INOVASI dan perubahan teknologi pertanian kembali mendapatkan tantangan serius setelah kinerja produksi dan produktivitas pangan pokok masih terseok. Hingga Juli 2024, produktivitas padi Indonesia berdasarkan metode merangka sampel area dari Badan Pusat Statistik (KSA-BPS) hanya 5,14 ton/ha atau mengalami penurunan 2,80% jika dibandingkan dengan produktivitas padi pada 2023, yakni sebesar 5,28 ton/ha. Sejak 2018, produktivitas padi hanya meningkat 0,31%, terlalu kecil jika dibandingkan dengan anggaran puluhan triliun rupiah untuk pembangunan tanaman pangan.
Rendahnya pertumbuhan produktivitas padi, khususnya selama 10 tahun terakhir, merupakan konsekuensi logis dari rendahnya adopsi teknologi baru oleh petani. Pada masa lalu, peran penyuluh pertanian lapangan (PPL) dan sistem penyuluhan pertanian secara umum sangat krusial dalam menentukan tingkat adopsi teknologi baru, utamanya dalam proses intensifikasi teknologi pangan.
Penyuluhan menjadi faktor sentral dalam penggunaan benih unggul, penggunaan pupuk dan teknik pemupukan, aplikasi pestisida, pengelolaan air irigasi, dan praktik budi daya yang baik (GAP/good agricultural practices) dalam usaha tani padi.
Pada masa lalu, para PPL sangat aktif melakukan penyuluhan langsung dan pendampingan kepada petani dengan metode latihan dan kunjungan (laku), yang merupakan adaptasi dari atau metode T&V (training and visit) di negara-negara maju. Para penyuluh sering menyelenggarakan demonstrasi percontohan (demplot) dan demonstrasi usaha tani (demfarm), khususnya tentang teknik atau inovasi baru peningkatan produksi pertanian.
Pada waktu itu, dukungan sistem administrasi dan birokrasi pemerintahan juga sangat tinggi pada strategi pembangunan pertanian hingga ke pelosok desa di Indonesia. Metode laku tersebut sering dikombinasikan dengan supervisi dan evaluasi dari Pemerintah Pusat dalam kerangka pengendalian dan evaluasi program sehingga sering disebut metode lakususi.
Kini, metode penyuluhan pertanian seperti itu nyaris tidak banyak terdengar karena perubahan sistem administrasi dan birokrasi penyuluhan pertanian. Undang-Undang 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah telah mengubah kelembagaan penyuluhan pertanian serta cukup menyulitkan perencanaan dan implementasi kebijakan penyuluhan pertanian.
Peraturan Presiden 78/2021 tentang Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) juga telah mengubah kelembagaan penelitian pertanian sehingga ikut berkontribusi pada kinerja adopsi inovasi dan teknologi baru dalam peningkatan produksi dan produktivitas pertanian.
Artikel ini membahas upaya rekonstruksi penyuluhan pertanian untuk membantu meningkatkan produksi dan produktivitas pertanian, utamanya pangan pokok seperti padi dan jagung yang menjadi bahan baku pakan ternak. Penutup artikel ini ialah gagasan tentang strategi rekonstruksi penyuluhan pertanian masa depan yang lebih progresif. Penyuluhan ialah pendidikan nonformal.
Penyuluhan pertanian ialah sistem pendidikan nonformal yang berfungsi mengubah perilaku petani dalam menerapkan budi daya pertanian yang baik (GAP) dan mempercepat adopsi teknologi baru atau menerapkan invensi dan inovasi bidang pertanian serta pembangunan ekonomi secara umum. Peningkatan produksi yang didorong oleh inovasi sering disebut perubahan teknologi karena terjadi pergeseran atau lompatan kurva produksi ke atas. Produktivitas per satuan input melompat berlipat-lipat seiring dengan invensi atau penemuan baru yang telah diaopsi di tengah masyarakat.
Perubahan teknologi pertanian ialah refleksi kapasitas inovasi dan kualitas sumber daya pertanian (SDM), riset dan pengembangan (R&D), ekosistem inovasi, dan lain-lain. Inovasi perubahan teknologi produksi padi tecermin dari kombinasi optimal penggunaan benih, pupuk, pestisida, alat-mesin pertanian, teknik budi daya, pertanian presisi, pertanian cerdas, modifikasi cuaca, dan lain-lain yang mampu meningkatkan produktivitas.
