Dian Wahyu Kusuma
SALMAN Ilyas (64 tahun) bersama istrinya, Rosmani (58 tahun), baru tiga bulan tinggal di Bengkunat, Pesisir Barat, Lampung. Rumah kayu berupa lempengan-lempengan papan baru selesai mereka buat. Paku-paku terlihat terserak di dalam rumah itu. Salman juga belum memasang listrik, baru ada aki mobil yang digunakan untuk sumber energi penerangan. Rumahnya terlihat sederhana, tak ada pembatas antara ruang tamu dan dapur, tapi Salman dan Rosmani mengaku betah. Mereka bahkan berencana akan lebih sering tinggal di rumah baru ini, meninggalkan rumah lama di Kabupaten sebelah, Tanggamus.
Sejak muda Salman telah terbiasa bercocok tanam-berkebun dan menanam padi. Hingga pada tahun 2013 lalu, sepulang dari ibadah haji Rosmani menjadi sering sakit-sakitan. Bolak-balik ke rumah sakit sudah tak terhitung lagi jumlahnya. Penyakit gula darah dan radang sendi di lutut. Begitu kata dokter.
Setelah lama berobat, penyakitnya pun mulai berangsur pulih. Tak ingin penyakitnya kambuh, Rosmani bersepakat dengan suaminya untuk bermukim di dekat kebun miliknya. Mereka ingin menggarap lahan seluas 1 hektare berdua. Rosmaniingin mengulang kebiasaan lama mereka, membantu sang suami di kebun. Inilah cara agar tubuh keduanya tetapsehat meski telah berumur.
“Sekarang cuma modal semangat. Kalau tenaga, sudah tidak semuda dulu,” ujarnya mengenang masa lalu.
Selain itu, mereka juga ingin memantau secara langsung kebun dari jarak dekat. Kadang, mereka mendapati tandan buah sawit mereka dicuri warga sekitar, karena kebun mereka terletak pas di depan jalan raya.
Sejak tinggal di dekat kebun, Salman memutuskan menebas batang sawit seluas satu hektare. Sebanyak140 sawit usia 7 tahun itu ia habiskan. Alasannya harga sawit yang tak lagi bersahabat dan produksi yang tak kunjung menghasilkan. Ia ingin mencari peluang baru dari jenis tanaman lain. Saat ini, Pria berumur 64 tahun ini sudah mulai menyemai pepaya, dan memesan bibit jeruk BW dari luar kota. Salman dan Rosmani berharap garapan barunya ini bisa membawa mereka kembali berangkat umrah dari hasil bertanam jeruk BW.
“Sawit sudah nikmatin baru 6 kw satu ha, sekarang mau ganti ke jeruk biar badan bisa gerak juga,” ujarnya, Minggu (13/9/2020).
Salman tak serta merta meninggalkan sawit. Ia ingat betul peran sawit bagi kehidupan keluarganya. Ia bisa membuatkan rumah anaknya hasil keringatnya menanam sawit. Beruntung lahannya pun luas, ada sekitar 5 ha lahan sawit yang kini sudah ia bagi-bagikan kepada ketiga anaknya. Mengingat itu, ia pun berencana menyemai kembali benih sawit. Ia sudah mengumpulkan puluhan biji sawit dari tanaman unggul.
“Ini mau dijambang, dari pohon yang nggak pernah ngetrek,” ucapnya, memperlihatkan puluhan biji sawit yang ia simpan dalam karung.
Selain Salman, ada M. Zuhron (32 tahun) petani di Bengkunat, Pesisir Barat menceritakan pengalamannya bertanam sawit. Sejak 2016 lalu, Zuhron memberanikan diri menebas batang-batang sawitberumur empat tahun di kebun, menggantinya dengan tanaman pepaya. Zuhron mengaku belum sempat menikmati tandan buah sawit tersebut, ia memutuskan untuk bertanam pepaya jenis california. Alasannya, tiap pekan pepaya bisa dipanen dengan harga yang tinggi. Dalam seminggu ia bisa memanen buah pepaya, dan penampung hasil panennya pun berada tak jauh dari rumah.
