
SORE itu di ruang kuliah pascasarjana program Doktor UIN Raden Intan Lampung, seorang guru besar berucap 25—50 tahun mendatang tidak ada lagi yang mengaku orang Sumatera atau Jawa. Yang ada—menyebut dirinya orang Indonesia. Lihatlah negara maju, kata Profesor Sudjarwo. Dari perkawinan silang antarsuku menghasilkan budaya campuran. Pada akhirnya, melahirkan identitas bangsa yang menyebut Indonesia.
Topik yang dimunculkan dalam diskusi sore itu menjadi perdebatan karena tidak ada lagi orang mengaku wong Jowo atau Sumatera, apalagi Lampung. Yang ada hanyalah anak Indonesia. Pernikahan Kahiyang Ayu (putri Presiden Joko Widodo) dan Bobby Nasution adalah contoh nyata dari pemikiran sang guru besar. Tidak ada lagi yang membedakan suku dan budaya ketika dua anak bangsa merajut mahligai rumah tangga.
Jawa dan Batak Mandailing menjadi satu. Pernikahan anak presiden itu memiliki pesan dan makna dalam pelestarian budaya Nusantara. Yang jelas, prosesi adat pada pernikahan itu menjadi bagian perekat Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Budaya yang dirajut memiliki komitmen yang kuat terhadap keutuhan NKRI.
Dari pemikiran Profesor Sudjarwo di atas, bahwa cucu presiden dari buah perkawinan Kahiyang dan Bobby–memunculkan generasi baru sebagai anak Indonesia. Walaupun Sudjarwo yang usianya kini menginjak 65 tahun tepat pada 20 Mei 2018, pemikiran tentang millennial menjadi topik bahasan di ruang kuliah pascasarjana, baik UIN Raden Intan maupun Univeritas Lampung (Unila).
Guru besar bidang pendidikan itu selalu mengingatkan mahasiswanya sebagai profesi guru dan dosen agar mengikuti perkembangan teknologi. Dulu, siswa disuguhi hanya sebuah papan tulis dan kapur, kini dengan laptop. Semua telah berubah.
Sore itu, Sudjarwo bertanya sebenarnya apa yang diinginkan generasi millennial sekarang ini? Jawabnya, mereka membutuhkan perubahan, berpikir kritis, mudah diajak bicara, dan mengelompok sesuai hobi yang memanfaatkan kecanggihan digital.
Ketika menjelang pulang kuliah sore itu, Sudjarwo kembali memberikan penguatan mahasiswanya, baik itu guru maupun dosen, bahwa generasi saat ini sangat kuat keterikatannya dengan teknologi. Jika guru dan dosen tidak beradaptasi, anak didiknya akan meninggalkan ruang kelas.
Baca Juga : https://lampost.co/epaper/refleksi/profesor-millennial/
Pemikiran millennial sang guru besar–dari banyak artikel bercita-cita ingin mengantarkan Unila menuju kampus kelas dunia atau world class university. Salah satu caranya adalah dengan meningkatkan kualitas Pascasarjana Unila. “Pada 2020, masyarakat akan menganggap S-1 seperti SMA tinggi, artinya orang tamat S-1 itu sudah biasa. Orang-orang nanti akan bertanya S-2-nya di mana,” kata dia dalam suatu kesempatan.
Tantangan terbesar Lampung Post pada masa depan adalah regenerasi awak redaksi dan diversifikasi usaha.
Pemikiran itu kini jadi kenyataan. Lulusan S-1 apalagi pascasarjana (S-2), kata dia, tidak hanya memiliki kompetensi intelektual, akan tetapi memiliki nilai-nilai universal, world value, kejujuran, integritas, dan menghormati perbedaan. “Pascasarjana bukan tempat orang mencari ilmu, melainkan pengembangan kepribadian menuju kelas dunia,” kata Profesor lulusan Doktor Sosiologi Universitas Padjadjaran yang berpikir masa mendatang.
Lampung Post
Tidak hanya bicara dunia pendidikan, Sudjarwo juga memikirkan regenerasi dan diversifikasi usaha Lampung Post pada masa mendatang. Dia optimistis manajemen koran ini melengkapi bisnis media massa edisi cetak, misalnya membangun stasiun radio, serta televisi digital dan online. “Tantangan terbesar Lampung Post pada masa depan adalah regenerasi awak redaksi dan diversifikasi usaha,” ujarnya, beberapa puluh tahun silam.
Karena dia mengenal Lampung Post sejak masa-masa awal berdiri pada era 1970-an. Ada satu periode ketika Lampung Post berselingkuh dengan penguasa dan hampir semua kepala desa berlanggganan Lampung Post. “Ada saatnya ketika koran ini berseberangan dengan penguasa. Ketika itu ada pejabat yang melarang berlangganan Lampung Post. Dari sisi rakyat awam, sebenarnya ini indah sekali,” kata Djarwo, suatu ketika.
Nama Sudjarwo memang sangat lekat dengan Lampung Post. Pertama kali mengenalnya ketika berkunjung ke kantor harian ini. Saat itu Sudjarwo menjabat dekan Fakultas Keguruan Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Lampung. Namanya sudah ratusan kali mejeng dalam rubrik Opini di koran harian tertua di Lampung. Hingga kini, belum ada penulis yang menandingi produktivitas guru besar Sosiologi dalam menulis artikel.
Dengan seabrek tulisan yang diguratkannya itu, satu hal yang bisa saya lihat dari sosok Profesor Djarwo adalah sosok yang sensitif! Setiap ada fenomena sosial yang dibahas di publik, putra kelahiran Lubuklinggau itu tergerak hadir menulis memberikan pencerahan. Paparannya terhadap gejolak sosial yang timbul di masyarakat mampu dibedah dengan nilai-nilai filosofi Jawa yang amat humanis.
Apalagi jika fenomena itu menyangkut masalah pendidikan, dikupasnya sampai habis. Kepekaan Profesor amat terasa dalam membeberkan persoalan. Sepaket dengan solusi cerdas yang selalu disajikannya hadir dalam alenia terakhir dalam tulisannya. Walaupun dengan bahasa yang sederhana, kata-kata yang dirangkainya mampu membuat pembaca terbelalak menjadi cerdas.
Di tengah jadwal mengajar yang padat, guru besar dengan rasa peduli yang besar itu pula, dia terus konsisten menyumbang ide dan pikirannya yang dituangkan dalam tulisan hingga di usia 65 tahun pada akhir pekan ini. Seperti potongan kata dari Pramoedya Ananta Toer bahwa, “Menulis adalah bekerja untuk keabadian.” Dan Sudjarwo sudah bergumul dengan pasang-surutnya Lampung Post dari awal hingga hari ini.
Suatu kebanggaan menjadi bank data untuk ide, saran, masukan, serta solusi dari guru besar bernama Sudjarwo. Buah pemikirannya abadi bersama Lampung Post. Terkadang dia mengapresiasi koran ini dan juga tidak jarang dicereweti karena berita yang disajikan tidak berpihak kepada publik. Dia hanya berpesan semua itu untuk kepentingan masa depan bangsa ini. ***