Dian Wahyu Kusuma
LIMA gajah jinak asyik menikmati pelepah kelapa. Tiap gajah bisa memakan sekitar 30 pelepah per hari. Lima gajah itu bernama Mela dan Rahmi. Sementara yang memiliki gading adalah Haryono, Renold, dan Agam.
Beberapa pengunjung sibuk berganti-ganti gaya dengan latar belakang gajah-gajah tersebut. Beberapa kali Renold terlihat sedikit sensitif jika ada pengunjung yang mendekati. Belalainya serasa hendak menyenggol pengunjung yang mendekat.
“Jangan dari depan (kalau foto),” ujar Kepala Resort Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS), Sukino, di Desa Pemerihan, Kecamatan Bengkunat, Kabupaten Pesisir Barat, Minggu (16/8).
Jumangin, anggota Satgas Penanggulangan Konflik Satwa dan Manusia Desa Pemerihan juga ikut menyaksikan gajah jinak yang sedang memakan pelepah kelapa. Ia bercerita tentang tugasnya menghalau gajah. “Kadang kangen juga kalau sudah lama tidak melihat gajah liar,” ujarnya.
Biasanya, Jumangin bersama satgas lainnya dan masyarakat menghalau gajah di perkebunan warga. Ia berbekal head lamp, petasan, dan jas hujan. Jas hujan selalu ia gunakan karena cuaca di malam hari yang tidak menentu. Belasan warga menonton gajah liar. Ia dan tim bisa dua jam berada di hutan kadang lebih, pulang bisa pukul 24.00 atau 01.00. Menghalau gajah umumnya memang dilakukan pada malam hari.
Gajah kelompok Citra yang berjumlah 25 ekor saat itu berada hanya 5,6 kilometer dari Resort TNBBS di Desa Pemerihan, atau 1,9 km dari jarak Sungai Pemerihan di Desa Sumberrejo. Gajah-gajah itu seolah tahu bila ada makanan di kebun warga. Tanaman jagung, pepaya, dan pisang memang sedang berbuah di kebun warga.
Jika makanan di hutan habis, gajah umumnya mendatangi kebun warga atau kadang hanya merusak kebun. “Oleh sebab itu, peran satgas desa perlu untuk menghalau kelompok gajah agar menjauh atau memasuki kawasan taman nasional,” kata Jumangin.
GPS
Provinsi Lampung memiliki warisan dunia berupa hutan hujan tropis, yakni TNBBS. Lokasinya berada di Kabupaten Tanggamus, Pesisir Barat, Lampung Barat, hingga ke provinsi tetangga, Bengkulu. Luas TNBBS saat ini 355.522 ha (tnbbs.org), yang menjadi habitat jenis tumbuhan unik, langka, serta satwa liar.
Di Pesisir Barat ada masyarakat desa yang hidup berdekatan dengan kawasan TNBBS, yakni Desa Pemerihan. Peratin (Kepala Desa) Pemerihan, Cahyadi, menuturkan di desa itu telah dibentuk Satgas Penanggulangan Konflik Satwa dan Manusia sejak 2014. Satgas tersebut memiliki tugas tambahan yaitu mencegah perburuan satwa liar di kampung itu.
Masyarakat desa setempat bertahun-tahun bertetangga dengan gajah. Warga tidak ingin lagi bermusuhan dengan gajah, mereka berharap bisa hidup berdampingan. Sebab, masyarakat di sana juga memiliki kewajiban untuk menjaga hutan, ekosistem, dan keanekaragaman hayati lainnya.
Gajah liar yang berada di kawasan taman nasional itu diketahui ada dua kelompok. Kelompok pertama yakni Citra berjumlah 25 gajah, sedangkan kelompok dua adalah Bunga yang berjumlah 12 ekor. Rute perjalanan gajah-gajah itu lokasi berbeda, kelompok Citra berada di Marga Belimbing, Way Haru, Sumberrejo, Pemerihan, dan Margomulyo (Pesisir Barat). Sementara kelompok Bunga berada di Suoh, Lampung Barat.
Satu dari kelompok gajah itu telah dipasang GPS Collar. Pengelola TNBBS dan warga desa yang berdekatan dengan TNBBS bisa mengetahui posisi gajah dari GPS tersebut. Warga desa pun cukup kompak, bila gajah mendekat ke kebun warga, pasukan satgas bersiaga.
Plt Kepala Balai Besar TNBBS, Ismanto, menuturkan mencoba mengamati pola pergerakan gajah dengan GPS Collar. Pada saat gajah lama di satu titik, petugas akan mendapat referensi hewan tersebut mendapat makanan atau sumber air.
