DEBAT calon wakil presiden (cawapres) berlangsung Minggu, 17 Maret 2019, terjadi kejutan. Menu apa saja yang disuguhkan cawapres nomor urut 01 Ma’ruf Amin dan cawapres nomor urut 02 Sandiaga Salahuddin Uno? Pastinya, dua putra terbaik bangsa itumengadu gagasan dan ide tentang pendidikan, kesehatan, ketenagakerjaan, dan sosial budaya.
Mengadu gagasan di ruang publik bukanlah perkara yang gampang bagi Ma’ruf dan Sandi. Jelang debat, pekan ini, mereka pun menggelar simulasi agar penonton debat puas, dan hasilnya akan menaikkan elektabilitas. Cawapresnya Jokowi, Ma’ruf menggelar simulasi debat di kantor Tim Kampanye Nasional (TKN) di Gedung High End, Jakarta.
Tak mau kalah, Sandiaga mengundang sejumlah pakar untuk memperkaya pengetahuan dan memperkuat argumen debat. Yang jelas, Ma’ruf tampil dengan keulamaan. Bahkan, Ketua Umum MUI nonaktif itu tampil berbeda dari debat sebelumnya. Ada sesuatu yang baru dan mengejutkan. Begitu kata Direktur Komunikasi Politik TKN Jokowi-Amin, Usman Kansong.
Walaupun Ma’ruf memiliki segudang pengalaman, Sandiaga pun tidak ragu dan sungkan menghadapi lawan debatnya. “Ini debat antarcawapres. Jadi, pandanglah Ma’ruf Amin sebagai cawapres, bukan sebagai ulamanya dan bukan juga karena usianya lebih senior,” kata Direktur Relawan Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandi Ferry Mursyidan Baldan.
Ma’ruf mengapresiasi rasa hormat Sandi kepada dirinya. “Berdebat bukan berarti berantem, kan tanya jawab. Saya ditanya, jawabnya bagaimana,” kata kiai senior dari Banten ini. Rakyat berharap baik Ma’ruf maupun Sandi piawai dalam menjelaskan persoalan yang dihadapi dunia pendidikan, kesehatan, ketenagakerjaan, dan sosial budaya.
Ma’ruf dan Sandi, begitu juga Jokowi dan Prabowo dalam debat putaran pertama dan kedua mengadu gagasan dengan uji validitas dan rasionalitas. Debat calon pemimpin bangsa harus meyakinkan rakyat, siapa yang pantas memimpin. Debat bukanlah berkelahi fisik, melainkan perang pemikiran. Di situ kelihatan, kematangan konsep dan kerja untuk memimpin negara yang besar ini.
Baca juga : https://lampost.co/epaper/kolom/refleksi/jalan-perubahan/
Pemimpin yang matang menempatkan Indonesia di atas kepentingan kelompok dan golongan. Akan kelihatan siapa sebagai jawara memimpin negeri ini! Keberhasilan debat, bukan adu mulut juga bukan kerasnya suara. Melainkan lebih ditentukan kemampuan calon dalam mempresentasikan ide dan gagasan yang aktual, yang didukung fakta. Menariknya lagi diberikan contoh yang akurat, sehingga rakyat tidak akan ragu memilih.
Seperti Ma’ruf yang belum pernah sama sekali duduk di pemerintahan, harus lebih banyak menjelaskan capaian pemerintahan Jokowi. Banyak program yang sukses dalam pendidikan seperti kartu pintar. Sedangkan Sandi yang masih seumur jagung di pemerintahan sebagai wakil gubernur DKI Jakarta. Dia mengundurkan diri karena dicalonkan sebagai cawapres.
Catatan
Sebagai catatan untuk Komisi Pemilihan Umum (KPU), saatnya debat calon pemimpin bangsa ini digelar di kampus. Amerika Serikat (AS) saja memilih kampus sebagai tempat debat. Kampus tempat berdiamnya banyak pemilih milenial. Tapi di Indonesia, debat di kampus dihadang UU No 7/2017 tentang Pemilu karena melanggar!
Larangan berpolitik di kampus sangat merugikan pendidikan politik bagi kalangan generasi milenial. UU Pemilu yang sering digonta-ganti tidak memperhitungkan bahwa pemilih pemula yang kantong suaranya banyak di kampus. Debat memiliki makna strategis dalam meyakinkan pemilih.
Terhadap penting debat cawapres, perlu digelar. Mengapa? Karena publik harus mengetahui visi misi, program serta kualitas calon dalam memimpin negara. Wakil presiden bukan sebagai pelengkap, ban serep, juga bukan cadangan. Presiden dan wakil presiden satu kesatuan dalam memimpin.
Masih ingat kasus kerusuhan 1998, Soeharto terpaksa lengser dari jabatan presiden digantikan BJ Habibie. Kualitasnya tidak diragukan lagi. Habibie membawa agenda reformasi. Begitu juga Gus Dur berhenti di tengah jalan pada 2001, digantikan Megawati Soekarnoputri. Jadi, kualitas wapres sangat menentukan kualitas kepemimpinan selama lima tahun mendatang.
Ma’ruf dan Sandi adalah putra terbaik yang mampu tampil beda dalam debat putaran ketiga. Direktur Program Tim Kampanye Nasional (TKN) Jokowi-Ma’ruf, Aria Bima mengungkapkan Ma’ruf menampilkan gaya khas yang melekat pada dirinya. Ma’ruf menyampaikan gagasan bergaya tausiah. “Substansinya adalah konten yang menjadi isi tausiahnya,” jelas Aria.
Sebagai ulama besar sekaligus Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) nonaktif, Ma’ruf sudah terbiasa memberikan ceramah soal pendidikan, kesehatan, tenaga kerja, sosial budaya. Pastinya, Ma’ruf tetap menonjolkan sosok keulamaan menghadapi Sandi. Publik akan menunggu gaya Ma’ruf berdebat dengan berpakaian khas kain sarung dan serban.
Kalau mengutip ayat Alquran, Ma’ruf tentu sangat piawai. Banyak dalam kitab suci membahas soal pendidikan, kesehatan, ketenagakerjaan, dan sosial budaya. Kita tunggu saja! Lalu bagaimana dengan Sandi? Menurut juru bicara BPN Prabowo-Sandi, Andre Rosiade, Sandi melakukan simulasi untuk menghadapi Ma’ruf Amin.
Bahkan, untuk memperkuat soal pendidikan, Sandi tidak segan-segan menemui banyak profesor seperti Anies Baswedan dan Sri Edi Swasono membahas tentang sistem pendidikan. Mantan Wagub DKI Jakarta itu juga getol mempersoalkan pendanaan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan dan penyerapan tenaga kerja asing di Indonesia.
Pastinya, kedua cawapres saling lalap pemikiran. Ma’ruf dengan gaya tausiah. Begitu juga Sandi dengan gaya seorang pengusaha. Presenter Alvito Deannova dan Putri Ayuningtyas yang ditugasi KPU memimpin debat kali ini sudah menyiapkan pertanyaan yang akan memuaskan penonton. Debat berlangsung di Hotel Sultan Jakarta. Seru ndak ya? ***