![Iskandar Zulkarnain Wartawan Lampung Post](https://lampost.co/epaper/wp-content/uploads/2018/05/Iskandar-150x150.jpg)
MENGGUNAKAN mobil taksi dari hotel, saya bersama teman-teman dari Lampung memenuhi undangan Ibunda Joko Widodo, Sudjiatmi Notomihardjo, untuk berbuka puasa bersama (bukber). Tiba di kediaman pribadi Ibu Sudjiatmi, Kamis (23/5/) sore, kami disambut hangat oleh keluarga. Rumahnya sangat sederhana.
Tidak memakai pengawal. Tidak ada pos jaga seperti rumah pejabat penting lainnya di negeri ini. Awalnya baper (bawa perasaan) juga sih. Mengapa? Sebab, pertama kali berkunjung ke rumah ibu Jokowi. Dalam pikiranku, kalau acara bukber pasti banyak tamu yang diundang. Namun, sore itu terasa sepi. Dan seperti apa rumah dan ibunya ya?
Tiba di lokasi, hanya ada dua orang yang duduk di perempatan jalan di depan rumah ibu Sudjiatmi. Rumah kecil Jokowi berada di kawasan Jalan Pleret Raya 9A, Kelurahan Sumber, Kecamatan Banjarsari, Surakarta. Tidak ada tanda-tanda acara di kediaman ibu kandung Presiden ke-7 RI itu.
Bahkan seorang penjaga, tidak mengetahui secara persis acara yang akan digelar ibunda Presiden untuk tamunya. Bersyukur, anggota penjaga kawasan perumahan Ibunda Jokowi sudah kukenal sejak di Lampung sehingga kami diminta menunggu.
“Mas,” sapaku. “Masih ingat kan saat mengawal Pak Jokowi ke Lampung Post,” ucapku mengingatkan dia sebagai Paspampres.
“Oh iya, Mas. Kopinya enak kok,” kata Heri, anggota Paspampres itu, sambil tersenyum.
Ketika bertugas di kantor koran ini, pada 8 Maret lalu. Heri bersama temannya disuguhi kopi Lampung. Obrolan kami pun berlanjut. “Rumah ibu sepi-sepi aja, Mas. Kalau ada acara pasti kami diberitahu,” kata Heri.
Dalam obrolan itu, saya bertanya juga ke Heri, di mana rumah Jokowi. Lalu, dia menunjukkan dari kejauhan, rumah pribadi Jokowi dan rumah adik Jokowi. Saya hanya tertegun dan berpikir. Sudah dua periode menjadi wali kota, lalu gubernur, dan kini presiden. Namun, rumahnya sederhana tanpa pengawalan, sama seperti rumah tetangga lainnya. Sangat beda dengan orang penting lainnya di negeri ini.
Sebelum masuk rumah, pasti ada pos penjagaan. Pagarnya setinggi langit. Semua itu tidak untuk rumah mantan wali kota Solo. Bahkan di mulut jalan menuju kediamannya, ada warung kopi—tempat nongkrong.
Berbeda dengan rumah pejabat penting lainnya, dalam kawasan 100 meter sudah steril dari warung. Tidak beberapa lama kami ngobrol, seorang lelaki membuka pagar rumah. Kami pun ditanya, dari mana dan berapa orang. Selang beberapa menit, kami diminta masuk ke kediaman. Di dalam rumah sudah menunggu ibu kandung Jokowi.
“Silakan duduk. Terima kasih sudah datang memenuhi undangan kami. Jauh-jauh dari Lampung,” kata Ibu Sudjiatmi.
Untuk kedua kalinya saya tertegun. Sungguh sederhana ibu kandung orang nomor satu di negeri ini. Dari pakaian, perabot rumah, tidak menunjukkan tanda-tanda kemewahan sebagai rumah anak orang penting. Pikirku, kalaupun banyak rumah keluarga pejabat atau pejabat seperti ini—hidup sederhana. Mungkin sudah tidak lagi uang rakyat dikorupsi.