“Gajah jarang menyimpang dari jalur perlintasan. Jalur gajah ya itu-itu saja,” ujar dia.
Ia menjelaskan kinerja GPS Collar jika mendekat dalam rentang poligon jarak 2 kilometer sebelum batas luar, GPS akan memberi alarm ke operator GPS. “Kami masih butuh beberapa GPS lagi, tetapi bertahap. Konsep kerjanya seperti SMS banking, akan berbunyi jika ada transaksi,” ujar Ismanto.
Pada saat itu, petugas akan menginfokan ke grup WhatsApp satgas sehingga mereka bisa bersiaga.
Menara Pemantau
Bangunan empat lantai itu berada di kawasan TNBBS, tidak jauh dari Sungai Pemerihan. Menara pantau gajah liar, warga desa menyebutnya. Dari lantai empat rumah pemantau itu, satgas bisa melihat kebun warga dan hutan hujan tropis. Aneka burung berkicau di sekitar menara pemantau. Lima meter dari menara pemantau, ada tiga kotoran gajah. “Diperkirakan semalam gajah liar datang ke sini,” kata Cahyadi, Minggu (16/8).
![](https://lampost.co/epaper/wp-content/uploads/2020/08/SAVE_20200823_203825.jpg)
Benar saja, Jumat (14/8), empat gajah liar memasuki kebun milik Paiman. Kurang lebih 30 batang pohon pepaya yang ia tanam hancur diterjang gajah liar. Tidak bisa dipungkiri meski sudah ada tim satgas dan GPS Collar, ada saja cerita kecolongan yang kadang terjadi.
Satgas desa sebenarnya telah memberitahu Paiman, tetapi pria berumur 56 tahun itu baru mengetahui gajah akan masuk ke kebun dari anaknya yang memegang ponselnya pada sore hari. Sebab, saat itu ia sedang diurut, Paiman belum bisa menuju kebun. Ia menaruh harapan kepada anak lelakinya untuk menjaga kebun. Rupanya anaknya tidak kunjung menuju kebun.
![](https://lampost.co/epaper/wp-content/uploads/2020/08/SAVE_20200823_203738.jpg)
Jumangin menuturkan penjagaan kebun diwajibkan kepada pemilik kebun dahulu, selanjutnya satgas akan mendampingi.
Plt Kepala Dinas Kehutanan Propinsi Lampung Ruchyansyah, didampingi Kepala Seksi Konservasi Budi Satria, menjelaskan saat gajah keluar wilayah TNBBS, satgas pekon harus terus siaga untuk memblokade supaya hewan berbelalai itu tidak masuk hutan lindung maupun perkebunan warga.
Ia menilai satgas pekon harus hati-hati bila menghalau gajah, jangan sampai menjadi hal-hal pidana, seperti meracun dan merusak tubuh gajah. “Karena gajah satwa dilindungi, baik di dalam maupun di luar kawasan,” ujarnya.
“Gajah punya home range, dia akan menyimpang kalau makannya habis atau ada yang menarik atau enak. Namun, nanti ke home range lagi. Dari zaman dahulu, home range itu sudah ada. Sekarang kondisi masyarakat makin berkembang, tadinya bukan permukiman, kebun, sekarang menjadi kebun,” ujar Yayan, sapaannya.
Ketika gajah masuk ke perlintasan dan warga tidak siap untuk menghalau, Yayan berharap jangan sampai petani menjadi seolah-olah korban. Menurut dia, petugas dari Dinas Kehutanan tidak bisa setiap saat bersiaga. Oleh karena itu, warga harus bersiaga.
Apa yang dikatakan Yayan rupanya telah dilakukan oleh masyarakat Pemerihan. Desa tersebut bahkan telah menganggarkan keperluan satgas tersebut, seperti makanan gajah jinak, kandang gajah, peralatan senter, dan jas hujan.
“Kami sudah terbiasa berdampingan dengan hewan buas, seperti gajah, beruang, harimau, dan badak, wajar bagi kami. Artinya, jadikan (hewan buas) sahabat saja, bukan sebagai musuh yang membahayakan. Kalau ketemu di kebun, kalau pergerakan agak membahayakan, kami mundur dulu, supaya binatang itu lewat,” ujar Cahyadi.
Untuk memantau pergerakan gajah liar, Cahyadi menuturkan di setiap kebun milik warga yang berbatasan dengan taman nasional memiliki rumah pemantau atau rumah pohon. Bangunannya hanya dua sampai tiga meter. Fungsinya untuk melihat gajah liar dan menghalaunya bila mendekat.
