APA jadinya negeri ini disesaki anggota parlemen berlabel koruptor! Anak bangsa mengapresiasi Kementerian Hukum dan HAM yang sudah mengundangkan Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) tentang Pelarangan Pencalonan Bekas Napi Bandar Narkoba, Kejahatan Seksual terhadap Anak, dan Korupsi dalam Pemilihan Legislatif 2019.
Bangsa ini maju selangkah. Bahkan, KPU maju sepuluh langkah karena menerbitkan peraturan larangan dan tidak gentar menghadapi tekanan massa. Dalam PKPU No 20 Tahun 2018 tentang Pencalonan Anggota DPR, DPRD Provinsi, serta DPRD Kabupaten dan Kota memuat larangan mantan narapidana narkoba, kejahatan seksual terhadap anak, dan korupsi menjadi calon anggota legislatif pada Pemilu 2019.
KPU berpendapat sangat tegas. Mempertahankan peraturan larangan itu seperti bak pepatah mengatakan sekali layar terkembang pantang surut ke belakang. Jika parpol memaksakan kehendak, KPU tetap menggugurkan calon anggota legislatif yang terbukti pernah menjadi narapidana.
Baca juga : https://lampost.co/epaper/kolom/refleksi/pesta-belum-usai/
Memang sejak awal, proses rekrutmen caleg bersih dimulai dari partai politik. Negeri ini tidak ingin lagi masuk jurang berkali-kali. Ketua DPR yang juga Ketua Partai Golkar Setya Novanto masuk bui karena korupsi dana KTP elektronik. Praktik korupsi itu menyeret nama sejumlah petinggi di negeri ini mulai dari menteri, anggota parlemen hingga kepala daerah.
Fakta tidak terbantahkan! Hasil survei Polling Center bersama Indonesia Corruption Watch (ICW) pada 2017 lalu, mengungkapkan partai politik dan lembaga legislatif merupakan dua institusi memiliki tingkat kepercayaan publik paling rendah, terkait agenda pemberantasan korupsi. Rendahnya kepercayaan itu lantaran pelaku korupsi berasal dari dua lembaga tersebut.
Diskusi ICW
Dan dalam diskusi yang digelar ICW pada Rabu (30/5/2018), disebutkan bahwa negeri ini perlu menyiapkan bahan baku yang baik dalam pemilu. Mereka yang akan dipilih menjadi pemimpin bangsa apalagi wakil rakyat harus orang yang tidak tercederai integritasnya. Harapan itu menunggu niat baik dari elite politik!
Partai Amanat Nasional (PAN), Partai NasDem, Partai Keadilan Sejahtera (PKS) berkomitmen mengawal PKPU pelarangan caleg mantan narapidana korupsi agar hasilnya tidak cacat.
Apa kata PAN? Sekjen Eddy Soepono mengatakan partainya tidak akan meloloskan koruptor menjadi caleg. Sekjen Partai NasDem Johnny G Plate juga berpendapat demikian. Partai ini mulai memberantas korupsi melalui praktik politik tanpa mahar.
Begitu pun PKS. Wakil Ketua Majelis Syuro Hidayat Nur Wahid mengatakan demokrasi harus steril dari praktik korupsi. Masih ada anak bangsa yang tidak terjerat korupsi bisa menjadi calon anggota parlemen.
Kejujuran
Semua orang ingin jujur. Bahkan, sejak kecil orang tua senantiasa melatih anaknya dengan kejujuran. Kalau bohong, nanti masuk neraka. Kata orang, honesty is the best policy. Terjemahannya antara lain, kejujuran ialah kebijaksanaan terbaik. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bersama-sama seniman pernah menuliskan kalimat; Berani Jujur, Hebat!
Pernahkah kita berbohong? Jawabnya, pernah. Pastinya hidup ini selalu dihiasi dengan kebohongan. Takut sama istri atau suami karena telat pulang ke rumah. Maka berkilah dibilang jalanan macet atau pecah ban motor di jalan. Apalagi suami memiliki lebih dari satu istri suka berbohong agar tidak berkonflik rumah tangga. Begitu juga calon pejabat dan caleg napi korupsi malu berkata jujur karena takut tidak dipilih rakyat.
Harusnya calon anggota parlemen atau calon pejabat yang bergelut dengan uang rakyat berani berkata jujur. “Doakan saya terpilih,” kata dia. Tapi jika sudah dilantik, dia melunasi utang dulu. Lalu mengembalikan modal semasa kampanye. Setelah itu, baru mengurus partai dan rakyat. Begitulah kejujuran caleg yang tidak pernah terpublikasi. Tidak percaya? Silakan tanya. Kecuali partai yang tidak menarik uang mahar dalam pendaftaran calon.
Rekam Jejak
Dosen Komunikasi Politik UIN Jakarta, Gun Gun Heryanto mengatakan jika partai mengabaikan rekam jejak seorang caleg, ia turut menyumbang retrogresi politik atau penurunan, pemburukan, kemunduran demokrasi. “Makin banyak mantan terpidana korupsi yang come back ke panggung politik akibat keran pencalegan yang dibuka lebar, korupsi tidak akan pernah membuat efek jera dan rasa malu bagi pelakunya,” kata dia.
Bahkan, lembaga parlemen bakal menjadi tempat pencucian dosa-dosa bagi koruptor karena menyandang status sebagai wakil rakyat yang terhormat. Janganlah PKPU yang melarang mantan napi korupsi diuji di Mahkamah Agung. Niat KPU hanya mendorong peningkatan kualitas demokrasi yang diawali dari seleksi bakal caleg yang bebas dari korupsi. Titik!
Paling tidak anak bangsa yang bakal memenuhi daftar caleg dan menyesaki gedung parlemen berasal dari lima kelompok. Siapakah dia? Kelompok pertama datang dari selebritas yang dijagokan partai dalam meraup suara. Lima tahun silam, berapa banyak artis yang tersangkut suap dan ditangkap KPK? Lalu kelompok kedua, pengusaha yang bermodal kantong tebal.
Datang juga dari kelompok aktivis organisasi dan kaum cendekiawan. Tidak ketinggalan kelompok mantan militer yang kini ramai-ramai menjadi tim sukses ingin menjadi caleg. Terakhir kelompok kelima datang dari tokoh agama dan adat yang bergegas ingin berkiprah menjadi anggota parlemen.
Jika sederetan dari kelompok itu melakukan praktek korupsi, malulah dengan anak cucu bangsa. Mahkamah Agung (MA) semasa Artidjo Alkostar ketika menjabat hakim agung sangat kuat membui pelaku korupsi dihukum berat. Karena praktik korupsi sudah mematikan sendi-sendi kehidupan. Korupsi sudah menjadi predator—memiskinkan negeri ini.
Semangat melawan bekas napi bandar narkoba, kejahatan seksual terhadap anak, dan korupsi harus ditempatkan nomor wahid dan paling tinggi ketimbang urusan pribadi dan golongan. Apalagi untuk urusan nafsu syahwat kekuasaan. Jika ada yang menghalangi pemberlakuan PKPU tentang larangan napi koruptor menjadi caleg, itu tandanya musuh rakyat. Bergegaslah membersihkan parlemen dari penjahat kemanusiaan! ***