Rumah keluarga Jokowi terlihat sangat sederhana untuk ukuran seorang presiden. Kediaman pribadinya juga tidak memakai pengawalan yang superketat. Dan warga di sekitarnya bebas beraktivitas seperti layaknya mereka bertetangga. Beberapa jam di situ, terasa sangat hangat memang. Kami bahagia karena bisa ketemu langsung Ibu Sudjiatmi.
Baca juga : https://lampost.co/epaper/kolom/refleksi/pidato-rakyat/
Ibunda dengan penuh haru menyampaikan terima kasihnya yang tinggi kepada masyarakat Lampung yang ikut menyukseskan pemilihan presiden sehingga Jokowi masih dipercaya bangsa ini untuk memimpin lagi. “Jokowi dibilang Partai Komunis Indonesia (PKI), anti-Islam,” kata Sudjiatmi.
“Lah, wong jadi wali kota dua periode, gubernur lagi. Kalau PKI pasti tidak bisa nyalon kepala daerah, apalagi kuliah di UGM. Saya bilang ke anak saya, tetap bersabar menghadapi serangan hoaks. Tetap sederhana dan tidak boleh membalas. Alhamdulillah, saya ibu kandungnya Jokowi. Orang Jawa asli, bukan PKI. Aktif di pengajian muslimah NU,” ujar Ibunda.
Dalam percakapan sore itu, ketika ditanya resep membesarkan anak hingga bisa menjadi presiden, Sudjiatmi berucap bersyukur. Dia sendiri tidak tahu anaknya bakal jadi presiden. Bagi dia, membesarkan anak sama seperti orang tua lainnya.
”Anak saya bisa jadi presiden itu sebuah anugerah. Allah memberi kemudahan. Sebagai orang tua banyak bersyukur,” kata dia.
Sudjiatmi heran sendiri. “Saya utak-atik, apa kehebatan saya, kepintaran pun sepertinya tidak ada, tetapi diberi anugerah seperti ini,” kata Ibunda dengan mata berkaca-kaca.
Ibu Sudjiatmi menjadi satu di antara banyak keluarga di negeri ini memiliki peran yang besar terhadap kesuksesan anak dalam meniti karier.
Terucap dari mulut sang ibunda yang selalu mengingatkan anaknya, agar selalu banyak bersyukur. Dari orang tua yang tidak memiliki apa-apa. Datang dari keluarga yang sederhana, tetapi diberikan kemurahan dari Allah bisa menjadi orang nomor satu di Republik ini. Ibunda selalu berdoa agar anaknya Jokowi tetap menjaga amanat rakyat, menjaga kedamaian, serta ketentraman negara.
Saking asyiknya ngobrol, sore itu, ibu Presiden berbaju gamis dan berjilbab kuning krem diajak salaman—sebagai rasa syukur. Tapi dia lupa. Dia tidak boleh bersentuhan dengan bukan muhrim karena sudah berwudu. “Aku lali (lupa). Batal wuduku,” kata Sudjiatmi usai bersalaman.
Saat terdengar azan magrib berkumandang tanda berbuka, kedua tangan Ibunda Jokowi langsung menyodori makanan pembuka. Makanan untuk tamunya dari Lampung dan juga dari Palembang. Ada kurma, roti khas Solo, panganan lainnya, secangkir teh manis, serta kolak pisang.
Usai mencicipi makanan dan secangkir teh hangat, kami pun bergegas ke musala—menunaikan salat magrib—yang tidak jauh dari rumah Sudjiatmi. Di samping musala, ternyata ada rumah adik Jokowi yang berdinding pagar sangat sederhana. Aku menyaksikan—betapa keluarga Jokowi—seorang presiden di negara kaya raya, tetapi tetap hidup dalam kesederhanaan. ***