Ia merinci, jika sawit 80 batang dengan jarak tanam 10 x 11 meter tak masuk penghitungan untung. “Perhitungannya gak masuk kalau nanem sedikit. Kates harga Rp1.500 per kg, per minggu bisa dapat satu juta sudah positif. Kalau sawit tadi belum tentu,” ujarnya.
Berbeda dengan Zuhron, di Bengkunat beberapa petani tetap ingin terus mempertahankan sawit. Anwarsyah dan Istrinya Rikawati masih mempertahankan sawit warisan dari orangtuanya seluas 2 hektare. Perbedaan ini rupanya membuat Anwar dan Salman sepakat bahwa jika ingin mendapatkan hasil yang lumayan dari sawit minimal harus menggarap kebun seluas 2 ha.
Anwar bercerita kalau ia pernah bekerja di perusahaan perikanan dan perkebunan sawit, sehingga mengerti akan perawatan sawit. Sedikitnya dua tahun sekali ia memberi tiga jenis pupuk pada piringan sawit. Urea, Npk, SP36 menjadi bagian pupuk sawit. “Harusnya 5 jenis pupuk, tapi karena petani rakyat tidak mampu beli pupuk seperti di perusahaan,” ujarnya.
Lalu, perawatan di sekitar batang sawit, penebasan batang sawit juga rutin dilakukan. Karena perawatannya yang intensif, Anwar bisa mendapkan rata-rata 2 ton per hektare sawit.
“Kami pernah dapat 5 ton per hektar,” ujarnya, sambil melihat sawit berusia 8 tahun di kebunnya.
Alhasil, sawitnya bisa menghasilkan seperti yang ia harapkan. Namun, kemarau panjang tahun lalu, membuat beberapa sawit tidak menghasilkan buah yang utuh. Petani menyebutnya dengan istilah nge-trak.

Edi Sutopo (27 tahun), petani di Desa Sribasuki, kecamatan Kalirejo, Lampung Tengah, juga ganti kebun sawit menjadi sawah tadah hujan. Sudah dua musim tanam padi ini ia mengganti sawitnya dengan tanaman padi. Alasannya, produksi sawit umur 7 tahun itu tak serenyah menanam padi. Ia membandingkan bila menanam padi bisa mendapat rata-rata 1 juta per bulan per hektar, sementara sawit sawit belum tentu bisa dapat Rp1 juta per bulan. Edi juga nenambah penghasilannya dengan budidaya ikan air tawar di samping tanaman padi milikknya.
Sementara, Sri Lestari, petani perempuan di desa Sidoluhur, Lampung Tengah baru setahun ini mengganti sawit dengan jagung. Sawit berumur 10 tahun di lahan satu hektare itu ia pangkas pelepahnya. Ia percaya diri mengganti sawit dengan jagung. Padahal di sebelah kebunnya, sawit milik tetangga masih berdiri tegak. “Buahnya jarang-jarang, kadang panen kadang gak. Ada yang lebet ada yang ga ada buahnya. Sekarang jagung aja, udahlah sawit mah,” kata Sri.
Ia menceritakan jika sawit sekali panen dalam 20 hari hanya bisa mendapat Rp200 ribu. “Dulu pernah dapat 500 ribu sekali panen, kalau begitu terus gak mikir mau nebang sawit,” ujarnya.

Nuryadi (38 tahun), suami Sri menambahkan bahwa hasil dari 1 hektar sawit memang tidak menghasilkan. “Mau kredit motor saja ga bisa buat cicilannya,” ujarnya.
Sri bercerita, kala menanam sawit dengan konsep kemitraan, semua buruh panen dari pabrik desa sebelah. Namun, sejak menanam jagung, ia bisa membantu memberikan lapangan kerja bagi tetangganya. Mulai dari upah buruh tanam, pupuk, sampai panen. Ia bisa mempekerjakan 10 orang tetangganya saat menanam dan memanen jagung dengan upah Rp50 ribu per hari. “Alhamdulillah sejak ditanami jagung, orang sini diajaki semua, tadinya gak bisa mau kasih orang-orang. Sekarang ngajak orang ke kebun, bisa ngasih,” tuturnya.
Sri sendiri yang akan mengantarkan makanan siang bila 10 pekerja sedang menggarap kebunnya. Sebanyak 5 kg beras, lauk, dan kerupuk ia persiapkan sedari pagi. Menu makanan ringan, roti,keripik serta kopi dan teh menjadi pelengkap bila pekerja beristirahat.
