PESTA demokrasi serentak kali ini benar-benar menguras tenaga, pikiran, materi, bahkan jiwa anak bangsa. Pemilu 17 April 2019 menelan korban jiwa. Tidak hanya belasan anggota Polri, puluhan anggota Kelompok Panitia Pemungutan Suara (KPPS) direnggut nyawanya.
Mereka tidak hanya jatuh sakit karena kelelahan, akan tetapi mengalami kecelakaan, menghadapi kekerasan, bahkan dipatuk ular. Di Lampung saja, ada tiga anggota KPPS bernasib yang sama, sedangkan dari anggota Polri, mulai berpangkat brigadir hingga berpangkat jenderal.
Hanya mengantongi honorer Rp550 ribu untuk ketua KPPS dan Rp500 ribu anggota KPPS, mereka berjibaku dengan satu tekad agar pemilu berjalan lancar. Petugas Satuan Perlindungan Masyarakat (Linmas) juga diberikan Rp400 ribu. Tugas mulia itu dijalankan tanpa asuransi jiwa.
Mereka tancap gas sebelum hari pencoblosan dengan mendirikan tempat pemungutan suara (TPS). Pagi hingga siang harinya, bekerja dengan penuh ketelitian–melayani rakyat untuk mencoblos. Hanya istirahat makan dan salat, petugas melakukan penghitungan suara hingga subuh berlalu. Suara yang dihitung mulai dari surat pemilihan presiden hingga legislatif.
Surat suara legislatif saja dihitung dari DPR-RI, DPD-RI, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota. Ini benar-benar pemilu tersibuk karena melibatkan 190 juta pemilih dengan 810 ribu TPS serta 6,4 juta petugas. Belum lagi saksi partai dan TNI/Polri yang ikut serta mengawal pesta tersebut.
Sungguh sangat lelah. Persiapan pemungutan suara saja, dimulai sehari sebelum pencoblosan. Keesokan harinya, mereka pun mengantarkan kotak suara ke panitia pemilihan kecamatan (PPK). Ada yang jatuh pingsan, ada yang dibegal di perjalanan. Nyawa mereka pun tidak tertolong lagi.
Mereka gugur layak menyandang pejuang demokrasi. Meninggal dunia dalam menjalankan tugas mengawal pelaksanaan pemilu. Dan tidak elok jika negeri ini tidak memberikan apresiasi kepada anggota Polri dan petugas KPPS yang meninggal dalam tugas.
Pesta kali ini, pejuang demokrasi melayani rakyat untuk memilih 575 DPR-RI, 136 anggota DPD RI, 2.207 DPRD provinsi, serta 17.610 DPRD anggota kabupaten/kota. Pemilu serentak itu harusnya dilakukan dengan ramah, tanpa tekanan. Seminggu pascapencoblosan–masih terdengar beberapa penyelenggara pemilu di tingkat TPS meninggal dunia. Tragis memang!
Sebagian dari penyelenggara yang meninggal itu–masih menjadi tumpuan hidup dalam keluarga. Dan tidak banyak yang memberikan perhatian dan mengetuk hati semua orang dari gugurnya pejuang demokrasi. Padahal, mereka tidak tenang apabila rekapitulasi belum selesai, dan kotak suara belum tiba sesuai dengan jadwal. Belum lagi menghadapi protes.
Asuransi
Sangat disesalkan pejuang demokrasi bekerja tanpa diasuransikan. Sebagai penyelenggara pemilu, Komisi Pemilihan Umum (KPU) bertanggung jawab. Paling tidak yang sakit juga diberikan santunan. Data di KPU mencatat ada 374 anggota KPPS yang sakit. Negara harus hadir menghadapi musibah ini.
Melihat beban kerja anggota KPPS yang berat itu, saatnya tugas mereka ditata dengan baik lagi. Komisioner juga mengusulkan besaran santunan yang meninggal dunia Rp30 juta—Rp36 juta. KPPS yang cacat disantuni Rp30 juta, sedangkan yang mengalami luka-luka harus diusulkan maksimal Rp16 juta.
Baca juga : https://lampost.co/epaper/kolom/refleksi/keputusan-tuhan/
Sekali lagi, anggota KPPS perlu diperhatikan. Presiden dan Polri pun mengapresiasi anggota yang gugur dalam tugas dalam pemilu, kemarin. Mereka mendapat kenaikan pangkat lebih tinggi. Selain itu, mendapatkan santunan dan perpanjangan gaji.
Pemilu serentak pertama kali digelar di negeri ini, memperoleh partisipasi publik lebih dari 80%. Sukses pemilu itu, tidak sukses bagi calon anggota legislatif (caleg). Mereka diyakini terkena depresi karena gagal duduk di parlemen. Hampir seluruh rumah sakit jiwa–bersiap menyediakan dokter dan fasilitas medis untuk menampung pasien gagal caleg.
Bahkan rumah paranormal, padepokan, dan pondok pesantren membuka pintu yang seluas-luasnya bagi caleg gagal ini. Mereka menjalani akan rukiah hingga mandi kembang agar tegar menghadapi kekalahan. Berapa banyak duit yang terkuras. Pikiran dan tenaga bagaimana caranya bisa menang.
Semuanya hampa. Pandangan nanar melihat mata caleg yang gagal. Dari persoalan yang muncul ini, ada baiknya pemilihan presiden dan anggota legislatif itu dipisah. Karena banyak korban berjatuhan. Parlemen harus menanggapi persoalan ini. Saatnya juga penyelenggara pemilu di tingkat TPS dievaluasi secara menyeluruh.
Menurut Wakil Ketua Komisi II DPR-RI Mardani Ali Sera, kondisi pemilu kali ini dibilang darurat karena banyaknya yang meninggal dunia akibat kekelahan dan kecelakaan dalam mengawal pemilu. Nyawa anak bangsa tidak seimbang dengan pesta demokrasi.
Harusnya KPU menyelenggarakan simulasi yang sangat terukur atas beban kerja, waktu pencoblosan, serta perhitungan surat suara. Saatnya undang-undang tentang pemilu direvisi. Peluang diperbaikinya peraturan pesta itu juga mengacu pada putusan Mahkamah Konstitusi (MK).
Pemerintah dan parlemen yang terpilih jangan menutup mata! Undang-undang dan peraturannya harus dipisah. Dalam sosialisasi pelaksanaan pemilu menjelang hari pencoblosan, ternyata tataran teknis pelaksanaan sangat dirasakan ribet bagi pemilih.
Belum lagi penyelenggara di TPS mengalami hal serupa. Bukti nyata, banyak juga yang meninggal dan sakit karena kelelahan akibat tekanan waktu hingga larut malam. Apalagi beban kerja tanpa diimbangi dengan kondisi kesehatan. Pejuang demokrasi yang menegakkan martabat bangsa hanya mengantongi uang tanpa tanda jasa dan kesejahteraan. ***