Dian Wahyu Kusuma
Efendi tampak sibuk memisahkan fuli (bunga) merah yang menempel pada biji pala di Kabupaten Pesawaran, Lampung. Fuli harus dipisahkan dari buahnya agar biji pala bisa dijemur maksimal sebelum akhirnya dipasarkan atau dikonsumsi sendiri. Bunga pala sendiri bisa dijual secara terpisah.
Pada masa panen kali ini, Efendi memperkirakan ia bisa mendapat satu kuintal biji pala kering yang bisa dijual dengan harga Rp 45.000 per kilogram.Sementara itu, fuli pala bisa dijual seharga Rp 210.000 per kg. Efendi memprediksi ia bisa mendapatkan 10 kg fuli dari panen kali ini.
Efendi telah menanam ratusan tanaman pala sejak tujuh tahun yang lalu di sepetak tanah dua hektar yang terletak di dalam kawasan konservasi Taman Hutan Rakyat (Tahura) Wan Abdul Rachman di Kabupaten Pesawaran. Tetapi, tanaman yang berbuah baru sekitar 70 tanaman saja.
Selain pala, pria berumur 55 tahun ini juga menanam kemiri yang bisa dipanen sebulan sekali. Sekali panen, Efendi bisa mendapatkan dua kuintal yang dijual dengan harga Rp 7.000 per kg. Dia juga tidak perlu lelah memanen kemiri karena hanya tinggal memungut buah tua yang jatuh ke tanah. “Tahun ini nggak ada paceklik [sehingga bisa memanen] pala dan kemiri,” ujar lelaki kelahiran 1965 itu.
Begitulah cara Efendi mendapatkan hasil dari produk hutan bukan kayu. Efendi adalah salah satu anggota Sistem Hutan Kerakyatan (SHK) Lestari yang memanfaatkan produk hutan bukan kayu dari kawasan Tahura Wan Abdul Rachman. Ia sudah tinggal dan hidup di dalam kawasan tahura sejak tahun 1975. Selain pala dan kemiri, ia juga menanam cokelat, pala, cengkeh, durian, dan tangkil. “Kita tanam di lahan yang masih renggang,” ujarnya.
Perhutanan Sosial di Dalam Tahura
Dahulu, Tahura Wan Abdul Rachman menghadapi ancaman dari petani yang menebang dan membakar hutan untuk ditanami hutan yang menghasilkan secara ekonomi. Padahal kawasan ini menjadi posisi yang sangat strategis sebagai sumber air kota Bandar Lampung.
Pada tahun 1996, pemerintah mengubah status tahura tersebut dari hutan lindung dan hutan konservasi. Hal ini mewajibkan masyarakat desa yang ada di sekitar kawasan hutan tersebut untuk melindungi kawasan tahura untuk melindungi biodiversitas di dalamnya.
Ketika tahura ditetap sebagai kawasan konservasi, sebagian petani berpindah karena mendapatkan lahan baru di Rawajitu. Namun, sebagian lagi memutuskan untuk tetap berada di Tahura sampai sekarang. Pemerintah kemudian merangkul petani tersebut untuk mengelola hutan dengan tetap menjaga tutupan pohon melalui wanatani di bawah skema perhutanan sosial.
“Ketika tahura ini masih ditetapkan sebagai hutan lindung, ada skema hutan kemasyarakatan [HKm]. Ini merupakan HKm pertama di Lampung dan juga di Indonesia. Izin sementara diberikan di Kampung Sumber Agung,” kata Kepala UPTD Tahura Wan Abdul Rachman, Eny Puspasari.
Worldagroforestry.org mencatat perhutanan sosial di kawasan Asia Tenggara telah berlangsung sejak 1960-an di Vietnam. Di wilayah barat laut Vietnam, pengembangan agroforestri menjadi pilihan yang baik untuk memulihkan kesuburan tanah dan meningkatkan fungsi ekosistem sambil meningkatkan kinerja sistem pertanian.
