Santuy

Ratih Rahayu Peneliti Bahasa di Kantor Bahasa Lampung Beberapa hari yang lalu ada sebuah media daring yang membuat berita berjudul “Biar Lebih Santuy , Twitter Akan Larang Iklan dan Kampanye Politik”. Berita tersebut menginformasikan bahwa mulai tanggal 22 November 2019, Twitter tidak akan menayangkan semua iklan yang berbau politik. Jack Dorsey, CEO Twitter, membuat pernyataan bahwa ia akan menghentikan semua iklan politik di Twitter secara global karena ia percaya bahwa pesan politik itu harus didapatkan bukan dibeli. Dalam tulisan ini, tentu saja saya tidak akan mengupas lebih jauh soal kebijakan CEO Twitter tersebut. Karena Laras Bahasa ini adalah rubrik kebahasaan, saya akan mengupas lebih jauh mengenai salah satu kata yang muncul pada paragraf pertama dan sekaligus menjadi judul tulisan ini, yaitu kata santuy . Mungkin masih banyak pembaca yang belum memahami apa artinya dan ingin tahu lebih jauh mengenai kata ini. Saat ini, kata santuy menjadi salah satu kosakata yang tengah populer digunakan kalangan generasi muda atau generasi milenial. Iklan-iklan di papan reklame dan di media massa pun ada yang menggunakan kata santuy ini . Bahkan, gaya Joko Widodo saat mengumumkan kabinetnya dengan cara lesehan di tangga istana pun dikomentari sebagai tindakan yang santuy oleh sebagian warganet. Dalam beberapa artikel mengenai kata santuy, kata tersebut merupakan kosakata pelesetan dari kata santai. Selain itu, ada juga yang menduga bahwa kata santuy adalah akronim dari santai cuy . Kata cuy itu sendiri merupakan kata sapaan dalam bahasa gaul yang setara dengan bro (brother), sist (sister), atau gan (juragan) yang sering digunakan sebagai kata sapaan dalam berinteraksi di dunia maya atau di media sosial. Kata santai sendiri dalam KBBI berarti ‘bebas dari rasa ketegangan atau dalam keadaan bebas dan senggang’. Sebelum munculnya kosakata santuy, generasi muda Indonesia sesungguhnya sudah lebih dahulu akrab dengan kata woles atau selow. Mungkin pembaca setia Rubrik Laras Bahasa pun masih mengingat bahkan masih menggunakan kata woles ini dalam berkomunikasi untuk menyatakan kata yang berarti slow atau tenang . Walaupun berbeda pengertian antara kata santuy yang berarti ‘santai’ dan woles yang berarti ‘tenang ’, kedua kata tersebut dapat saling menggantikan karena memiliki kemiripan makna. Contohnya dalam kalimat percakapan berikut ini. A: Ayo, cepat jalannya, nanti kita terlambat! B: Santuy dong ah! atau Woles dong ah! Sebagai pemakai bahasa, kita tidak perlu merasa ketakutan akan adanya kekreativitasan generasi milenial dalam berbahasa. Namun, tidak dalam semua kondisi, kedua kata tersebut dapat saling menggantikan, seperti dalam contoh kalimat berikut ini. “ Santuy dulu seperti di pantai” tidak dapat diganti “ Woles dulu seperti di pantai” . Selain kedua kata di atas, sesungguhnya masih banyak kosakata pelesetan yang menarik untuk dibahas, seperti kata femes (famous), lejen (legend), boljug (boleh juga), gaje (ga jelas), atau bucin (budak cinta) . Saat ini yang menjadi pertanyaan banyak pihak adalah apakah kemunculan aneka kosakata pelesetan itu akan merusak bahasa Indonesia? Menurut saya, penggunaan aneka kosakata tersebut tidak akan merusak bahasa Indonesia karena penggunaan bahasa ini dipastikan akan melihat situasinya. Berbahasa itu sesungguhnya dapat dianalogikan seperti orang berpakaian. Dalam berpakaian, kita sudah terbiasa untuk mengenakan baju batik untuk pergi ke tempat resepsi atau pergi ke kantor di hari Jumat. Mengenakan baju batik untuk mencangkul di sawah adalah suatu bentuk keanehan. Jadi, pengguna kosakata pelesetan harus melihat situasinya, yaitu dalam situasi nonformal dan dengan rekan sebaya. Dalam situasi seperti itu tentu sah-sah saja menggunakannya dan tidak akan merusak bahasa Indonesia. Namun, apabila kosakata pelesetan itu dipergunakan dalam tugas-tugas sekolah, makalah, atau penelitian ilmiah tentu tidaklah tepat. Perlu kita ketahui bahwa bahasa apapun dan di manapun itu berkembang sesuai dengan perkembangan zamannya. Dalam perkembangannya, sebuah bahasa bisa saja akan kehilangan kata-katanya. Artinya, suatu kata yang digunakan pada masa lalu mungkin saja tidak akan dipakai lagi di masa kini atau di masa yang akan datang. Hal tersebut pun berlaku untuk kosakata pelesetan santuy dan woles ini. Jadi, sebagai pemakai bahasa, kita tidak perlu merasa ketakutan akan adanya kekreativitasan generasi milenial dalam berbahasa. Salam.

Santuy

Wakil Panglima TNI Berpangkat Bintang Empat

Pilkada 2024 Asimetris

Chairil Anwar

Pilkada 2024 Asimetris

KPU Way Kanan Siapkan 3.160 Bilik Suara Lama

Tiga Potensi Rentan di Pilkada 2020

Kopi Minuman Wajib Orang Lampung

Cabor Renang Selesai, Lampung Raih Dua Emas

BERITA TERBARU

TOP NEWS

Kreatif Hadapi Efisiensi Anggaran

Pendaftar Jalur SNBP Itera dan Unila Terus Bertambah

Perhotelan Turun hingga 50 Persen Akibat Efisiensi Anggaran

Panitia Universitas Tak Bisa Tangani Kasus Gagal PDSS

Efisiensi Anggaran ke Daerah Berlaku untuk DAK dan DAU

Eva Dwiana Resmikan JPO Milenial

Optimalkan Ekonomi Biru dan Hijau untuk Tingkatkan Kebijakan Fiskal

Penanganan Korupsi Berlanjut

Awasi Kebijakan Harga Singkong di Lapangan

Capaian Pengamanan Lampung dan Sinergi Pusat-Daerah

POPULAR POST

BPK RI Periksa Keuangan Polres Lampung Timur

Pelantikan Pimpinan DPRD Lampura Berlangsung Sederhana

Koran Digital Lampung Post, Edisi Jum’at, 23 Mei 2025

Koran Digital Lampung Post, Edisi Weekend, 25 Mei 2025

Koran Digital Lampung Post, Edisi Rabu, 28 Mei 2025

Tentang Kami

Alamat Kami

Iklan & Sirkulasi

Selamat Datang kembali!

Ambil kata sandi Anda