Iskandar Zulkarnain
Wartawan Lampung Post
SETELAH Gatot Nurmantyo, mantan Panglima TNI, digadang-gadang menjadi calon presiden, nama Tito Karnavian disebut-sebut pantas sebagai calon wakil presiden bersanding dengan Joko Widodo. Sejumlah cendekiawan muslim mengusulkan kedua nama tersebut dalam perhelatan pemilihan presiden 2019. Tegak Lurus.
Gatot dan Tito, sama-sama jenderal bintang empat dalam perjalanan karier yang moncer itu, sangat dekat dengan ulama dan umat di negeri ini. Alasan itulah membuat Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII) Mahfud MD menyebut nama Jenderal Tito Karnavian yang pas dan pantas mendampingi Jokowi mengawal Republik ini lima tahun mendatang.
Sosok pemimpin mendatang itu, kata Mahfud, harus setia menjaga negara kesatuan Republik Indonesia. Itu syarat utama dan paling utama.
“Militer, ekonom, dan ahli hukum tidak terlalu penting. Yang terpenting ialah setia kepada NKRI dan sikap kebersamaan, persatuan, dan pluralisme. Bisa diterima masyarakat dan bukan hanya klaim sepihak,” kata Mahfud dalam tayangan Metro Pagi Primetime, pekan ini.
Baca juga : Aktivis Propaganda
Tokoh alumnus Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) itu berpendapat, pasangan capres-cawapres adalah kombinasi nasionalis-religius. Negara Indonesia ini berdiri dari kompromi keinginan negara agama dan sekuler sehingga melahirkan nasionalis religius. Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi itu terang-terangan memuji Jenderal Tito sebagai sosok yang tepat jadi cawapres. “Masih muda, lurus, dan tegas,” kata Mahfud.
Terhadap yang diwacanakan Mahfud, Tito menolaknya. Dia tidak mau terseret dalam politik praktis, sekalipun dinilai sangat pantas mendampingi Jokowi.
“Saya tidak mau didorong atau menarik saya ke politik,” ujar peraih Bintang Adhi Makayasa 1987 itu.
Sekalipun Presiden Jokowi meminangnya untuk menjadi cawapres, ternyata tetap ditolaknya. “Tidak, saya tetap menolak,” ucap wong Palembang ini.
Tito adalah sosok anak bangsa tegak lurus dengan komitmen keagamaan dan kebangsaan. Jabatan sebagai kapolri sebuah kehormatan, bagaimana ia memperbaiki citra polisi di mata rakyat. Tugas sebagai komandan keamanan dan ketertiban masyarakat, belumlah tuntas. Ketika sumpah jabatan diucapkannya di bawah Alquran, Tito ingin mengabdi untuk bangsa dan negara, bukan karena kepentingan politik sesaat.
Polisi, kata Tito, masih sangat identik dengan rasa tidak nyaman dan takut masyarakat. Padahal tugas utama polisi dalam UU No. 2/2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia (Polri) dijelaskan untuk memelihara keamanan dan ketertiban, menegakkan hukum, memberi perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat. Faktanya? Polisi kini masih menjadi buah bibir yang tidak mengenakan rakyat.
***
Di hadapan Komisi III DPR, pertengahan 2016, Tito meraih dukungan penuh menjadi kapolri karena dia adalah calon tunggal pilihan Jokowi. Tugas Tito yang diamanatkan Presiden adalah mereformasi internal kepolisian. Seperti sistem rekrutmen, karier, serta reward and punishment yang objektif.
“Reformasi birokrasi, mentalitas terhadap pelayanan masyarakat harus baik. Menekan budaya korupsi dan pelanggaran anggota polisi,” kata Tito.
Jenderal kelahiran Palembang, 26 Oktober 1964, itu memiliki karakter yang konsisten antara sikap dan perbuatan. Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Strategis Kepolisian, Edi Hasibuan, mengatakan nama Tito yang disebut layak jadi cawapres bisa mengganggu profesionalisme Polri dalam melaksanakan tugas sebagai pengayom, pelindung, dan pelayan rakyat.
Di tahun politik ini, rakyat mempercayakan Tito bisa mengendalikan keamanan. “Berikan Kapolri kesempatan menyelesaikan tugas agar pilkada dan pilpres berjalan aman. Rakyat bisa mengikuti pesta demokrasi dengan nyaman,” ujar Hasibuan, yang juga mantan anggota Kompolnas. Tito memang digoda oleh jabatan.
Banyak anak bangsa silau dengan jabatan. Dipercaya atasan, belakangan atasan disalibnya di tengah jalan. Akankah Tito juga seperti Jenderal Polisi Raden Said Soekanto (Kapolri pertama) dan Jenderal Polisi Hoegeng Imam Santoso (Kapolri kelima)?
Kedua polisi panutan itu terkenal jujur dan sangat sederhana. Keduanya tidak memanfaatkan jabatan untuk meraup keuntungan bagi pribadi dan keluarga. Untuk saat ini, jujur dan sederhana adalah dua kata yang sulit melekat dalam tubuh anggota kepolisian.
Patut direnungkan, almarhum KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) pernah berucap, “Di Indonesia ini hanya ada tiga polisi jujur, yakni polisi tidur, patung polisi, dan Hoegeng”. Polisi satu ini selalu menolak bentuk gratifikasi. Semua barang pemberian dari bandar judi dibuangnya. Dia membersihkan semua bentuk suap dan sogokan.
Baca juga : Benteng Terakhir
Hingga suatu ketika istri Hoegeng, Merry Roeslani, disuruh menutup toko bunga agar tidak dimanfaatkan orang-orang yang ingin mendekatinya. Hoegeng sebuah cermin baik bagi anak bangsa.
Publik yakin dan percaya, Tito bisa membedakan antara kepentingan bangsa dan negara dengan ambisi pribadi. Tito diuji, dan tidak hanya dia, juga polisi lainnya. Kepada pendahulu Soekanto dan Hoegeng, Tito sudah berkomitmen membenahi, memperbaiki citra polisi melalui kerja profesional, modern, dan tepercaya.
Manfaat bagi Lampung, Jenderal yang pernah memberangus teroris di Poso itu membuktikan komitmennya bahwa Polda Lampung berstatus tipe B itu naik peringkat A. Itu artinya, Tito sangat paham, Lampung jadi penyangga 10 provinsi di Sumatera dengan penduduk terpadat dari keberagaman suku dan agama.
Dengan Tipe A, Lampung kian maju, apalagi Mapolda pindah dari Telukbetung beralih ke Kota Baru, sebuah kawasan masa depan di Bumi Ruwa Jurai. Kini Jenderal Tito sudah membuktikan salah satu komitmennya untuk Lampung. Tegak lurus untuk Merah Putih!