PESTA demokrasi, Pemilu 2019, tinggal dua bulan lagi. Hajat negara ini menggelar pemilihan presiden dan anggota parlemen berharap aman, sejuk, dan damai. Pemilih tercatat ada 187 juta orang. Pada pemilu kali ini juga ada sekitar 100 juta pemilih milenial, berusia 17—35 tahun. Kalau dalam garapan pada era Orde Baru, mereka adalah pemilih pemula.
Artinya, anak bangsa berusia milenial itu menjadi mayoritas penentu bagi kemenangan calon presiden serta anggota dewan. Nasib bangsa ini berada di tangan milenial. Pemilu yang digelar secara bersamaan itu dijadwalkan pada 17 April. Akhir pekan ini berlangsung debat kandidat putaran kedua calon presiden dan wakil presiden. Temanya membahas energi, pangan, sumber daya alam, dan infrastruktur. Kita tunggu kepiawaiannya.
Dalam kompetisi politik yang berdasar pada proporsi usia pemilih, milenial berada pada peringkat terbanyak yakni 43% pemilih. Karakter yang membedakan generasi X (36 tahun—55 tahun) dan generasi baby boomers (55 tahun ke atas) dengan generasi milenial adalah melek informasi yang terkoneksi melalui internet dengan jejaring media sosial digital.
Milenial
Milenial penentu masa depan bangsa berciri seperti apa? Paling tidak, ada lima sikap disenangi milenial untuk mencari perhatian publik. Pertama, suka pembaruan dan kejutan yang tidak pernah terpikirkan. Contohnya? Ketika membuka Asian Games 2018, Presiden Joko Widodo menggunakan moge dalam video pembuka pesta olahraga. Itu sangat disenangi milenial.
Kedua, mereka suka menggunakan kata-kata gaul seperti di media sosial. Itu artinya, kampanye di mata milenial tidak perlu janji mengawang, tetapi mereka suka bahasa praktis dan kepastian. Ciri ketiga, kreativitas. Anak bangsa yang lahir pada era milenium alias abad ke-21 atau sekitar 1980-an lebih melihat kreativitas. Seperti menggunakan meme atau tipografi yang sangat menarik dalam menyedot perhatian.
Keempat, calon presiden, anggota dewan atau partai politik berkampanye apa adanya. Menggunakan data dan fakta, tidak penuh kebohongan untuk menaikkan citra atau karakter. Dan kelima, generasi milenial suka interaktif dan dialogis. Mereka tidak suka monoton apalagi menggurui. Patut dicatat! Mereka berpikiran terbuka dengan gagasan baru.
Yang jelas milenial terbiasa hidup dengan perubahan begitu cepat. Dengan keakraban dan kefasihan teknologi berbasis digital dan internet. Jika ingin mematikan kreativitas milenial, cukup mengambil gawai (telepon pintar) dari tangannya. Matikan kuota serta Wi-Fi. Mereka pasti sakau. Survei CSIS pada Agustus 2017 menyebutkan sebanyak 81,7% milenial pengguna Facebook, 70,3% WhatsApp, dan 54,7% memiliki Instagram.
Hasil survei ada benarnya. Itu mengapa bangsa ini harus mengedepankan program dan gagasan. Karena 10 tahun lagi, generasi mileniallah yang akan menguasai panggung demokrasi. Demokrasi itu bersahabat, bukan perang, apalagi permusuhan. Anak bangsa ingin meraih kemenangan dengan cara-cara terhormat dan bermartabat.
Penelitian
Penelitian dilakukan Van der Bilt dari Universitas Tennessee menyatakan berita hoaks akan mulai dipercaya apabila kerap dibagikan. Lambat laun memengaruhi opini publik. Belum lagi berbagai isinya tidak mendidik yang membawa pada degradasi moral serta kehancuran. Hoaks sangat rentan mengadu domba, memecah belah, bahkan memicu perang saudara.
Saling hujat, saling serang, mudah terprovokasi, saling tuduh antarsesama anak bangsa, menjadi tantangan bagi generasi milenial untuk berjuang mengembalikan bangsa ini dalam ikatan persaudaraan dan kedamaian. Sangat disayangkan jika kerukunan bangsa yang sudah tumbuh dan dirajut beratus-ratus tahun lamanya harus dihancurkan oleh sikap permusuhan. Penyebabnya adalah keserakahan dan perebutan kekuasaan dengan cara-cara tidak terhormat. Pastikan milenial sungkan menunjukkan politik identitas, menebar kebencian apalagi mengubar kebohongan.
Baca juga : https://lampost.co/epaper/kolom/refleksi/hpn-surabaya/
Patut direnungkan. Penjelasan Chairil Tanjung (CT) bahwa generasi milenial nanti menjadi penguasa pasar karena sangat konsumtif. Generasi ini, kata CT, populasinya kian lama kian membesar. “Sebentar lagi merekalah yang mendominasi Tanah Air,” kata bos media itu.
Dalam sesi Konvensi Nasional Media Massa pada Hari Pers Nasional (HPN) 2019, di Surabaya, Jatim, 8 Februari lalu, penjelasan CT sangat menggoda peserta. Mengapa? Dulu sangat sedikit ditemui inovator. Saat ini, banyak mahasiswa dan anak muda berinovasi terjun ke dunia bisnis, membuat aplikasi hingga startup. Merekalah yang akan menjadi pemenang.
Survei
Mempersiapkan milenial menurut CT, negeri ini perlu memahami hasil survei lembaga internasional. Dalam Global Talent Competitiveness Index 2018 menunjukkan peringkat pendidikan di Indonesia masih rendah. Untuk bersaing dengan sesama negara ASEAN saja, negara ini masih tertinggal. Indonesia berada di urutan ke-77 dari total 119 negara yang disurvei. Poin yang disurvei adalah semangat keberagaman dan daya saing.
Sesama negara ASEAN, Indonesia berada di bawah Malaysia di peringkat ke-27, Filipina ke-54, dan Thailand di peringkat ke-70. Untuk itu pula, saatnya bangsa ini membangun sumber daya manusia milenial berkualitas. Sebagai penyumbang suara terbesar pada pemilu, Indonesia haruslah membangun generasi berintegritas, berkarakter, serta berkompetensi.
Pastinya generasi milenial juga memiliki kecerdasan komprehensif. Seperti kecerdasan untuk bekerja produktif dan inovatif dengan kecepatan tinggi. Mereka mampu berinteraksi sosial dengan baik dan memiliki peradaban yang diunggulkan serta kemampuan bersaing. Milenial juga beradaptasi dengan perubahan yang mudah. Akrab dengan dunia teknologi digital.
Dengan itu pula, negeri ini berharap banyak munculnya generasi milenial yang mampu merekatkan semangat patriotisme, nasionalisme. Merekalah yang menjaga negara ini. Anak-anak bangsa tidak ingin melihat Indonesia terbelah seperti Suriah atau Afganistan. Hanya karena perbedaan pandangan cara menata kehidupan beragama dan bernegara. ***