Sistem penyuluhan pertanian dilaksanakan sesuai dengan Undang-Undang 16/2006 tentang Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan (SP3K). Implementasi penyuluhan pertanian dalam arti luas itu sebenarnya berjalan cukup baik dalam 15 tahun terakhir walau belum menjadi praktik terbaik. Enam dimensi penting sistem penyuluhan pertanian terdiri atas: (1) kelembagaan penyuluhan, (2) kelembagaan petani, (3) ketenagaan penyuluhaan, (4) penyelenggaraan penyuluhan, (5) sarana-prasarana, dan (6) anggaran penyuluhan.
Akan tetapi, selama 10 tahun terakhir, sistem penyuluhan pertanian seakan berada di simpang jalan, jika tidak dikatakan sedang mengalami disorientasi masa depan, terutama sejak berlakunya UU 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah. Kelembagaan penyuluhan tingkat provinsi yang dikenal dengan Badan Koordinasi Penyuluhan (Bakorluh) dan kabupaten/kota yang dikenal Badan Pelaksana Penyuluhan (Bapeluh) sekarang hilang dan berubah menjadi urusan konkuren.
Penyuluh pertanian dimasukkan ke dalam dinas pertanian atau dinas pangan sehingga lebih banyak melaksanakan tugas-tugas administrasi, bukan sebagai tenaga fungsional atau melaksanakan pendidikan nonformal. Tugas fungsional dan tugas administrasi menjadi tidak jelas atau seakan terputus, baik secara hakikat substansi penyuluhan pertanian maupun secara birokrasi tugas-tugas kedinasan di daerah.
Pada tingkat normatif, dukungan aturan formal peraturan perundang-undangan penyuluhan pertanian juga diatur dalam undang-undang bidang lain yang agak berhubungan. Misalnya, dalam UU 6/2014 tentang Desa, istilah “penyuluhan” juga disebutkan secara eksplisit dalam batang tubuh sebagai berikut: pemerintah memberdayakan masyarakat desa… dengan meningkatkan kualitas pemerintahan dan masyarakat desa melalui pendidikan, pelatihan, dan penyuluhan (Pasal 112 Ayat (3) huruf b).
Dalam UU 22/2019 tentang Sistem Budidaya Pertanian Berkelanjutan juga disebutkan istilah “penyuluhan” dalam beberapa pasal. Misalnya, penyelenggaraan sistem budi daya pertanian berkelanjutan dilakukan melalui pendidikan, pelatihan, penyuluhan, dan diseminasi informasi (Pasal 91). Pengembangan SDM diselenggarakan melalui penyuluhan pertanian pada Pasal 101 Ayat (3). Namun, peraturan itu belum mampu memberikan arah perjalanan penyuluhan pertanian ke depan karena perubahan lingkungan internal dan eksternal pertanian berubah sangat cepat.
Upaya Solusi Temporer
Pemerintah pernah mencoba solusi temporer atau strategi alternatif untuk mengisi kekosongan kelembagaan penyuluhan pertanian di atas dengan membentuk aturan pelaksanaan melalui Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) 49/2019 tentang Komando Strategis Pembangunan Pertanian (Kostratani). Dalam hal ini, pemerintah melakukan pemberdayaan Balai Penyuluhan Pertanian (BPP) di tingkat kecamatan, terutama untuk memperbaiki akses digitalisasi dan informasi pertanian untuk meningkatkan fungsi penyuluhan pertanian tersebut.
Pada tingkat yang agak strategis, pemerintah juga menerbitkan Perpres 35/2022 tentang Penguatan Fungsi Penyuluhan Pertanian yang diharapkan menjadi norma baru dalam memperbaiki peran dan fungsi penyuluhan pertanian di tingkat lapangan. Perpres 35/2022 itu diharapkan mampu berkontribusi pada peningkatan ketahanan pangan nasional, ketersediaan, aksesbilitas, dan pemanfaatan pangan. Akan tetapi, solusi temporer seperti itu belum memberikan dampak signifikan pada perubahan perilaku petani untuk melakukan adopsi teknologi pertanian untuk memperkuat kemandirian dan kedaulatan pangan Indonesia.