Sigit Wahyudi petani di Lampung Tengah memutuskan hal yang sama dengan Sri. 2018 merupakan tahun terakhir ia memanen sawit . Sekarang, Sigit fokus pada tanaman jagung. Ia menuturkan, perawatan yang kurang intensif pada sawitnya menyebabkan produksi tidak lagi bagus. Apalagi, sawit terserang jamur ganoderma. Karena itu, ia memilih mengganti sawit yang berusia 24 tahun itu dengan tamanan jagung. Jagung yang ia tanam itu bukan untuk diambil buahnya, melainkan dipanen hanya hijauannya saja yakni untuk pakan ternak sapi. Hijuaan jagun gini terbilang cepat dipanen yakni hanya dua bulan saja. Dalam 1,5 hektare, ia bisa mendapat keuntungan bersih yakni Rp15 juta. Dengan dipengaruhi kondisi cuaca, Sigit hanya bisa menanam jagung selama tiga kali dalam setahun.
Puji Winarno Kepala Desa Sidoluhur kecamatan Bangun Rejo, Lampung Tengah sawit di wilayahnya rata-rata telah memasuki usia peremajaan, karena sawit ditanam pada tahun 1993 lalu. “Jadi sekarang sudah layak diganti,” ujarnya.
Ia mengamini, bahwa produksi sawit dari 500 ha di desanya menurun karena usia sawit yang sudah tua. Puji menuturkan 60 persen dari 1.400 kepala keluarga di desanya ini menjadikan sawit sebagai tanaman utama.
Warga desa petani sawit kemudian ada yang memanfaatkan program peremajaan sawit, sementara sebagian lagi memilih beralih komoditas. Petani yang memiliki lahan sempit umumnya beralih ke tanaman lain, karena untuk peremajaan sawit harus menunggu sampai sawit berproduksi lagi 4-5 tahun.
Ia menilai, saat ini harga sawit tak menjadi masalah karena bisa Rp1.200 per kg. Meski empat tahun belakang harga pernah anjlok ke Rp600 per kg. Pernah harga tertinggi sawit mencapai Rp1.800-Rp2.000 per kg.
“Rata-rata harga gak jadi masalah, saat panen raya harga biasanya memang anjlok”
Khusus batang sawit yang ditebang, petani bisa menjual Rp500per batang untuk dimanfaatkan menjadi gula kelapa sawit. Batang sawit yang telah ditebang lalu diambil air atau nira pada ujung daun mudanya setiap hari. Proses pengambilan air ini bisa mencapai satu bulan penuh.
Aspek berkelanjutan
Putra Agung, Team Manager, Palm Oil, Rainforest Alliance mengakui kepemilikan lahan petani memang beragam diantara 0,5 – 2 ha. Banyak studi terkait hal ini dan banyak diantaranya yang menyebutkan bahwa idealnya petani mengelola lahan sawit seluas 2-4 Ha atau bahkan lebih. Namun tentu saja luasan ideal ini dipengaruhi oleh banyak hal seperti jumlah tenaga kerja didalam satu keluarga, agri-input dll, yang pada akhirnya akan menentukan produktifitas.
Menyoal berapa idealnya lahan sawit yang dimiliki warga supaya petani bisa bertahan ditengah gejolak harga TBS, Putra Agung menilai ideal dalam hal ini bisa diinterpretasikan bermacam-macam tergantung faktor-faktor pendukung. “Yang paling penting untuk diketahui oleh petani adalah tentang perlunya aspek keberlanjutan untuk diterapkan pada praktek penglolaan kebun sawit mereka,” ujarnya.
Ia menilai, keberlanjutan sawit dalam hal ini tidak hanya merujuk kepada keberlanjutan lingkungan saja, namun juga harus diartikan sebagai keberlanjutan usaha kebun mereka sendiri, sebagai unit bisnis yang hendaknya dapat memberikan profit kepada petani pengelolanya. Menurutnya, banyak cara yang bisa ditempuh yaitu dengan mulai memperkenalkan petani swadaya kepada praktek sawit berkelanjutan dengan membenahi tata kelola, kelembagaan dan lain sebagainya. Hal selanjutnya yang bisa dilakukan adalah dengan mengikuti skema sertifikasi untuk petani swadaya seperti RSPO dan ISPO. Hal ini dilakukan guna menjamin pengelolaan kebun sawit yang dilakukan oleh petani swadaya telah memenuhi standar lingkungan, social dan ekonomi, disamping tentunya membuka ruang yang lebih besar bagi produksi sawit petani swadaya bisa diterima oleh pasar yang lebih luas.
