EMPAT hari saya diinapkan di barak Sekolah Staf dan Komando Angkatan Laut (Seskoal) di Cipulir, Jakarta, pada pertengahan Juni 1994. Di asrama perwira itulah, puluhan jurnalis dari berbagai media di daerah dan nasional mendapatkan pencerahan bagaimana TNI AL menjaga kedaulatan negara.
Pencerahan dibungkus dalam acara pembekalan bagi insan pers tergabung dalam Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) itu, diapresiasi Kepala Staf TNI AL Laksamana Tanto Kuswanto. “Laut yang luas dijaga oleh personel terbatas. Ini membutuhkan peranan pers untuk ikut menjaga keutuhan maritim,” kata Tanto dalam rehat acara di Cipulir, 27 tahun yang silam.
Saya adalah satu-satunya wartawan dari PWI Sumatera Selatan dikirim ke Seskoal untuk menerima kuliah singkat tentang kekuatan maritim. Banyak yang didapatkan selama belajar di situ. Seperti kasus penyelundupan, kapal asing yang mencuri ikan, pelanggaran di perairan zona ekonomi eksklusif (ZEE). Pembekalan itu ditutup dengan joy sailing di Kepulauan Seribu.
Ketika di Cipulir menikmati kopi sore, Tanto didampingi Panglima Armada Barat (Pangarmabar) TNI AL, Arief Koeshariadi mengungkapkan bahwa peralatan kapal perang yang dimiliki RI sangat terbatas. Sementara laut begitu luas yang diapit dua samudra. Maka diperlukan kekuatan purna.
Caranya? Sering menggelar latihan tempur serta menambah kekuatan alat utama sistem senjata (alutsista) di laut. Di balik obrolan santai itu, Tanto berucap ada beberapa media yang akan diberedel–dicabut izin terbitnya karena pemberitaan tendesius soal pembelian kapal perang dari Jerman. Laksamana itu tidak menyebutkan nama-nama media yang dilarang terbit.
Sebelumnya, ketika meresmikan pembangunan Pangkalan Utama Angkatan Laut di Teluk Ratai, Lampung, Presiden Soeharto marah besar atas kritikan media yang memberitakan pembelian 39 kapal perang bekas dari Jerman Timur. Belakangan media yang sangat tajam memberitakan kapal perang itu adalah Majalah Tempo, Tabloid DeTik, dan Majalah Editor.
Majalah Tempo yang terbit pada 7 Juni 1994 mengkritik pembelian 39 kapal perang bekas dari Jerman Timur dari 12,7 juta dolar AS menjadi 1,1 miliar dolar AS. Edisi sebelumnya, Tempo mengungkapkan pembengkakan harga kapal bekas 62 kali lipat. Banyak menteri yang disindir dalam berita itu.
Pemberedelan itu pun datang juga. Media mengobral isu mark-up harga kapal antara pendapat Menteri Riset dan Teknologi BJ Habibie dan Menteri Keuangan Marie Muhammad. Mereka dituding melakukan andil mark-up biaya pembelian kapal. Menteri Penerangan (Menpen) Harmoko atas perintah Soeharto mencabut surat izin usaha penerbitan pers (SIUPP) ketiga media tersebut. Mereka dinilai telah mengganggu stabilitas nasional.
Alutsista harus diselamatkan. Karena sudah berurusan untuk pertahanan, wibawa serta menyangkut harga diri sebuah bangsa. Kepentingan negara di atas segala-galanya! Jika terus dipersoalkan pembelian alutsista menjadi bola liar. Negara tidak akan berwibawa. Indonesia tidak memiliki kapal perang secanggih negara barat lainnya!
Sangat penting memang! Kapal selam perang seperti KRI Nanggala 402 yang tenggelam di perairan utara Pulau Bali, beberapa pekan lalu, memiliki kelebihan untuk menjaga kedaulatan negara. Kapal itu pernah menjalankan misi intelijen di Timor Timur pada Agustus—Oktober tahun 1999.
KRI Nanggala yang tenggelam bersama 53 putra terbaik bangsa itu juga–pernah beroperasi di perbatasan Filipina melacak jaringan penyelundupan senjata dalam konflik di Ambon dan Poso (1998—2000). Andaikan negeri ini tidak memiliki kapal selam, orang sesuka hati mengacak Indonesia.