Saat ini jumlah penyuluh pertanian di seluruh Indonesia ialah sebanyak 74.706 orang, menurut data Badan Penyuluhan dan Pengembangan Sumber Daya Manusia Pertanian Kementerian Pertanian (BPPSDMP Kementan). Mereka terdiri atas 24.607 pegawai negeri sipil (PNS), 12.480 pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (P3K), 10.160 tenaga harian lepas (THL), serta 26.957 penyuluh swadaya yang merupakan petani maju di desa dan 502 penyuluh swasta. Ekspektasinya, penyuluh berbagai kategori itu perlu bekerja sama secara harmonis karena Indonesia sangat memerlukan terobosan baru peningkatan produksi dan produktivitas.
Rekonstruksi penyuluhan pertanian masa depan perlu mempertimbangkan dinamika sosial-ekonomi petani, konsolidasi kelembagaan, lahan, dan manajemen sumber daya alam. Penguatan fungsi penyuluhan perlu dilaksanakan secara sinergi dari pusat sampai daerah. Secara administrasi, kelembagaan penyuluhan pertanian perlu diperkuat dalam suatu satuan administrasi pangkal (satminkal) yang lebih kredibel dan mendukung tugas fungsionalnya.
Pada tingkat yang minimal, para penyuluh itu perlu senantiasa melakukan penguatan kelembagaan kelompok tani, lembaga usaha ekonomi perdesaan, dan kelembagaan lain di tingkat masyarakat. Lebih strategis lagi, para penyuluh itu perlu bermitra dengan universitas, lembaga penelitian, dunia usaha, dan lembaga swadaya masyarakat (LSM) dalam melakukan tugas fungsional penyuluhan, pendampingan, dan pemberdayaan petani.
Lembaga-lembaga tersebut telah cukup banyak melakukan kegiatan lapangan, menghubungkan petani dengan pasar, bahkan mempererat petani dengan sumber-sumber ilmu pengetahuan dan teknologi yang sangat banyak berada di kampus, lembaga penelitian, bahkan di dunia usaha.
Di tengah masa transisi dan reorganisasi penelitian pertanian, energi dan kekuatan besar para peneliti yang berada di dalam Badan Standardisasi dan Instrumen Pertanian (BSIP) juga perlu diberdayakan dengan saksama. Lembaga penting yang merupakan reinkarnasi dari Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, sumber inovasi besar dalam pembangunan pertanian Indonesia dan pernah sangat disegani di tingkat global perlu terus dijadikan simpul penting dalam perjalanan pembagunan pangan dan pertanian ke depan.
Rekomendasi Perubahan Kebijakan ke Depan
Pertama, penyuluhan pertanian perlu terus berubah menjadi market-led extension atau mengikuti paradigma baru penyuluhan pertanian untuk berkontribusi pada pembangunan pertanian. Penyuluhan pertanian harus diselenggarakan untuk mencerdaskan kehidupan petani sebagai pelaku utama, sebagai kewajiban dari pemerintah, dan sekaligus hak warga negara.
Kedua, perubahan radikal sistem penyuluhan pertanian harus dilakukan. Misalnya, kelembagaan penyuluhan perlu diubah menjadi lembaga vertikal yang berada di tingkat pusat, provinsi, dan kabupaten/kota, mirip seperti Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB). Untuk meningkatkan efektivitas penyelenggaraan penyuluhan, penyuluh pertanian perlu diubah menjadi pegawai pemerintah pusat yang diperbantukan di daerah.
Ketiga, berhubung penyuluhan pertanian ialah pendidikan nonformal, penyuluhan perlu mendapatkan dukungan pembiayaan negara dari 20% penganggaran sektor pendidikan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Keempat, sistem penyuluhan pertanian yang partisipatif dilakukan secara terbuka serta melibatkan secara aktif penyuluh, petani maju, pelaku usaha, dan para pengampu kepentingan lain, bahkan sejak dari perencanaan, pelaksanaan, pemantauan, hingga evaluasi penyuluhan. *