Putra menambahkan yang perlu diperhatikan agar lingkungan tetap terjaga adalah pilihan komoditi setelahnya. Sawit sebagai tanaman monokultur sudah dapat dipastikan memberikan dampak terhadap biodiversitas dan lain sebagainya.
“Kalau bisa tanaman yang akan menjadi pengganti sawit adalah tanaman yang memang teknik budidayanya sudah dikuasai dengan baik oleh petani. Selain kalau memang ingin memperbaiki kualitas lingkungan komposisi tanaman multi-strata seperti agroforestri bisa dijadikan alternative terbaik”.
Produksi Sawit Terus Menurun
Produksi sawit di Propinsi Lampung terus menurun. Data Badan Pusat Statistik (BPS) Lampung menunjukkan pada 2015 produksi sawit mencapai 546.242 ton, sementara pada 2016 turun menjadi 398.539 ton, pada 2017 turun menjadi 194.324 ton dan 2018 hanya 190.339 ton.
Angka penurunan ini tampak drastis di kabupaten Pesisir Barat, yakni dari 20.282 ton pada 2016 menjadi 5.811 ton pada 2018. Sementara di Lampung Tengah dari 109.725 ton pada 2016 menjadi 43.553 ton pada 2018.
Penurunan produksi sawit itu menurut Peneliti Sawit Rakyat Universitas Lampung R Hanung Ismono, petani sawit rakyat beralih ke tanaman lain karena lahan petani yang terbatas, di sisi lain sebagian petani lainnya menunggu proses peremajaan sawit dari program pemerintah.
Hanung menjelaskan, umumnya umur pohon sawit di Lampung umumnya telah berada di atas 20 tahun. Karena umurnya sudah tua, produksi sawit pun menurun. Beberapa tanaman sawit juga memiliki batang terlalu tinggi, pada proses pemanenan membuat tandan buah rusak sehingga mempengaruhi kualitas. Selain itu, sawit juga rentan terserang hama seperti jamur genoderma dan kumbang tanduk jika ditumpangsari dengan tanaman lain, misalnya saat peremajaan banyak petani membuat tumpang sari dengan tanaman singkong atau tanaman lainnya. Hal ini kurang efektif karena bisa menyebabkan jamur menyerang tanaman sawit.
Menurut Hanung, serangan hama ini juga masif terjadi karena di Lampung pernah ada program integrasi sawit dengan pengembalaan sapi. Sapi yang berada di kebun sawit itu menghasilkan kotoran yang tertinggal dikebun, sehingga menginisiasi munculnya jamur Ganoderma dan kumbang tanduk (Oryctes rhinoceros). Bila sawit terserang jamur ganoderma, pohonnya menjadi tidak berkembang maksmimal. Selanjutnya, kumbang tanduk yang hinggap di batang sawit semakin berkembang biak dan menyebar ke tanaman sawit lainnya yang masih sehat.
Alih-alih ingin mendapat hasil dari menunggu peremajaan sawit, namun petani mendapat tanaman sawitnya terserang penyakit. Ia menyarankan bila hendak tumpang sari, petani bisa menanam tanaman jenis kacang-kacangan, karena bermanfaat bagi sawit sebagai sumber Nitrogen (N) yang baik bagi tanaman sawit.
“Sawit mengerjakannya mudah, kalau gak ada penyakit bisa 20 tahun panen. Sebulan dua kali panen, waktu luang petani bisa buat untuk usaha bisnis yang lain,” ujar Hanung.
Ia menyimpulkan, sawit bisa menjadi tanaman jaring pengaman ekonomi keluarga. Karena dalam setahun, tanaman sawit bisa dipanen selama 10 bulan dengan asumsi 2 bulan tidak berbuah (ngetrek). “Minimal memiliki 4-5 ha tanaman sawit sudah aman, bisa menyekolahkan anak,” tutupnya.
