PUASA tidak mengurung anak manusia untuk berunjuk rasa. Tidak juga mengurung melakukan provokasi agar rakyat menjadi terbelah. Menjelang rekapitulasi perhitungan manual Komisi Pemilihan Umum RI, ada kelompok masyarakat berupaya menghentikan tahapan pemilu tersebut. Caranya? Dengan mengerahkan massa atau keren disebut people power.
Tekanan massa itu terjadi di depan gedung penyelenggara pemilu di KPU dan Badan Pengawas Pemilu. Demo mengganggu pelaksanaan rekapitulasi. Maksud demo untuk mengubah hasil pemilu bahkan menolak hasil pesta demokrasi. Kelompok ini melakukan pengerahan massa secara besar-besaran. Siapa yang menggagasnya?
Penggasannya tidak sembarang orang di negeri ini! Mereka adalah mantan Panglima Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Kostrad) Mayjen (Purn) Kivlan Zen. Politikus Partai Amanat Nasional (PAN) Eggi Sudjana, dan mantan Mendagri Letjen (Purn) Syarwan Hamid. Eggi sendiri menjadi tersangka karena kasus dugaan makar dan keonaran.
Berawal dari pidato di Rumah Kertanegara, kediaman Prabowo Subianto pada hari pencoblosan, Rabu (17/4). Eggi menyerukan ajakan people power di hadapan massa pendukung pasangan calon nomor urut 02 Prabowo-Sandi. “Kalau people power itu terjadi, kita tidak perlu lagi mengikuti konteks tahapan-tahapan, karena ini sudah kedaulatan rakyat,” kata Eggi.
Bahkan, kata Eggi, mungkin ini cara Allah untuk mempercepat Prabowo dilantik. “Tidak harus menunggu 20 Oktober. Inilah kekuatan people power. Insya Allah. Tapi kita berharap, persatuan Indonesia harus tetap dijaga. Tidak boleh kita pecah antarbangsa. Ini yang bikin brengsek elite-elite saja,” kata Penasihat Persaudaraan Alumni 212 itu.
Tidak hanya tekanan massa yang dilakukan untuk mencabut hasil pemilu itu. Prabowo sendiri berkeluh kesah kepada wartawan asing terkait dugaan kecurangan pemilu. Kecurangan yang terjadi, kata dia, terstruktur, masif, dan sistematis selama penyelenggaraan Pilpres 2019. Bahkan, narasi kecurangan sudah diungkapkan kubu 02 jauh hari sebelum pemilu digelar.
Kecurangan itu tidak pernah diajukan dalam peradilan resmi, tetapi lebih banyak disuarakan—viral di media sosial. Prabowo curhat di depan wartawan asing, sedangkan Jokowi mendapat ucapan 30 pemimpin dunia karena sukses meraih suara dalam pemilihan presiden.
Seperti bumi dan langit. Antara Jokowi dan Prabowo. Jokowi sampaikan pemilu berjalan damai, adil, dan transparan. Sementara Prabowo berapi-api memberikan narasi kecurangan pemilu. Mana yang benar? Tunggu saja hasil perhitungan manual KPU RI pada 22 Mei 2019.
Persoalannya, ada sekelompok masyarakat menggerakkan massa untuk menggulingkan pemerintah yang sah. Mereka melakukannya karena tidak mau menerima kekalahan dalam pemilihan presiden, kemarin. Karena kalah bertarung lalu mau mengerahkan massa. Aneh kan! Pembuat rusuh, terancam pidana. Itu ditegaskan Kapolri Jenderal Tito Karnavian.
Baca juga : https://lampost.co/epaper/kolom/refleksi/berahi-kekuasaan/
Yang buat panas lagi adalah pernyataan mantan Kepala Badan Intelijen (BIN) AM Hendropriyono. Dia mengingatkan sejumlah WNI keturunan Arab tidak menjadi provokator. “Saya peringatkan Habib Rizieq, Yusuf Martak, dan orang yang meneriakkan revolusi. Itu inkonstitusional,” kata mantan Danrem 043/Gatam Lampung itu.
Peringatan Hendropriyono itu sangat beralasan. Sebab, warga keturunan Arab sangat dihormati di masyarakat. Dia perlu memperingatkan sebagian warga keturunan Arab untuk tidak memprovokasi revolusi sampai turun ke jalan. Politikus Gerindra, Fadli Zon, menilai pernyataan Hendropriyono memiliki bibit rasialisme dan bisa memecah belah.
Fadli Zon menyebut WNI keturunan Arab di Indonesia memiliki andil besar juga. Sebab, mereka ikut berjuang sejak merebut kemerdekaan. Bagaimana dengan keturunan Tiongkok? Sama seperti halnya keturunan Arab. Semua ikut memperjuangkan nasib bangsa ini. Siapa yang memulai, membedakan ras anak-anak di negeri ini. Hayo, ngaku saja?
Mengapa harus marah! Bahkan kebakaran jenggot. Isu rasial mengoyak-ngoyakkan keutuhan bangsa. Terjadi sejak Pilkada DKI Jakarta dan selama tahapan Pemilu 2019. Fitnah, ujaran kebencian, dan berita bohong sengaja diproduksi guna meraih kekuasaan. Dalam naskah ISEAS-Yusof Ishak Institute, Hafiz Al Azad membuat judul yang sangat provokatif.
Apa isinya? Media sosial dan dunia maya saat ini disebut siber jahiliah. Istilah itu mengacu kepada berbagai bentuk sektarianisme dan karut-marut dunia maya yang seakan belum menerima pencerahan dengan kehadiran seorang nabi. Mengapa Nabi diutus, turun di Arab? Karena negeri itu hidupnya sangat barbar.
Agama tidak mengajarkan kekerasan. Dan negeri ini memiliki kepribadian yang humanis. Perlu diluruskan juga bahwa budaya yang berasal dari Arab jangan dianggap ajaran Islam. Seperti janggut dan gamis. Jika mau berkata jujur, tidak hanya Nabi Muhammad yang bergamis dan berjanggut. Abu Lahab dan Abu Jahal, musuh Nabi juga memakai gamis dan berjanggut.
Budaya itu tidak untuk Indonesia. Negeri ini diikat dengan kebinekaan. Hidup rukun dan damai. Dulu berbicara soal rasial, tetapi dianggap biasa. Sekarang telinganya merah karena orang mengumbar rasialisme. Dulu antiasing, sekarang curhat dengan media asing. Omongan berbeda dengan perbuatan.
Sikap dan mental seperti ini haruskah menjadi sang pencerah. Dalam film yang mengisahkan ketokohan KH Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah. Sang pencerah menjanjikan ketenangan, kedamaian, kearifan, keadilan, dan ketenteraman. Bukan dengan grasah-grusuh mengatasnamakan agama ingin menjadi pemimpin. ***