PUBLIK terkejut! Akhirnya Mahkamah Agung (MA), lembaga benteng terakhir penegakan hukum di negeri ini meloloskan mantan narapidana kasus korupsi, bandar narkoba, dan kejahatan seksual menjadi calon anggota legislatif (caleg) dalam Pemilu Legislatif 2019. Di luar dugaan.
Kejahatan luar biasa yang memorakporandakan bangsa ini mulus begitu saja tanpa hambatan apa pun. MA dengan mudah membatalkan ketentuan Pasal 4 Ayat (3) dan Pasal 7 huruf g Peraturan KPU No. 20/2018 tentang Pencalonan Anggota DPR, DPRD provinsi, dan kabupaten/kota. Itu artinya, MA terkesan membela koruptor, bandar narkoba, dan penjahat kelamin.
Putusan MA memiliki logika hukum sendiri untuk membatalkan peraturan KPU. Namun, keputusan itu tidak merepresentasikan suasana kebatinan dan jiwa kebangsaan rakyat sudah menolak korupsi. Kepentingan publik terkalahkan sekelompok syahwat untuk berkuasa di parlemen.
Jujur dikatakan, putusan MA bertentangan dengan hati nurani. Padahal, korupsi dan narkoba adalah musuh bersama publik karena menggerogoti bangsa ini. Untungnya masih ada partai politik (parpol) yang tegas tidak akan mencalonkan koruptor. Ini persoalan moralitas!
Juru bicara MA Suhadi beralasan Peraturan KPU No. 20/2018 bertentangan dengan undang-undang. Dengan begitu, mantan koruptor boleh nyaleg sesuai dengan prosedurnya—Undang-Undang No. 7/2017 dan putusan MK, kata Suhadi. Sepertinya MA tidak membuka lebar-lebar buku putusan pengadilan tipikor. Tegas dikatakan korupsi adalah kejahatan luar biasa yang memerlukan upaya melawannya dengan cara luar biasa pula.
Kepala Biro Humas Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Febri Diansyah mengingatkan kepada bangsa ini bahwa banyak anggota parlemen yang selama ini dijerat karena korupsi. Sedikitnya 146 anggota DPRD diproses karena korupsi. Belum lagi di DPR—70 orang yang ditangani KPK. Sudah banyak komitmen mencegah korupsi diteken oleh pejabat.
Pakta
Pakta Integritas, contohnya. Banyaknya lembaran pernyataan yang diteken tapi hasilnya masih ada dililit kasus korupsi. Kalaulah boleh jujur, putusan MA membatalkan Peraturan KPU No. 20/2018 dinilai gagal menghadirkan anak bangsa yang bersih dan memiliki sensitivitas terhadap korupsi, narkoba, juga kejahatan seksual. Iya donk!
Tragisnya, lembaga parlemen tidak akan berwibawa karena isinya adalah para mantan napi korupsi, bandar narkoba, serta penjahat kelamin. Gedung wakil rakyat disandera oleh kepentingan-kepentingan mengeruk duit rakyat, narkoba. Mungkin ini tidak disadari Mahkamah Agung sebagai lembaga–penjaga terakhir penegakan hukum di negeri ini.
Putusan MA itu juga akan menipu pemilih dalam Pemilu Legislatif 2019 yang isi kertas suaranya ada bekas koruptor, bandar narkoba, dan penjahat seksual. Komisi Pemilihan Umum (KPU) harus bersikap! Pegiat demokrasi Network for Democracy and Electoral Integrity(Netgrit), Hadar Nafis Gumay, mengusulkan agar bekas napi itu tadi ditandai di surat suara.
Tidak Adil
Memang terasa tidak adil dengan putusan MA. Aparatur sipil negara (ASN)–mantan napi korupsi berkeliaran bebas. Bahkan, mereka masih menerima gaji. Badan Kepegawaian Negara (BKN) mengungkapkan sebanyak 2.357 koruptor berstatus sebagai ASN menerima gaji dari negara. Memalukan! Targetnya ASN ini diberhentikan Desember 2018. Sementara mantan napi korupsi diberikan keleluasaan oleh MA menjadi anggota parlemen.
Memang korupsi, termasuk seksual, sungguh kejahatan luar biasa. Kalau tidak dicegah apalagi meloloskannya–akan dicaci maki oleh anak cucu. Saat ini, korupsi sudah merambah usia muda. KPK menyebutkan umur koruptor termuda berusia 28 tahun. Masih juga negeri ini bermain-main dengan kasus korupsi dan narkoba?
Negeri ini selalu membuat kesalahan di lubang yang sama.
Data terakhir Indonesia Corruption Watch (ICW), Selasa (18/9), penanganan korupsi yang dilakukan KPK terus meningkat. “KPK pada semester I 2018, lebih banyak menangani kasus korupsi dibandingkan semester sebelumnya. Selama semester I ini KPK juga telah melakukan OTT sebanyak 14 kali,” kata anggota divisi investigasi ICW, Wana Alamsyah.
Saking sudah merajalelanya tindak pidana korupsi yang diungkap KPK, Polri, dan kejaksaan. Sebab itu, ICW merekomendasikan agar penegak hukum menggunakan pendekatan pencucian uang setiap kasus korupsi, termasuk narkoba. Penegak hukum juga haruslah mengenakan pidana bersamaan antara hukuman badan dan pengembalian aset koruptor dan narkoba.
Baca juga : https://lampost.co/epaper/kolom/refleksi/politik-dispensasi/
Inilah akibatnya. Negeri ini selalu membuat kesalahan di lubang yang sama. Belum dua bulan, Sabtu (21/7), KPK menangkap basah Kepala LP Sukamiskin Bandung Wahid Husen karena menjual ruangan mewah untuk tahanan koruptor. Kini publik dikejutkan lagi ada ruangan—sel mewah di LP tersebut. Penghuninya adalah napi koruptor bernama Setya Novanto.
Semua berkilah. Ruangan itu diperbaiki atas inisiatif napi dan peninggalan zaman Belanda. Publik sangat tahu bahwa Novanto terlibat kasus korupsi KTP-El. Duit yang dikurasnya mulai dari rupiah hingga dolar. Tidak sedikit. Mencapai triliunan rupiah.
Sidak
Atas temuan sidak Ombudsman RI pada Jumat (14/9), Kepala LP Sukamiskin Tejo Herwanto menyerah tanpa syarat, akibat persekongkolan mantan ketua umum Partai Golkar itu. Ruangan mewah itu diunggah di media sosial sebagai bukti nyata.
Mengapa korupsi tetap merajela di negeri ini? Karena koruptor boleh mengembalikan kerugian negara dengan cara mencicil. Mau contohnya? Adalah Novanto juga koruptor lainnya dengan menjual aset-asetnya untuk mengangsur sesuka hati mengganti kerugian tersebut.
Lalu, koruptor dan bandar narkoba masih bebas menjalankan praktik nafsu syahwatnya di dalam penjara. Mereka diberikan fasilitas ruangan nyaman. Bahkan, mereka masih bisa dilantik menjadi kepala daerah. Terakhir, dari putusan MA, koruptor yang mengisap duit rakyat itu bisa mencalokan diri menjadi anggota parlemen. Di negara lain sudah ditembak mati. Alamak!