Beberapa petani masih berproses untuk mendapatkan izin kelola hutan konservasi dalam naungan SHK Lestari.
Izin kelola ini merupakan bagian dari kemitraan konservasi yang masih berada pada ruang lingkup perhutanan sosial. Pengelolaan hutan oleh petani yang awalnya eksploitatif dan destruktif terhadap hutan berubah menjadi konservasi. Petani hutan tetap bisa memanfaatkan hutan untuk penghidupan mereka misalnya dengan menanam aneka tanaman campuran seperti pala, kemiri, dan kopi tanpa harus menebang pohon.
Menurut data terkini dari pihak pengelola tahura, sekitar 80 persen — 16,000 hektar — dari seluruh luas tahura dinyatakan sebagai areal terbuka [open area] oleh Ditjen Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem (KSDAE) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).
Sebagian besar areal terbuka tersebut, kata Eny, adalah kebun campuran akibat aktivitas manusia. Diperkirakan sekitar 16.000 KK tinggal dan mengelola areal terbuka tersebut. Eny menjelaskan akses legal pengelolaan tahura bisa diberikan kepada masyarakat yang sudah terlanjur berada di dalam kawasan dalam bentuk kemitraan.“Kemitraan [konservasi] terus berproses.”
Petani Penjaga Hutan
Ketua SHK Lestari Agus Guntoro mencatat ada 620 anggota kelompok yang mengelola 1.000 ha lahan di Tahura Wan Abdul Rachman.
Petani dan pihak tahura mengakui skema kemitraan konservasi dibandingkan kemitraan hutan lindung. Petani diharuskan menjaga cadangan air setempat dan mengurangi potensi kebakaran.
Salah satu aturan yang ditetapkan untuk mencapai hal tersebut adalah petani anggota SHK harus menjaga kawasan hutan tua Leweng Kolot dan Gunung Damar Kaca dari deforestasi. Petani juga diwajibkan untuk menanam minimal 20 batang tanaman tajuk tinggi, seperti durian, jika memanfaatkan satu hektar lahan.
Agus mengatakan SHK masih memproses perizinan pengelolaan. “Sekarang baru sampai di tahap verifikasi teknis,” ujar Agus, Jumat (4/12/2020).
Akademisi Fakultas Kehutanan Universitas Lampung, Gunardi Djoko Winarno, mengatakan kemitraan pengelolaan ini penting untuk dalam mengelola kawasan konservasi.
“Masyarakat menjadi ujung tombak dari kemitraan perhutanan sosial ini. Sangat penting untuk melibatkan masyarakat,” ujar Gunardi.
Ia menambahkan kondisi lahan petani anggota SHK Lestari sudah tertutup pohon-pohon tajuk tinggi berdasarkan citra satelit. Artinya, fungsi hutan untuk menjaga keberagaman ekologis masih dapat berlangsung.
Ia menyebut petani bisa menanam tanaman yang punya nilai ekonomi dan sosial budaya sehingga ada keseimbangan. Misalnya, petani menanam durian dan alpukat sebagai tanaman kanopi atau lapisan atas dan porang atau tanaman talas lainnya di lapisan bawah.
Peta Indikatif dan Areal Perhutanan Sosial (PIAPS) yang dikeluarkan oleh KLHK menunjukkan sekitar 214.333 hektar dari 383.594 total luas lahan di bawah skema perhutanan sosial di Lampung sudah dimanfaatkan oleh masyarakat.
“Saya pikir sangat bagus karena sudah 60 persen. Peluangnya besar untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan membantu kebutuhan lahan,” kata Direktur Bina Usaha Perhutanan Sosial dan Hutan Adat KLHK, B. Herudojo Tjiptono.
Secara nasional, realisasi capaian perhutanan sosial per 24 Juni 2020 sudah mencapai sekitar 4,2 juta hektar yang melibatkan lebih dari 850.000 kepala keluarga dan 6.600 unit pemegang izin.