ADA yang melegakan anak bangsa ketika hakim yang mengadili perkara lalu berucap, “Kami hanya takut kepada Allah Tuhan yang Maha Esa. Kami telah berijtihad dan berusaha sedemikian rupa untuk mengambil putusan dalam perkara ini.” Siapakah hakim yang takut dengan Penguasa Alam itu? Dia adalah Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman.
Dengan suara lantang disampaikan Anwar pada saat membuka sidang pembacaan putusan perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU) Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019. Bahkan, dia berpesan putusan MK tentang gugatan pilpres janganlah dijadikan ajang melalukan fitnah satu sama lain. Yang jelas putusan sengketa itu tidak bisa memuaskan semua pihak.
Pada Kamis siang, 27 Juni 2019, menjadi satu dari sekian momen penting dan bersejarah bagi Indonesia. Jutaan pasang mata anak bangsa dengan cermat menatap layar kaca. Mereka menyimak dengan hikmat MK secara bergantian membacakan putusan hasil sidang PHPU. Mereka pun diuji. Tapi Anwar menjamin hakim tidak dipengaruhi tekanan dari pihak mana pun.
Sidang MK berhari-hari bahkan larut malam mendengarkan penggugat dan tergugat . Dan Anwar memberikan jaminan bahwa putusan hakim murni pandangan dari para hakim yang didasari pada fakta, bukti yang terungkap di persidangan. Apa pun hasilnya, putusan janganlah dijadikan ajang untuk saling menghujat dan memfitnah.
Memang sidang putusan sengketa pilpres menjadi perhatian publik. Di dalam gedung adu argumentasi. Di luar gedung, tidak jauh dari tempat bersidang, massa berkumpul memadati sejumlah titik di kawasan Patung Kuda Arjuna Wiwaha, Gambir, Jakarta Pusat, menunggu hasilnya.
Mereka tidak dapat mendekat hingga ke depan Gedung MK. Sebab, aparat kepolisian berjaga agar ribuan massa tidak berada di sekitar Gedung MK. Massa berasal dari 14 elemen masyarakat. Di tempat berbeda, ratusan anak bangsa berkumpul di ruang pertemuan Hotel Shangri-La. Mereka menggagas acara penting bertajuk Rekat Anak Bangsa Menuju Indonesia Sejuk.
Perwakilan dari Presidium Alumni 212 ikut hadir dalam acara tersebut. Di antaranya Nonof Hanafi, Haikal Hasan, dan Habib Umar. Ada kalimat yang mengikat rakyat disampaikan Menteri Pertahanan (Menhan) Ryamizard Ryacudu. “Hari ini tidak ada lagi 01 maupun 02. Kita semua bersaudara menjadi bangsa Indonesia yang utuh,” kata putra Lampung ini.
Baca juga: https://lampost.co/epaper/kolom/refleksi/sekolah-pelat-merah/
Pertikaian selama pemilu harus segera diakhiri. Semua harus melakukan rekonsiliasi untuk bangsa ini, kata dia. Saatnya Indonesia kembali meraih persatuan. Berharap seluruh elemen masyarakat bergerak bersama untuk kembali membangun persatuan.
Seruan menyejukan juga didengungkan ormas-ormas Islam. Seperti Nahdlatul Ulama (NU), Majelis Ulama Indonesia (MUI). Juga Lembaga Persahabatan Ormas Islam (LPOI) yang dibentuk belasan ormas Islam pun ikut menyampaikan hal senada. Bahkan, Ketum PP Muhammadiyah, Haedar Nashir meminta rakyat dari berbagai latar belakang harus mengutamakan persatuan nasional sebagai spirit kolektif berbangsa.
Rekonsiliasi
Seruan rekonsiliasi nasional tak hanya berkumandang oleh ormas. Bahkan, jauh hari sebelumnya, calon presiden nomor 01 Joko Widodo mengajak calon presiden nomor 02 Prabowo Subianto membahas nasib masa depan bangsa ini. Rekonsiliasi adalah jalan penyelesaian konflik.
Segala bentuk provokasi, hujat-menghujat, bertebarannya berita berita hoaks di sosial media segera diakhiri. Jika tidak, energi bangsa yang besar ini akan habis untuk urusan perebutan kekuasaan. Rekonsiliasi juga merekatkan kembali untuk urusan politik. Berpolitik yang cerdas tidak membuat jurang pemisah kian melebar.
Namun pihak yang kalah juga tetap menjadi penyeimbang di parlemen jika itu partai. Kelompok oposisi perlu dihidupkan sebagai check and balances atas kinerja pemerintahan. Rekonsiliasi bukan sebuah pilihan, melainkan menjadi keharusan. Sebab, bangsa ini memang harus lekas move on dari hiruk-pikuk Pemilu 2019.
Berbagai program pembangunan “kerja kerja kerja” kembali digulirkan. Masih banyak persoalan bangsa yang harus dituntaskan. Mulai dari soal sumber daya manusia, infrastruktur, pertumbuhan ekonomi, dan berbagai persoalan lainnya seperti aset negara berada di luar negeri. Semua itu membutuhkan energi yang sangat besar serta kerja sama semua pihak.
Negeri ini berkesempatan besar menjadi negara ekonomi terkuat di dunia. Indonesia bisa masuk jajaran lima atau empat besar negara kuat secara ekonomi pada 2045 mendatang. Hebat juga Indonesia. Persoalan pemerataan infrastruktur menjadi masalah yang harus terselesaikan.
Tanpa itu semua, Indonesia sulit masuk jajaran lima besar negara dengan kekuatan ekonomi terbesar di dunia. Bangsa tidak mau negara ini terbelah, terpecah jadi negara kecil-kecil di tengah khatulistiwa.
Putusan majelis MK yang bersifat final dan mengikat sebagai titik awal pembangunan berkelanjutan adalah wajib hukumnya memberikan kesempatan kepada pasangan presiden dan wakil presiden terpilih untuk bekerja membuktikan janji-janji politiknya. Bukan isapan jempol.
Berilah waktu dan ruang untuk menyusun dan merealisasikan berbagai program guna meraih mimpi kesejahteraan rakyat di republik ini. Sekali lagi, keputusan MK tak dapat memuaskan semua pihak. Mereka yang tetap tidak sejalan, pilihan terbaik sebagai oposisi tanpa kompromi jabatan.
Menjadi oposisi sejatinya memainkan peran yang tidak kalah terhormat ketimbang menjadi penguasa. Sikap kritis oposisi amat diperlukan untuk mengimbangi pemerintah agar berada di jalur yang benar, menjalankan roda pemerintahan sesuai dengan amanah rakyat. Mulailah dengan era baru karena Tuhan masih ada! ***