OPINI Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) adalah opini yang didambakan setiap entitas pemerintah (kementerian/lembaga/pemda). Namun, dalam perjalanannya, opini ini dipertanyakan kualitasnya seiring pemberian opini yang diduga sarat dengan transaksional. Opini WTP diduga sebagai hasil simbiosis mutualisme antara auditor yang korup dan pejabat pemerintah yang oportunis.
Masalah ini mencuat ketika oknum anggota III lembaga pemeriksa pemerintah diduga terseret kasus suap senilai Rp40 miliar untuk pemberian opini WTP pada proyek BTS Kominfo. Kasus ini menguak memori publik tentang sederet kasus yang menjerat lembaga pemeriksa (auditor).
Penelusuran penulis, kurun waktu 2009—2022 lebih dari 10 auditor pemerintah yang terlibat korupsi dalam bentuk suap opini WTP, suap proyek, pemerasan hingga gratifikasi. Tahun 2023 kembali 10 auditor pemerintah terseret kasus korupsi. Kasus tersebut telah divonis pengadilan dengan hukuman bervariasi 4 tahun hingga 7 tahun.
Kasus yang berproses di pengadilan tahun 2023, yaitu 7 auditor diduga terlibat suap pengondisian jalur KA dan 3 auditor tersangka suap laporan keuangan Pemkab Sorong. Disebutkan ada auditor yang meminta uang demi opini WTP di kasus korupsi Kementerian Pertanian. Sebagian besar kasus terjadi terkait negosiasi atas opini laporan keuangan untuk mendapatkan opini WTP.
Rentetan kasus menambah panjang penyimpangan penilaian akuntabilitas keuangan pemerintah menandakan perilaku tidak bermoral dan berintegritas yang bukan hanya persoalan personal, melainkan juga menyangkut masalah kelembagaan. Perilaku korup telah merusak citra secara kelembagaan. Ibarat peribahasa: “nila setitik, rusak susu sebelanga.”
Wajar bila kasus tersebut membentuk persepsi masyarakat, apakah hasil opini WTP atas laporan keuangan pemerintah bisa dinegosiasi. Jangan-jangan, auditor dan anggota lembaga pemeriksa yang tertangkap ini hanya menunjukkan fenomena “gunung es” karena sebagian besar oknum yang tertangkap adalah hasil operasi tangkap tangan KPK.
Mengapa Auditor dalam Pusaran Korupsi?
Obyek forma dari pemeriksaan keuangan negara adanya hubungan antara auditor dan pihak yang diperiksa (audite). Auditor adalah pihak yang memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara terkait kebenaran, kepatuhan, kecermatan, kredibilitas, dan keandalan data/informasi keuangan. Sedangkan audite menyampaikan dan menyajikan laporan pengelolaan keuangan yang transparan, efisien, dan efektif.
Korupsi berulang karena oknum auditor dengan kewenangannya tidak diiringi integritas dan profesionalitas yang tinggi. Pejabat pemerintah pun menambah fenomena ini dengan semakin menyuburkan penyimpangan yang terjadi.
Praktik suap opini WTP tidak terlepas dari teori supply and demand. Kebutuhan opini WTP bagi pejabat pemerintah adalah: 1) institusi pemerintah yang dipimpinnya dianggap akuntabel, 2) menjadi tolok ukur akuntabilitas dari pengelolaan keuangan, 3) menjaga dan meningkatkan citra pimpinan dan lembaganya, 4) opini dianggap bukti bahwa suatu instansi bebas dari korupsi, dan 5) syarat pintu masuk kompetisi memperoleh dana insentif daerah bagi pemda.
Auditor melakukan analisis dokumen dan konfirmasi ke berbagai pihak untuk memastikan kebenaran data. Apabila terdapat ketidaksesuaian kondisi dengan kriteria yang berlaku tim audit menyusun konsep temuan pemeriksaan. Konsep temuan disampaikan kepada entitas untuk diklarifikasi dan ditanggapi. Semakin banyak temuan dan materiil akan mempengaruhi opini dan di sinilah potensi negosiasi temuan yang berujung pada proses tawar-menawar sebuah opini.
Kewenangan penuh auditor memberikan opini dan perilaku pejabat pemerintah untuk memenuhi kepentingannya demi opini WTP menciptakan celah dan peluang korupsi. Bagi auditor yang integritas dan profesionalismenya rendah, celah itu akan dimanfaatkan untuk memperoleh keuntungan pribadi.
Langkah Strategis
Aspek yang perlu dibenahi pada institusi lembaga pemeriksa, yaitu: pertama, faktor individu auditor dan anggota lembaga pemeriksa merupakan kemutlakan yang dilandasi perilaku, moralitas, dan integritas.
Kedua, pembenahan faktor organisasi dengan good governance agar tidak terkena virus korupsi dalam skala besar. Reformasi strategis yang memperkuat mekanisme quality control dan quality assurance dengan melakukan peer review dan auditor utama lembaga pemeriksa. Pejabat pimpinan tinggi pratama/kepala perwakilan juga harus bertanggung jawab jika terjadi pelanggaran integritas atau kecurangan.
Ketiga, revisi UU lembaga pemeriksa terkait dengan pola rekrutmen anggota lembaga pemeriksa harus diisi orang-orang profesional dari kalangan teknokrat atau akademisi yang dipilih oleh panitia seleksi independen, bukan politisi berdasarkan jatah parpol. Keempat, lembaga pemeriksa harus menerapkan zero tolerance terhadap pelanggar kode etik dan integritas berupa penerapan sanksi secara tegas, cepat, dan konsisten untuk memberikan efek jera. *