***
Seperti dikutip detik.com, Laksamana Muda (Purn) Frans Wuwung yang pernah mengomandani KRI Nanggala mengungkapkan, kehadiran Nanggala 402 bersama KRI Cakra 401 di kawasan perairan Timor Timur membuat Australia mengurungkan niatnya memerangi Indonesia. Ternyata negara tetangga berhenti bermanuver.
Andai negeri ini tidak memiliki kekuatan alat di laut, mungkin sudah berapa banyak pulau dan kawasan perairan dicaplok negara asing. Pulau Sipadan dan Ligitan adalah contoh nyata. Pasukan Jalesveva Jayamahe (Justru di Laut Kita Jaya) berkumandang menjaga keutuhan laut Indonesia.
Kapal selam KRI Nanggala 402 yang dibeli dari Jerman sudah membuktikan pengabdiannya untuk ibu pertiwi ini. Kapal perang yang dipesan Indonesia dari Jerman pada 2 April 1977 itu, karam di laut utara Bali, Sabtu, 24 April 2021. Ada 53 awaknya gugur di dalamnya.
Sebagai penghormatan, negara pun menganugerahkan tanda kehormatan berupa Bintang Jalasena kepada 53 prajurit , serta kenaikan pangkat satu tingkat lebih tinggi. Negara juga menjamin pendidikan seluruh putra-putri prajurit hingga jenjang sarjana (S1). Mereka adalah patriot terbaik penjaga kedaulatan negara. Brevet Hiu Kencana tersemat di dada prajurit TNI AL.
Brevet Hiu Kencana merupakan lambang kehormatan bagi Satuan Kapal Selam TNI AL. Dikutip dari Tradisi TNI Angkatan Laut yang diakses dari situs TNI, penyematan Brevet Hiu Kencana bermula dari kegiatan rutin pengangkatan warga kehormatan kapal selam sejak tahun 1959.
Tradisi pengangkatan warga kehormatan kapal selam ini eksis ketika usia TNI AL baru dua bulan. Untuk pertama kalinya, Kepala Staf Angkatan Darat Jenderal TNI AH Nasution dikukuhkan sebagai warga kehormatan kapal selam. Presiden Soeharto pun pernah menerima brevet bergengsi itu.
Lambang brevet berupa kapal selam yang berada di antara dua ekor hiu saling berhadapan. Maknanya sangat mendalam, yakni ketekadan prajurit untuk mempertahankan kapal selam di lautan. Satu di antara prajurit yang dianugerahi brevet Hiu Kencana adalah Letnan Kolonel Laut Heri Oktavian.
Dia adalah komandan KRI Nanggala yang gugur bersama 52 anak buahnya. Anak bungsu dari empat saudara itu adalah buah dari cinta kasih sayang pasangan Murhaleni dan Komisaris Polisi Imron. Ayahnya lebih dahulu dipanggil Allah, adalah anggota Brimobda Lampung. Rumah kecil Heri berada di kawasan Jalan Diponegoro, RT 23 RW 04, Imopuro, Metro Pusat.
Heri kecil menamatkan sekolah dasar (SD) Teladan Kota Metro, Lampung. Dia meneruskan SMP dan SMA di Yogyakarta. Sedangkan ayah dan ibunya tetap bermukim di Metro. Usai menamatkan SMA, Heri sebagai anak polisi melanjutkan cita-citanya masuk Akademi Militer Angkatan Laut.
Banyak pengalaman ditorehkan Heri. Putra terbaik dari Bumi Lada ini—sebelum mengakhiri hidupnya, pernah menjabat komandan Sekolah Awak Kapal Selam atau dansekasel di Pusat Pendidikan Khusus sejak November 2019. Selain sekolah di Jerman, Heri juga memperdalam ilmu survival di Universitas Nanyang Australia.
Kapal selam dijuluki monster bawah laut itu mengakhiri masa berlayarnya. Salat gaib dan doa bercucuran untuk prajurit tanpa mengenal lelah. Kapal perang Heri Oktavian itu sudah mengawal kedaulatan negara 40-an tahun. Kini Nanggala 402 beristirahat selamanya. Ia bersemayam di dasar laut menjaga ibu pertiwi. Keperkasaanmu abadi mengawal negara maritim ini. ***