SUASANA kebatinan rencana pembebasan bersyarat narapidana terorisme Ustaz Abu Bakar Ba’asyir adalah rasa pertimbangan kemanusiaan. Untuk menghirup udara bebas itu tergantung Ba’asyir sendiri. Dia divonis 15 tahun penjara karena terbukti menjadi perencana dan penyandang dana pelatihan kelompok bersenjata di Pegunungan Jantho, Aceh.
Pada Maret 2018, Ba’asyir sempat keluar masuk rumah sakit karena kondisi kesehatannya terus menurun. Hal itu pula memunculkan opsi menjadikan sang ustaz sebagai tahanan rumah. Tapi rencana tersebut ditunda. Pemerintah hanya mengizinkan memindahkan Ba’asyir dari Lembaga Pemasyarakatan (LP) Gunung Sindur, Bogor, ke rumah tahanan di Solo.
Belakangan dengan pertimbangan kemanusiaan itu, Presiden Joko Widodo memberikan ruang dan waktu untuk pembebasan bersyarat Ba’asyir. “Bayangkan kalau kita sebagai anak, lihat orang tua kita sakit-sakitan seperti itu,” ujar dia di Istana Merdeka, pekan lalu. Tapi ada mekanisme hukum yang harus dilalui seperti berikrar setia kepada NKRI dan Pancasila. Presiden pun tidak mungkin mau menabrak peraturan.
Ba’asyir yang berusia 81 tahun telah menjalani masa hukuman sembilan tahun dari 15 tahun. Fakta itu sesuai dengan aturan hukum tata negara menjadikan dia memenuhi syarat untuk bebas murni tanpa hal yang memberatkan. Ustaz yang sepuh itu menolak ketika diminta untuk setia kepada NKRI dan Pancasila. Ba’asyir enggan menandatangani surat ikrar setia tersebut.
Pembebasan
Sebagai anak bangsa, harusnya bersyukur ada pembebasan bersyarat. Ada peraturan, ada kebijakan. Tapi, itu tidak dimanfaatkan seorang Ba’asyir. Dia menolak secara tegas, sementara pemerintah memasang badan untuk ustaz. Pasang badan? Sehari sebelum dalam debat calon presiden, Jokowi-Amin berpandangan tegas bahwa tidak ada kompromi atas terorisme.
Pada era keganasan rezim Hitler yang melakukan pembantaian massal orang-orang Yahudi, mereka pun ia menggambarkan manusia sejatinya sebagai subjek bukan objek. Sebagai subjek, manusia memiliki keluhuran, jati diri yang harus dihargai secara mulia. Jika itu dikaitkan pembebasan Ba’asyir, sangat wajar dilakukan pemerintahan Jokowi.
Baca juga : https://lampost.co/epaper/kolom/refleksi/mafia-bola/
Itu juga bukan pencitraan untuk Jokowi-Amin. Justru akan melorotkan kepercayaan publik tentang pemberantasan kejahatan terorisme sampai ke akar-akarnya. Atas pertimbangan kemanusiaan, negeri ini dikecam banyak negara terutama Australia. Perdana Menteri (PM) Australia Scott Morrison menyampaikan keberatan atas rencana pembebasan Ba’asyir.
Australia meminta Indonesia mempertimbangkan aspek kemanusiaan dari sisi korban peristiwa bom Bali yang didalangi narapidana terorisme. Bom yang meluluhlantakkan Bali 2002— menewaskan 200 orang. Sebanyak 88 orang di antaranya adalah warga Australia. Itu mengapa Negeri Kangguru itu menolak keras pembebasan Ba’asyir.
Di tengah-tengah politik yang membabi buta saat ini, penuh fitnah, kebohongan, dan kebencian, ternyata negeri ini masih ada rasa kemanusiaannya serta kepastian hidup bagi seorang narapidana seperti Ba’asyir. Anak-anak Indonesia haus perlindungan. Maka itu, pemerintah memberikan grasi bagi yang ingin bertobat.
Berdaulat
Sebagai bangsa yang berdaulat, pastinya negara ini tidak ingin mengikuti kemauan Australia. Tapi Ba’asyir sendiri sebagai warga Indonesia menolak buah manis di pengujung hari senjanya. Mantan Ketua Umum Pengurus Pusat Muhammadiyah Ahmad Syafi’i Ma’arif sempat meminta Ba’asyir agar menerima Pancasila. “Saya berharap Ba’asyir agak berlapang dada. Dia warga negara kita, jadi harus tunduk pada konstitusi,” kata Syafi’i.
Buya Syafi’i menyesalkan sikap Ba’asyir yang menolak Pancasila sebagai ideologi dan konstitusi negara sebagai bentuk sikap mau menang sendiri. Kondisi ini menjadikan pemerintah dilematis karena ingin berbuat baik, namun yang bersangkutan tidak mau bekerja sama. Biarkan publik menilai benar dan salah dari keputusan seorang Ba’asyir yang sudah tua renta.
Sejatinya, nilai-nilai kebangsaan yang dirajut sejak negara ini berdiri dan merdeka tidak membedakan suku, agama, ras, dan antargolongan. Rasa mengayomi keberagaman sebagai bangsa yang beradab. Pancasila sebuah pandangan hidup bangsa yang beragam. Bahkan sila-sila dalam Pancasila tergambar dari ayat-ayat dalam kitab suci Alquran.
Sangat jelas seperti sila pertama sejalan dengan Alquran, yakni Surah Al-Ikhlas Ayat 1. Begitupun sila kedua sangat selaras dengan Surah An-Nisa Ayat 135. Sila ketiga juga ada dalam Surah Al-Hujurat Ayat 13. Sila keempat dibahas terang benderang dalam Surah As-Syuro Ayat 38. Kemudian sila kelima ditegaskan juga dalam Surah An-Nahl Ayat 90.
Solusi
Islam memberikan solusi bagi negara beragam seperti Indonesia. Sangat aneh jika anak bangsa menolak Pancasila, bahkan ada yang berkeinginan menggantinya dengan ideologi lain. Syafi’i Ma’arif menilai, “Apa yang dilakukan Ba’asyir dengan menolak Pancasila dan setia kepada NKRI patut dicurigai. Ini perlu segera dicarikan solusinya,” tegas dia.
Pancasila menjamin keberagaman dan agama. Sila pertama sangat tegas bahwa negeri ini berketuhanan Yang Maha Esa. Begitu juga sila ketiga, menggambarkan Indonesia menghindari disintegrasi dan ego sektoral. Apalagi soal keadilan, sangat terang benderang ditegaskan dalam sila kelima, negara menghindari kesenjangan ekonomi anak bangsa.
Tegasnya, Pancasila adalah sebuah jembatan emas seluruh perwakilan etnik dan kepentingan yang ada di Indonesia. Pancasila menjadi wadah pertarungan untuk berbagai macam keinginan yang merepresentasikan kemajemukan. Pastinya Pancasila dengan Islam memiliki titik temu dengan melibatkan tokoh agama seperti KH Wahid Hasyim dan Soekarno.
Mereka merumuskan dasar negara ini ketika Indonesia ingin merdeka. Pancasila bak perekat yang digali dari kondisi plural dan religius bangsa ini. Tidak ada kompromi dan tidak ada negosiasi serta basa basi lagi soal pengakuan terhadap NKRI dan Pancasila. Itu sangat tegas diajarkan sejak sekolah dasar hingga perguruan tinggi. ***