, saat ini masih menjadi tantangan adalah masih tingginya harga tiket pesawat walaupun sudah diturunkan hingga 50%. Itu pun hanya berlaku untuk hari kerja pada pukul 10.00 hingga 14.00. Jika tidak segera dibenahi, Sawahlunto hanya menambah daftar panjang warisan budaya dunia yang tidak berdampak pada industri pariwisata. ***