TELUR tidak lagi menjadi makanan murah untuk meningkatkan gizi dan prestasi anak bangsa. Sejak dua bulan terakhir ini, harga telur ayam terus melambung bak ditiup angin tanpa arah. Kenaikan harga telur hampir merata di sejumlah wilayah di negeri ini termasuk di Lampung.
Rakyat memuji kinerja pemerintah mengendalikan harga bahan pokok selama bulan Ramadan dan Lebaran 2018 lalu. Setelah itu, harga telur ayam terus melesat tanpa kendali. Awalnya, harga telur di kisaran Rp19 ribu/kg, kini tembus Rp30 ribu/kg.
Yang jelas, tingginya harga telur ayam dampak dari kenaikan harga pakan ternak. Apalagi nilai tukar dolar Amerika Serikat (AS) sangat berpengaruh pada ongkos pakan ternak yang dibeli dari luar negeri. Sehingga produsen menaikkan harga telur. Kenaikan itu juga bukan karena faktor cuaca.
Ketika harga pangan naik, warga harus menekan pengeluaran nonpangan.
Negeri ini masih tergantung dengan luar negeri. Makanan ternak saja masih harus impor, salah satunya dari Thailand sehingga pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS yang tembus Rp14 ribu/dolar AS, membuat harga pakan jadi lunglai tidak berdaya. Kapankah negeri ini bisa mandiri dalam segala hal? Padahal Nusantara ini kaya raya.
Ibu Rumah Tangga
Kenaikan harga telur—yang belum ada tanda-tandanya turun itu sangat merepotkan bagi ibu rumah tangga. Mengapa? Sebab, telur ayam menjadi konsumsi pemenuhan gizi yang paling praktis dimasak, dan harganya pasti terjangkau dari isi kocek.
Telur juga sangat mudah diperoleh di toko dan warung terdekat ketimbang lauk protein hewani seperti daging dan ikan. Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Lampung mencatat angka kemiskinan bertambah akibat kenaikan harga makanan seperti telur ayam ini.
Parahnya lagi angka kemiskinan itu dipicu pertumbuhan ekonomi yang melambat. “Kenaikan harga komoditas makanan berperan sangat dominan khususnya beras, rokok, dan telur ayam,” kata Kepala BPS Lampung Yeane Irmaningrum, Selasa (17/7/2018).
Baca juga : https://lampost.co/epaper/kolom/refleksi/kematian-yusuf/
Dia mengindikasikan pendapatan warga di pusaran garis kemiskinan belum mampu mengimbangi kenaikan harga sehingga bertambahnya jumlah penduduk miskin. Kondisi pertambahan penduduk miskin disebabkan kenaikan harga pangan, ternyata tidak hanya terjadi di Indonesia. Juga hampir dialami negara-negara berkembang. Ketika harga pangan naik, jumlah angka rakyat miskin melonjak.
Bangsa ini harus cerdas! Ketika harga pangan naik, warga harus menekan pengeluaran nonpangan. Jika ini tidak terkendali, akan berpengaruh pada produktivitas kerja dan kesehatan. Bagi ibu yang lagi hamil atau menyusui, akan berdampak buruk pada perkembangan kecerdasan anak.
Tuan Rumah
Sangat terbayang anak bangsa 20 tahun mendatang pasti tidak mampu bersaing. Padahal tahun 2015, Lampung pernah menjadi tuan rumah Festival Ayam dan Telur. Menurut catatan Perhimpunan Industri Peternak Ayam Ras (Pintar), Lampung sangat potensial dalam mengembangkan usaha industri perunggasan baik telur maupun daging ayam.
Sebuah peluang dan kebanggaan bagi anak bangsa di Lampung karena daerah ini kaya raya dengan sumber daya alam melimpah ruah. Tapi faktanya, kenaikan harga telur tidak terelakkan. Penyumbang angka kemiskinan itu menjadi tantangan bagi pelaku pertanian dan agroindustri.
Saatnya komponen pakan ayam tidak lagi bergantung pada impor. Sementara bahan baku pakan ternak seperti jagung dan ubi kayu dikeruk dari dalam negeri. Lalu diolah di luar negeri. Anak bangsa membelinya dengan harga tinggi dengan pengaruh dolar AS. Lalu bagaimana menekan kenaikan harga telur yang menggila ini?
Kemandirian
Kuncinya kembali kepada kemandirian pakan ternak produksi dalam negeri. Saat anak bangsa kembali mengonsumsi telur ayam kampung aduan yang tahan dari segala cuaca dan bentuk penyakit. Pastinya yang ikut bertanggung jawab adalah Tim Pengendalian Inflasi Daerah dan Satgas Pangan untuk mencari tahu pemicu tidak turun-turunnya harga telur ayam.
Sikap tegas Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita menyiapkan langkah-langkah menurunkan harga telur ayam dengan mengintervensi pasar. Lalu meminta integrator besar mengeluarkan stoknya dan melakukan penjualan langsung di pasar.
Enggartiasto juga menyusun peta jalan (roadmap) pemasukan impor grand parent (GP) setelah Kementerian Pertanian memperoleh data yang valid untuk menetapkan kebijakan dan menjaga ketersediaan suplai sehingga harga dapat terjaga. Itu kata, Enggartiasto.
Di saat harga telur terus melonjak ini, pelaku usaha berbendera merah putih untuk tidak mengambil keuntungan dari kondisi ini. Tujuannya sangat jelas dan tegas agar anak bangsa bisa mengonsumsi lagi telur ayam dengan harga terjangkau. Dengan begitu, sumber daya manusia di negeri ini akan tetap mampu bersaing dengan anak bangsa di belahan dunia lainnya. ***