
HASIL pencacahan ini untuk mendapatkan pembagian beras di kantor kepala kampung. Kira-kira seperti itu, kalimat yang disampaikan petugas pencacah kepada kakekku, mengakhiri sejumlah pertanyaan untuk dijawab, kala itu. Selang beberapa bulan dari situ, lalu kakek membawaku ke suatu tempat pembagian beras dengan menunjukan kartu keluarga.
Seingatku betapa pentingnya kartu keluarga, cacah jiwa untuk mengambil jatah beras era 1970-an. Beras yang terima berwarna kuning. Tidak hanya beras, setiap keluarga juga mendapat minyak tanah. Besarnya bervariasi, bergantung jumlah anggota keluarga. Kala itu, zaman masih susah. Semua mengantre tidak seperti sekarang ini.
Pikirku betapa pentingnya cacah jiwa hasil pendataan penduduk agar seisi negeri ini memperoleh beras dan minyak tanah. Dalam kartu cacah jiwa juga terisi lengkap biodata. Dari data itu untuk mempetakan kekuatan penduduk. Hari ini petugas pencacah, sensus, datang lagi ke rumah-rumah. Bahkan kerennya lagi, sensus penduduk melalui daring.
Era memang sudah berubah. Tahun 1970-an, sensus penduduk dengan cara manual. Kali ini melalui daring. Kepala keluarga cukup mengisi nomor induk kependudukan (NIK) dan nomor kartu keluarga. Semua nama anggota keluarga sudah tertera tinggal mengisi pertanyaan saja.
Dari laman Badan Pusat Statistik (BPS), https://sensus.bps.go.id itu menyatakan data yang diisi sudah update. Nanti BPS memberikan bukti pengisian formulir daring dalam bentuf portable document format (pdf) sehingga tidak bisa dipalsukan oleh pihak mana pun.Kepentingan untuk apa dari sensus kali ini? Menyatukan klaim jumlah penduduk.
Bangsa ini hanya satu data untuk penduduk. Sejak merdeka, negara ini memiliki angka jumlah penduduk berbeda-beda. Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) memiliki data sendiri. Begitu pun BPS. Juga Kementerian Dalam Negeri melalui program KTP elektronik punya data penduduk untuk kepentingan pemilu baik presiden, legislatif, maupun kepala daerah.
Dana yang digelontorkan untuk proyek nasional Satu Data Indonesia tidak sedikit. Angkanya mencapai Rp4 triliun. Lebih sedikit dari dana KTP elektronik Rp5,9 triliun. Namun, dalam perjalanannya, proyek KTP bermasalah! Selain dikorup Rp2,5 triliun, pencatatan selalu error di kecamatan dan kelurahan. Akankah proyek sensus 2020 akan terulang seperti KTP elektronik?
Dari laman Badan Pusat Statistik (BPS), https://sensus.bps.go.id itu menyatakan data yang diisi sudah update.
Sensus Penduduk 2020 dituntut memiliki tingkat akurasi yang valid. Itu mengapa dilakukan secara daring, diisi kepala keluarga. Sebenarnya Indonesia berulang-ulang mengadakan sensus penduduk setiap 10 tahun. Pertama kali pada 1961, 1970, 1980, 1990, 2000, dan terakhir 2010. Kepentingan sensus daring yang pertama ini untuk mendukung kebijakan pemerintah.
Diputuskan, data penduduk hanya dikeluarkan BPS. Manfaat sistem cacah daring ini, mengukur tingkat literasi anak-anak bangsa dalam penggunaan teknologi informasi. Sensus daring juga menumbuhkan kesadaran rakyat tentang arti pentingnya data pribadi yang transparan, valid, dan akurat.
Selama ini banyak beredar kartu tanda kependudukan dengan NIK ganda. Di sinilah muasal terjadinya kekacauan data pemilih tetap (DPT) ketika pemilu mau digelar. DPT diperoleh dari data agregat kependudukan kecamatan (DAK2) serta data penduduk pemilih potensial pemilu (DP4). Ini salah satu bukti tidak beresnya sistem administrasi kependudukan.
***
Indonesia sudah merdeka 74 tahun, saatnya memiliki data kependudukan dengan sistem yang bisa dipantau setiap saat. Setiap ada perubahan data penduduk, tinggal merevisinya sehingga database kependudukan selalu up to date, valid, dan transparan. Ada satu hal yang kurang dalam sensus penduduk 2020, yakni harus membubuhkan sidik jari.
Memang rumit. Namun, kerjanya cukup sekali. Sidik jari, seperti dilakukan aparat kepolisian saat membuat surat keterangan catatan kepolisian (SKCK) bisa bersinergi dengan BPS. Sidik jari lengkap dengan rumus sangat penting untuk mengidentifikasi warga menghindari NIK ganda.
Seperti halnya pemilik rekening di bank diberikan kartu anjungan tunai mandiri (ATM) dengan cip. Manfaatnya agar uang tidak bisa dibobol. Saatnya KTP dilengkapi mikrocip berisi data pemegang. Hebatnya ada barcode NIK dan kode pos untuk kepentingan pemilu daring, seperti dilakukan oleh negara maju. Kapan Indonesia memiliki KTP seperti ini?
Jika KTP sudah berbasis daring untuk layanan publik, akan tersimpan data pemegang. Dan tidak mustahil akan dikembangkan untuk sistem pemilu elektronik (e-pemilu). Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) sudah menemukan sistem baru sehingga pemilu dapat menghemat biaya dan waktu. Sayangnya, temuan BPPT itu tidak direspon Komisi Pemilihan Umum (KPU).
Jika KTP sudah berbasis daring untuk layanan publik, akan tersimpan data pemegang.
Bahan renungan untuk bangsa ini, Pemilu 2019 menghabiskan dana cukup fantastis. Uang penyelenggaraan saja Rp25,59 triliun, pengawasan Rp4,85 triliun, serta dana keamanan Rp3,29 triliun. Biaya puluhan triliunan rupiah yang dirogoh hanya untuk mewujudkan pemilu yang jujur dan adil. Jika berbasis elektronik, biaya itu bisa terpangkas, tidak ada lagi dana untuk pengawasan dan pengamanan. Berhematlah karena ini duit rakyat!
Akibat Pemilu 2019 yang rumit, ada anggota kelompok penyelenggara pemungutan suara meninggal dunia. Angkanya tembus 225 orang. Sakit karena kelelahan 1.470 orang. Panitia Pengawas Pemilu yang sakit 325 orang. Termasuk anggota Polri yang gugur mengamankan pemilu 16 orang. Pemilu dibayar mahal dengan materi dan nyawa.
Hari ini, Indonesia memasuki era digital, revolusi industri 4.0. Sensus Penduduk 2020 sudah dilakukan daring, menjadi pintu masuk untuk data pemilu berbasis elektronik. Apalagi sistemnya sudah ditemukan oleh BPPT. Biayanya murah, valid, akurat, dan transparan. Saatnya berbuat, tidak usah lagi menunggu pemilu yang pernah menjadi mesin pembunuh anak-anak bangsa, panitia, dan aparat keamanan. ***