MENJADI kebanggaan orang tua jika anaknya bisa sekolah di negeri. Apa pun alasannya, bagaimana caranya–yang penting anaknya bisa sekolah berlebel milik pemerintah. Sekolah pelat merah, apakah itu SMP, SMA, perguruan tinggi negeri (PTN) diburu masyarakat. Orang tua meluangkan waktu, mengeruk duit dari kocek agar anaknya bisa sekolah di negeri.
Seorang ibu setengah baya di Bandar Lampung harus rela antre dari subuh untuk mendapatkan nomor pendaftaran. Walaupun pengumuman tertulis di sekolah pendaftaran dibuka pukul 08.00. Dapat nomor saja bersyukur. Tapi sang ibu harus berjuang lagi untuk memenuhi syarat agar anaknya lolos dalam penerimaan peserta didik baru (PPDB) yang berbasis zonasi.
Sekolah negeri harus menyeleksi siswa baru melalui daring. Tidak perlu dipersoalkan jika pendaftar—peminat sesuai dengan jumlah kuota sekolah. Tapi yang menjadi persoalan adalah jumlah peminat membeludak sehingga–perlu dicarikan akal agar ia bisa diterima di sekolah tersebut.
Sekolah dan Dinas Pendidikan membuat petunjuk teknis agar anak-anak bangsa baik dari dalam atau luar zonasi bisa bersekolah. Sekolah unggulan atau favorit, pendaftar membeludak dibanding sekolah pinggiran. Apakah iya, pendaftar sekolah favorit berada dalam zonasi. Jangan-jangan menjadi warga titipan—siluman di zonasi tersebut.
Dalam penerimaan siswa baru 2019, sekolah tidak menjadikan nilai ujian nasional (UN) sebagai syarat seleksi untuk jalur zonasi. Hasil UN hanya menjadi syarat administrasi dalam PPDB. Cukup pragmatis berpikir. Gitu aja koq repot. Yang jelas masuk sekolah negeri tidak perlu lagi tambahan kursus bimbingan belajar (bimbel). Karena nilai UN tidak begitu penting.
Cukup minta surat keterangan domisili dari lurah. Lalu disahkan oleh Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Disdukcapil), anak-anak bangsa bisa bersekolah di negeri. “Tidak usah pinter-pinter amat. Dengan surat keterangan domisili pasti diterima kok,” kata Yunita (45).
Penerimaan siswa baru kali ini menghapus surat keterangan tidak mampu. Mengatur kuota satu zonasi sekolah asal berjumlah 90%. Siswa berprestasi dengan kuota 5%, dan jalur perpindahan orang tua 5%. Patut dicatat, zonasi juga mengacu pada domisili peserta didik berdasarkan kartu keluarga (KK).
Kalau mau transparan dan akuntabilitas, sekolah haruslah meneliti kartu keluarga, kartu tanda penduduk orang tua. Lalu cocokkan nama orang tua dengan ijazah. Akan kelihatan, benar atau tidaknya mereka berdomisli di zonasi tersebut. Sekali lagi surat itu diragukan!
Bisa-bisa surat itu dimanfaatkan oleh warga yang berada di luar zonasi. Apalagi surat itu disahkan Disdukcapil sebagai warga dalam zonasi. Sekali lagi, berani tidak memverifikasinya? Tidak cukup mengakses dan melihat di online untuk memeringkatkan dan zonasi pendaftar!
Menerjemahkan
Gubernur dan wali kota/bupati harus berani pula menerjemahkan dan mematuhi peraturan zonasi dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 51 Tahun 2018. Peraturan itu untuk memberikan kesempatan anak bangsa untuk sekolah dengan biaya murah, mendekatkan lingkungan sekolah dengan keluarga.
Secara tegas pula disampaikan Mendikbud Muhadjir Effendy dan Mendagri Tjahjo Kumolo dalam Surat Edaran Bersama Nomor 1 Tahun 2019 Tanggal 10 April 2019, bahwa kepala daerah diminta memastikan agar sekolah tidak melakukan jual-beli kursi, titipan peserta didik, pungutan liar.
Baca juga : https://lampost.co/epaper/kolom/refleksi/batu-ujian-gubernur/
Penerimaan siswa baru 2019 ini, kepala daerah harus mengedepankan prinsip-prinsip pelayanan publik. Menteri Muhadjir mengingatkan daerah agar melayani siapa saja tanpa pandang bulu. Kesampingkan kepentingan titipan pejabat yang mau memasukkan anaknya ke sekolah favorit.
“Tegakkan aturan, semua jadi enak, pemerintah enak, masyarakat juga nyaman karena tidak ada hak-hak istimewa pada pihak-pihak tertentu yang menuntut perlakuan khusus,” kata Menteri mengingatkan. Kepala daerah harus menunjukkan kepemimpinannya dengan mengikuti peraturan!
Sudah saatnya kepala daerah memperbaiki kualitas sekolah. Sarana dan guru harus di atas rata-rata standar nasional pendidikan. Kurikulum dan manajemen sekolah ditata lagi, sehingga sekolah akan lebih baik lagi. Sangat terasa sekali ketika PPDB berlangsung, masih ada sekolah negeri tidak dilihat oleh orang tua karena kualitasnya masih jauh dari standar.
Siapa yang salah? Orang tua masih melihat lulusan sekolah banyak diterima di perguruan tinggi negeri. Sebab itu, mereka berupaya agar anaknya masuk sekolah favorit. Dengan sistem zonasi, negara hadir—menghapus sistem yang hanya mementingkan kecerdasan akademik siswa. Selama ini sekolah negeri hanya mengumpulkan siswa cerdas berdasarkan nilai UN.
Dengan zonasi, sekolah menerima siswa dari beragam tingkat kecerdasan. Sistem PPDB ini juga menerima siswa yang memiliki kecerdasan rata-rata atau tidak, dan mereka berhak mendapatkan pendidikan yang baik. Ingat, guru bertugas mengajar dan mendidik siswa agar pintar dan cerdas.
Dengan begitu, sekolah berpelat merah yang dibiayai dari duit rakyat tidak harus menerima siswa yang cerdas saja, apalagi dari keluarga berdompet tebal. Jangan pula sistem zonasi ini dimanfaatkan–melegalkan dengan aturan keterangan domisili untuk memuluskan anak pejabat atau siapa pun orangnya untuk diterima di sekolah favorit.
Sistem zonasi ini juga memupus keinginan orang tua dan siswa yang ingin masuk sekolah favorit. Berdasar zonasi itulah, anak bisa sekolah, dan pekerjaan rumah pemerintah saat ini adalah menyamakan standar sekolah negeri agar terjadi pemerataan akses dan kualitas, sehingga tidak ada lagi surat-surat sakti untuk memasukan anak ke sekolah favorit.
Jika masih ada pelanggaran, kepala daerah harus menjatuhkan sanksi atas karut-marutnya pelaksanaan penerimaan peserta didik baru. Sudah saatnya sekolah di negeri berbenah. Jika tidak sekarang, kapan lagi! ***