Di bawah rumah pemantau umumnya masyarakat menghidupkan api unggun untuk memberikan penerangan di malam hari. “Gajah enggak berani kalau ada manusia di rumah pohon,” ujar Peratin Pemerihan tersebut.
Ia juga saling komunikasi dengan beberapa desa yang menjadi jalurnya gajah. Dari Marga Belimbing, Way Haru, Sumberrejo, Pemerihan, dan Margomulyo.
“Saat gajah melintas ke desa tetangga, desa itu memberi informasi. Sudah sekian meter, ke Desa Pemerihan, kami sudah siap-siap,” ujarnya.
Satgas itu dibantu pula dari petugas TNBBS serta pawang gajah, dari warga lokal. Mahot, satgas, petugas TNBBS, dan masyarakat pekebun harus bekerja sama. Sebelum ditetapkan sebagai taman nasional, warga memang sudah bermukim secara turun-temurun.
“Setelah ada aturan sebagai kawasan nasional, kami berupaya sosialisasi ke masyarakat. Alhamdulillah, kami sudah berhasil 100 persen, untuk tidak menjadi perambah hutan, termasuk menghindari konflik dengan gajah,” kata dia.
Kearifan Lokal
Manajer Lanskap WCS untuk TNBBS, Firdaus Affandi, menuturkan WCS dan TNBBS berkolaborasi untuk memberikan pengetahuan ke warga soal menghalau gajah. Namun, ia berharap saat mitigasi gajah jangan hanya bergantung pada petasan.
Kearifan lokal yang ada di desa yang berbatasan dengan TNBBS bisa menjadi poin penting saat menghalau gajah liar, di antaranya dengan menggunakan kaleng yang direnteng supaya menimbulkan bunyi keras sehingga gajah bisa masuk kembali ke kawasan taman nasional. Selanjutnya, ada pula warga yang menggunakan belerang yang dicampur sabut kelapa untuk dibakar di jalur gajah sehingga hewan itu enggan mendekat ke kebun warga.
WCS yang aktif memberikan pelatihan kepada satgas di desa berkomitmen membangun masyarakat di sana. “Karena yang berkutat langsung dengan wilayah pinggiran taman nasional ya masyarakat,” ujar dia.
Peneliti satwa liar Universitas Lampung, Gunardi Djoko Winarno, menyarankan petani yang berada di sekitar pinggiran kawasan TNBBS untuk menanam tumbuhan yang bukan menjadi makanan gajah. Ia menyarankan kepada petani yang memiliki lahan di perbatasan taman nasional agar menanam umbi porang. “Pisang, jagung semua itu makanan gajah,” kata dia.
Selain itu, Gunardi menambahkan tanaman porang cukup mudah dibudidayakan karena tidak membutuhkan perawatan intensif, porang tak membutuhkan herbisida maupun pestisida. Tanaman ini juga tak disukai oleh satwa liar.
Porang adalah tanaman lapisan bawah dari hutan. Tanaman ini masih satu family (Amorphophallus) dengan bunga bangkai. Daun porang menghambat terpaan air hujan, supaya tanah tidak erosi sekaligus berguna untuk konservasi.
“Ini menjadi kearifan lokal, bisa diolah menjadi beras, pangan nasional yang sehat dengan kadar glukosa rendah,” ujar dosen Unila itu.
Ekowisata Ramah Gajah
Mela, Rahmi, Haryono, Renold, dan Agam merupakan gajah jinak yang didatangkan langsung dari Taman Nasional Way Kambas (TNWK) sebagai tim patroli penanggulangan konflik antara manusia dan gajah di sekitar taman nasional. Selain sebagai tim patroli, kini kelima gajah tersebut telah dikenal masyarakat Desa Pemerihan sebagai sarana pendukung wisata dalam kawasan nasional bekerja sama dengan badan usaha milik desa dan TNBBS.
Resort Pemerihan itu telah dibuka untuk umum sebelum Covid-19, tepatnya awal 2020. Setiap akhir pekan warga sekitar dan tetangga desa aktif mengunjungi kawasan gajah jinak itu. Namun, selama pandemi Covid-19, kawasan wisata itu terpaksa dibatasi untuk umum.
“Desa kami bisa dikatakan tidak ada batas penghalang, antara desa dan TNBBS, hanya berbatasan dengan sungai. Jadi gajah memang sering lalu-lalang melewati Sungai Pemerihan,” kata Cahyadi.
“Kami merintis desa ramah gajah, tidak harus memakai cara kekerasan, atau tidak baik, yang ramah dengan satwa gajah. Kami melihat, gajah sebagai potensi yang ke depannya bisa menambah nilai ekonomi masyarakat,” ujarnya.