Peremajaan lambat?
Bicara sawit rakyat, Jabuk, Kabid Produksi Dinas Perkebunan Sawit Lampung menuturkan, produksi menurun bisa terjadi karena banyak sebab, diantaranya pemeliharaan yang tidak intensif, juga umur tanaman yang sudah tidak produktif lagi.
Ia menuturkan Pada tahun 2019 dan 2020 sudah ada 507 pekebun dengan luas lahan 2.591 ha yang mengajukan peremajaan sawit dari target 3.500 ha.
Ia menjelaskan terdapat bantuan Rp25 juta per ha untuk program peremajaan yakni persiapan buka lahan dan penanaman bibit sawit. Namun bantuan itu masih kurang. “Masih kurang 25 juta lah, Jadi dana itu kekurangannya bisa melalui Kredit Usaha Rakyat (KUR) di sektor pertanian,” ujarnya.
Syarat ketentuan sawit sudah tua nggak produktif lagi harus diremajakan. Bantuan bisa melalui kelompok tani, mereka bersama-sama minimal 50 ha. “Bisa saja dikelola petani, targetnya tanaman kebun jadi”.
Diketahui, saat ini pemerintah membuat program B30 untuk bahan bakar dari mintak sawit. “Nanti bisa 100 persen. Sawit ini prospeknya bagus untuk sumber energi terbarukan”.
Sementara itu, Peneliti Sawit Rakyat Universitas Lampung, R Hanung Ismono Rabu (16/9/2020) menuturkan tanaman sawit di Lampung umumnya telah memasuki usia tua, sehingga butuh peremajaan.
Rata-rata tahun tanam kelapa sawit petani mandiri dan mitra di Provinsi Lampung sama yaitu tahun 1996 dengan umur tanaman saat ini 24 tahun.
Sayangnya, upaya peremajaan sawit di Lampung terbilang lambat. Ia menuturkan dana peremajaan sawit telah dianggarkan oleh Badan Pengelola Dana Perkebunan (BPDP). Menurutnya pencairan BPDP untuk peremajaan sawit di Lampung masih belum begitu besar. Padahal, program lain di BPDP ada yang bisa untuk beasiswa bagi anak petani sawit.
“Saya gak ngerti kenapa proses peremajaan sawit di Lampung berlangsung lambat,” ungkapnya.
Ia menilai, kendala replanting ini karena lahan sawit rakyat yang berpencar-pencar di suatu lahan atau tidak bergerombol. Usia tanamaan kelapa sawit di Lampung telah memasuki 24 tahun. Menurutnya, bila petani mendapatkan program peremajaan, maka petani bisa mendapatkan benih unggul bersertifikat.
Hanung menjelaskan jenis petani kelapa sawit di Provinsi Lampung sebanyak 60 persen merupakan petani mandiri, dan sisanya sebesar 40 persen merupakan petani mitra. Rata-rata pengusahaan lahan kelapa sawit mandiri terbesar yakni di Kabupaten Pesisir Barat sebesar 3,52 ha, dan terkecil di Kabupaten Lampung Selatan sebesar 2,02 ha.
Dosen Agribisnis ini menuturkan antusiasme peremajaan kelapa sawit di Provinsi Lampung termasuk dalam kategori tinggi sebesar 64,78%. Kemudian, kesiapan petani kelapa sawit rakyat dalam peremajaankelapa sawit rakyat mencapai 76 persen. Sementara kinerja pelaksanaan peremajaan kelapa sawit masuk dalam kategori sangat rendah, karena target peremajaan kebun kelapa sawit sebesar 9.685,25 hektar, sementara luas lahan kebun kelapa sawit yang telah memperoleh rekomendasi teknis dari Direktorat Jenderal Perkebunan dari data Hanung 2019 lalu, baru mencapai 186,57 hektar dari 101 KK.
“Hampir di setiap daerah, petani menginginkan segera peremajaan sawit, tapi hasil survei saya petani belum bisa menjangkau program tersebut,” ujar Hanung.
Selanjutnya, ia ingin anggaran peremajaan sawit bagi petani perlu ditambah. Karena biaya Rp25 juta per hektare dari peremajaan sawit masih dinilai kurang. “Saat petani menambah biaya replanting cukup berat,” tutupnya.