
KIAN hari anak bangsa di negeri ini kian bebas menebar ujaran kebencian. Berprasangka buruk. Maraknya berita bohong (hoaks) tidak bisa dihindari—terus meningkat menjelang Pemilihan Presiden dan Anggota Legislatif 2019. Gelombang tekanan sangat terasa sekali seperti adu domba, ancaman kekerasan kian menjadi-jadi, bahkan menyentuh nyawa manusia.
Anak-anak bangsa tidak menginginkan negeri ini seperti zaman jahiliah. Saling bunuh, saling fitnah. Hak orang hakku, milik orang milikku juga. Itu yang dialami penduduk Kota Mekah pada era jahiliah. Maka itu, Allah swt., memerintahkan Nabi Muhammad saw untuk berhijrah dari Mekah ke Kota Madinah. Rasulullah saw dan para sahabat menghadapi tekanan kaum Quraish.
Ketika itu keselamatan jiwa bahkan keimanan sudah sangat terancam dan tidak ada lagi tedeng aling-aling. Hijrah atau berpindah fisik ke Madinah adalah kota yang paling aman dan nyaman. Hijrah untuk membangun kehidupan baru masa depan. Dalam konteks kekinian, hijrah dimaksudkan adalah berhenti menebar kebencian diganti menjaga harmonisasi.
Konteks
Lalu bagaimana dengan konteks Indonesia saat ini? Secara sosial, politik, perilaku kehidupan haruslah berhijrah. Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang juga khalifah di negeri ini menyerukan agar anak-anak bangsa berhijrah. Hijrah adalah perubahan ke arah yang lebih baik. Sebuah niat, tekad, dan perjuangan untuk meninggalkan keadaan yang membahayakan.
Pada pertemuan dengan tokoh masyarakat di Banten, Sabtu (3/11/2018), Jokowi berucap, “Mari bersama kita berhijrah dari ujaran kebencian ke ujaran kebenaran. Hijrah dari sering mengeluh kepada mensyukuri nikmat, selalu bersyukur. Hijrah dari yang suka suuzan atau berprasangka buruk kepada suka husnuzan berprasangka baik kepada siapa pun apalagi kepada saudara muslim, sebangsa, se-Tanah Air.”
Tidak hanya di Banten, Jokowi juga menyampaikan seruan berhijrah pada acara pembukaan Rapat Kerja Nasional Relawan Pengusaha Muda Nasional (Repnas) di Hotel Fairmont Jakarta, pada hari yang sama. Presiden meminta pengusaha muda berhijrah. Seruan itu ternyata mendapat sambutan positif dari netizen, bahkan menjadi trending topic di #HijrahBersamaJokowi.
Kata Jokowi, berhijrah dari yang konsumtif menjadi produktif, hijrah dari yang marah-marah ke yang sabar. Karena sabar dan pekerja keras adalah ciri-ciri pengusaha muda di negeri ini. “Hijrah dari yang senang perpecahan jadi senang persatuan. Hijrah yang tadinya senang monopoli jadi senang kompetisi, dan hijrah dari individualis jadi kolaborasi, kerja sama-sama.”
Ajakan hijrah sangat tepat waktunya di saat anak bangsa diselimuti hidup pesimisme. Beratus-ratus ujaran kebencian disebar secara masif dan terstruktur. Kebencian dan fitnah menyesaki ruang publik agar rakyat menjadi hidup pesimis di bumi Indonesia. Padahal negeri ini dibangun dengan energi optimisme, penuh harapan, dan sangat beradab.
Penyebaran
Penyebaran kebencian dengan berita bohong seperti jamur tumbuh di musim hujan. Teknologi komunikasi–media sosial memicu suburnya berita hoaks di masyarakat. Ingat! Pengguna internet pada 2017 di negeri ini tercatat 143,26 juta orang. Pengguna aktif media sosial 130 juta orang. Itu artinya, waktu yang dihabiskan melihat media sosial 3,5 jam per hari.
Tegas dikatakan bahwa ujaran kebencian dengan menebar berita bohong adalah musuh bersama. Maka itu pula, sangat wajar apabila khalifah juga ulama di negeri ini berkali-kali mengajak hijrah. Sekretaris Umum PP Muhammadiyah Abdul Mu’ti mengatakan ajakan Jokowi kepada anak bangsa untuk berani hijrah mendapat respons dari berbagai kalangan.
Memang sangat terasa–ujaran kebencian dan perbuatan tercela yang disebar di media sosial sudah menjadi hal yang biasa. “Bangsa Indonesia secara kolektif harus berhijrah meninggalkan hal-hal yang dilarang agama seperti korupsi, perusakan lingkungan hidup, dan kekerasan,” tegas Mu’ti.
Dalam pengertian spritual—kehidupan saat ini, saatnya berhijrah untuk meninggalkan perbuatan buruk agar kehidupan bangsa makin baik. Hingga detik ini, masih beredar luas ajakan kebencian, informasi palsu, dan fitnah yang menyerang pribadi sehingga menimbulkan kegaduhan dan permusuhan.
Baca juga : https://lampost.co/epaper/kolom/refleksi/antre-setor-nyawa/
Tahun Politik
Terkait tahun politik menjelang Pemilu 2019–memilih presiden dan wakil presiden serta anggota parlemen, bahwa ujaran kebenaran haruslah dikedepankan agar masa depan bangsa ini lebih baik lagi. Seorang pengamat politik dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Arie Sudjito menuturkan hijrah yang menggunakan narasi politik berdasar pada fakta dan data akan menjadi lebih konkret untuk dicerna masyarakat. Ujaran kebencian berdampak buruk bagi anak-anak bangsa. Rasa persaudaraan saat ini kian luntur dan tercabik. Sesama keluarga saja saling serang.
Negeri ini terjebak kepentingan sesaat. Hampir di ruang publik tidak ada lagi rasa kedamaian. Kehidupan dipolitisasi dengan ujaran kebencian mengatasnamakan suku, agama, dan ras. Orang sanggup bohong hanya untuk urusan mengisi perut dan jabatan. Maka itu lagi-lagi sudah saatnya berhijrah. Apalagi hijrah dengan motivasi untuk tidak mengejar jabatan dan harta kekayaan, hasilnya akan lebih baik lagi.
Karena hijrah adalah berpindah suatu keadaan yang lebih baik–seperti dicontohkan pindahnya seorang politisi dari satu partai ke partai lainnya. Ketika politisi keluar dari partai dengan alasan tidak searah lagi dengan kebijaksanaan, maka itu sikap yang baik. Dinilainya bertentangan dengan kebenaran dan keadilan, itu sebuah keniscayaan untuk berbenah. Anak bangsa merindukan kepastian akan kebenaran, bukan kebohongan. ***