
PENYELESAIAN paham radikalisme dan intoleransi di bumi nusantara ini bisa diselesaikan oleh umat Islam sendiri. Negara hadir memfasilitasi dan menahan diri untuk tidak intervensi. Pastinya, energi bangsa ini terkuras hanya urusan “garis keras” yang mencoba ingin memisahkan diri dari NKRI.
Padahal Indonesia tetap berdiri kokoh hingga hari ini dirajut dari keberagaman. “Tidak ada yang bisa menyelesaikannya, kecuali bangsa yang beragam dan umat Islam itu sendiri,” kataku kepada salah seorang pimpinan pondok pesantren (ponpes) di Lampung.
Itu kusampaikan kepada kiai ponpes menjelang rencana pertemuan tokoh agama dan pimpinan pondok dari seluruh Indonesia yang membahas isu radikalisme di Pekalongan, Jatim, pekan ini.
Kalau negara ikut intervensi, kata pimpinan pondok itu, apalagi main kekerasan–penyelesaiannya tidak berujung manis. Teror terus terjadi. Makin ditekan makin kuat penolakan, seperti menginjak pegas. Perlu dialog dan rumusan agar radikalisme bisa ditata dengan apik.
Sebenarnya radikalisme mengandung dua pengertian dari sisi positif dan negatif. Mantan Ketua MUI juga tokoh Muhammadiyah, Din Syamsudin berpendapat radikalisme mengandung arti positif karena akar kata radikal yakni radik atau akar, yang berarti seseorang atau sekelompok orang yang berpegang teguh pada nilai-nilai secara mendasar.
“Mengakar, berpegang pada akar keyakinannya. Itu positif. Nah, ini agama mengajarkan demikian,” kata Din. Bahkan, dia mencontohkan, seseorang mengatakan Negara Kesatuan RI (NKRI) harga mati. Negara Pancasila final adalah contoh sikap radikal yang mengandung pengertian positif karena itu kesepakatan kebangsaan.
Kata radikalisme yang mengandung arti negatif, kata Din lagi, jika seorang merasa dirinya paling benar sendiri. Sedangkan orang lain atau kelompok lain di luar kelompoknya dianggap salah. “Menyalahkan dan mengafirkan orang bersikap radikal. Itu bersifat negatif. Jadi, perlu ada kejernihan, klarifikasi tentang radikalisme,” kata Din menjelaskan.
Sebenarnya radikalisme mengandung dua pengertian dari sisi positif dan negatif.
Apalagi radikalisme dipahami sebagai aliran menginginkan perubahan sosial dengan cara-cara tindakan kekerasan mengatasnamakan agama. Berbekal jihad di jalan Tuhan, pada akhirnya Islam dipandang sebagai agama yang mengajarkan kekerasan, melakukan teror di mana-mana. Padahal Islam adalah agama rahmatan lil alamin.
Rahmat bagi alam yang disampaikan Rasulullah saw tertuang dalam Piagam Madinah. Isinya mengajarkan keseimbangan, keadilan, toleransi, dan moderat. Jika konsep itu mampu direalisasikan, tidak akan ada radikalisme di negeri ini. Di tengah kondisi rakyat Madinah–waktu itu multikultural, perbedaan agama, suku, ternyata Rasulullah saw mampu mempersatukannya.
Isu radikalisme di negeri ini menguat dalam beberapa tahun terakhir. Paham ini masuk sekolah, perguruan tinggi—menyasar siswa dan mahasiswa juga lembaga pemerintahan. Generasi penerus bangsa dan guru juga dosen menjadi target nomor wahid paham ini.
***
Mau bukti? Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2018 merilis penelitiannya. Hasilnya, sebanyak 57,03% guru, baik pada level SD maupun SMP mempunyai pandangan intoleran di Indonesia. Lembaga survei lain seperti Lembaga Kajian Islam dan Perdamaian (LaKIP) merilis temuan serupa. Sebanyak 48,9% siswa mendukung radikal.
Jika kondisi tidak benahi, kehancuran bangsa ini tinggal menunggu waktu. Saat ini penyebaran paham radikalisme sangat masif melalui media sosial (medsos). Mereka menyasar kalangan milenial. Seorang mantan pengikut Islamic State (IS), sebut saja Rina, berucap ujaran radikalisme banyak bertebaran di medsos. Dia pun ikut terpengaruh.
Mengapa harus di medsos? Karena anak muda tidak bisa jauh dari telepon pintar–di dalamnya ada banyak aplikasi medsos. Rina pernah terpapar rayuan paham Islamic State (IS) melalui medsos saat dia masih di SMA. Dia pergi ke Suriah bergabung kelompok IS pada tahun 2016. Ada apa di sana?
Ternyata Suriah, kata dia, harapan ingin hidup di negeri khilafah hanya mimpi belaka. Warga negara Indonesia ini hidup tersiksa, kebiadaban, dan kesadisan IS. Yang ada Rina dipaksa melihat kekerasan dan pembunuhan yang sadis dan tidak sesuai dengan ajaran Islam.
Jika kondisi tidak benahi, kehancuran bangsa ini tinggal menunggu waktu.
Sudah saatnya anak-anak bangsa memberikan pemahaman bahaya paham radikalisme. Dampaknya tidak hanya menyangkut perorangan, tapi seluruh komponen berbangsa dan bernegara. Apalagi yang terpapar itu sudah merasuki aparatur sipil negara (ASN), anggota TNI/Polri.
Sangat rentan. Karena di situ menyangkut pekerjaan, jabatan, kekuasaan. Aparatur yang terkontaminasi radikalisme bisa-bisa memasukkan agenda tersembunyi ke dalam pekerjaannya. Bahayanya lagi, aparat seharusnya memberikan pelayanan publik, kenyataannya bersikap eksklusif, cenderung intoleran, dan menolak berhubungan dengan orang di luar kelompoknya.
Mereka juga mengembangkan kepentingan kelompok dan cenderung tebang pilih. Yang bukan dari kelompoknya dianggap musuh. Belum terlambat mencegah dan mengobati sakitnya negeri ini dari radikalisme. Saatnya tokoh ormas dari lintas agama dan berbagai elemen Islam bersatu memberikan pemahaman kepada anak-anak bangsa tentang sejarah dan tujuan paham radikalisme.
Ajaklah rakyat untuk berpikiran terbuka. Jangan berpikiran sempit. Paham radikalisme harus ditafsirkan secara tekstural dan kontekstual. Apalag dari kalangan milenial. Kelompok muda ini sangat realistis dan serba-instan melihat dunia. Maka itu perlu penguatan literasi digital di semua tingkatan pendidikan.
Di belakang semua ini ada kelompok militan menginginkan perubahan sosial dan politik secara cepat. Sekali lagi diingatkan! Kelompok ini sudah sukses menyasar anak muda. Jauhkan negeri ini bagian dari negara ujung dunia sana saling membunuh–menghabisi sesama anak bangsa sendiri! ***