
SIAPA yang tidak ingin menjadi rektor? Jabatan bergengsi di perguruan tinggi menjadi incaran guru besar universitas. Pekan terakhir bulan ini, Universitas Lampung (Unila) menghelat pesta demokrasi. Sebanyak lima putra terbaik Unila mendaftarkan diri menjadi calon rektor. Hitung-hitung mengadu nasib bisa dipilih oleh 48 guru besar.Lima calon yang akan dipilih menjadi orang nomor satu untuk periode 2019—2023 adalah Bujang Rahman (warek I Unila), M Kamal (warek II Unila), Karomani (warek III). Selain mereka, Satria Bangsawan (dekan Fakultas Ekonomi Bisnis), Irwan Sukri Banuwa (dekan Fakultas Pertanian). Terakhir Rangga Handika, tapi tidak lolos karena kurang persyaratan.
Lima orang itu memperebutkan 48 suara. Dari lima calon itu, nantinya senat meloloskan tiga besar setelah menyampaikan visi misi di depan sivitas akademika. Pastinya, masyarakat kampus menginginkan Unila menjadi 10 besar perguruan tinggi terbaik di negeri ini pada 2025.
Harapan itu selalu disampaikan Rektor Unila Hasriadi Mat Akin.
Peserta pemilihan rektor (pilrek) berkomitmen menjadikan Unila berdaya saing tinggi. Kampus top harapan warga milenial. Maka itu Unila harus bersih dari kasus suap, praktik transaksional, bagi-bagi jabatan. Kampus adalah benteng terakhir di negeri ini tempat meminta fatwa jika rakyat mengalami kejenuhan berpikir.
Kampus juga tempat pelepas dahaga. Manakala masyarakat haus keilmuan, maka kampuslah tempat pemberi solusi. Guru besar jadi teladan karena ilmu yang melekat pada dirinya. Karena keintelektualan itulah, profesor berkomitmen pilrek bebas transaksional, transparan, dan akuntabel. Harus menjauhi transaksi di bawah meja atau di tempat remang-remang.
Terdengar sayup-sayup dari warung kopi, tim sukses dan kandidat rektor menebar janji mulai dari tarif transaksi, bagi-bagi jabatan, hingga jatah kue proyek. Tidak itu saja, 35% suara Menristek Dikti menjadi rebutan dari transaksi di wilayah remang-remang. “Dijanjikan jabatan. Teman di luar kampus dijanjikan proyek.” Kalimat itu meluncur dari mulut tim sukses.
Kalau sudah bermufakat seperti itu, mau jadi apa Unila pada 2025? Kampus masa depan anak bangsa itu menjadi bancakan. Katakan! Tidak ada ruang politik praktis di kampus. Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Agus Radardjo mengingatkan guru besar. Lembaga antirasuah itu menemukan indikasi korupsi dalam pilrek rektor di beberapa daerah.
Baca juga: https://lampost.co/epaper/kolom/refleksi/mengubur-register-45/
Tidak hanya KPK mencium praktik jual-beli suara. Lembaga Ombudsman juga menerima informasi terjadi praktek serupa. Ada tujuh perguruan tinggi negeri (PTN) di Sumatera, Jawa, Sulawesi, melakukan praktik suap pada perhelatan pesta guru besar. “Besarnya Rp1,5 miliar—Rp5 miliar,” kata Anggota Ombudsman RI Ahmad Alamsyah Saragih. Mau mengelak?
Senat dan panitia seleksi calon rektor Unila–mampu menjadi wasit yang baik. Tidak tergiur janji kandat rektor. Tidak berpihak, apalagi mengakali proses pemilihan untuk memenangkan seseorang calon.
Rektor yang dipilih guru besar itu juga tidak menjadi bagian dari politik aliran, bersih, dan tidak memiliki ambisi pribadi apalagi kelompok dalam mengemban amanah. Cukup, itu saja!
Transparan
Berharap pemilihan transparan dan akuntabel, semua elemen anak bangsa baik di intra maupun ekstra kampus mengawasi proses pemilihan. Sebab itu, sejak awal panitia harus berani menggandeng KPK dan Ombudsman agar tidak menjadi fitnah dan dicurigai. Berkacalah kepada kampus yang berhasil memilih rektornya bersih. Tidak bermasalah di kemudian hari.
Pengawasan superketat pun dilakukan karena pada putaran kedua pemilihan–campur tangan menteri sangat dominan. Berdasar Peraturan Menristek dan Dikti Nomor 19 Tahun 2017, Pasal 9 Ayat (3) menjadi celah terjadinya kongkalikong. Mengapa? Karena menteri menjadi penentu kemenangan.
Menteri memiliki 35% dari total suara pemilih, sedangkan anggota senat hanya berhak 65%. Suara senat diperebutkan oleh tiga orang. Nantinya suara menteri akan ditumpukan untuk satu calon. Mereka mengadu kepiawaian.
Itu mengapa pintu untuk mendapat restu Kemenristek dan Dikti dijabani calon rektor sampai ke langit sekalipun. Pendekatan ke menteri dilakukan melalui kelompok dan golongan. Semua dilobi. Duit tidak ada masalah.
Pastinya, lobi politik aliran mewarnai pemilihan rektor. Politik aliran ini sangat membahayakan independensi kampus. Patut menjadi peringatan–jangan sampai kampus dipenuhi orang-orang beraliran keras. Kelompok radikalisme akan bersemayam, seperti jamur tumbuh subur di musim hujan. Banyak dosen apalagi mahasiswa terpapar karena radikalisme!
Unila yang berdiri sejak 23 September 1965 itu, paling tidak dinakhodai oleh orang yang mampu membawa kampus bereputasi akademik berkelas dunia. Menghasilkan banyak jurnal internasional. Hasil penelitian ilmiah dimanfaatkan untuk pengembangan sumber daya alam dan manusia. Kampus juga terbebas dari pengaruh radikalisme, narkoba, korupsi, kolusi, dan nepotisme.
Menuju cita-cita mulia itu, pesta para guru besar itu harus dikawal KPK, Ombudsman, dan masyarakat agar proses alih kepemimpinan berjalan transparan. Menjadikan Unila kian hebat dan cemerlang, berkelas dunia.
Bagaimana caranya? Tergantung siapa calon mumpuni yang dipilih nanti.
Senat universitas sebanyak 48 guru besar bersama menterilah yang paling bertanggung jawab membawa Unila lebih baik. Saatnya pesta guru besar itu mengesampingkan nafsu memilih jagoan rektor karena faktor fulus. Nafsu mengejar hadiah jabatan karena menyukseskan calonnya menang.
Luruskan niat bahwa pemilihan untuk menegakkan marwah Unila sebagai institusi pendidikan yang mencerdaskan rakyat. Bukan karena memilih diiming-imingi oleh kepentingan sesaat tadi. Jika tidak, nasib anak-anak bangsa yang sedang kuliah di universitas ternama di Lampung itu menjadi korban karena guru besarnya salah memilih rektor. ***