DIAN WAHYU KUSUMA
AHMAD Erfan memegang erat stang motornya. Ia begitu percaya diri melajukan motor trail hasil modifikasi berupa ban bergerigi besar. Tak lupa, ia membawa rantai cadangan yang bisa diikat ke roda, jika jalan berlumpur mulai mengahdang. Jika perhitungannya meleset sedikit saja, maka lumpur jalan siap mengantarkan kendaraannya ke jurang.
Jalan setapak sepanjang 1.300 meter persegi itu cukup menantang. Tanjakan dan turunan curam menjadi rintangan sehari-sehari bagi petani menuju kebun kopi di Register 45B, Pekon Tugusari, Kecamatan Sumber Jaya, Lampung Barat.
Kurang lebih sepuluh menit perjalanan dari rumah, Erfan sampai di kebun kopi. Ia menatap dari jauh pohon kopi robusta miliknya Sabtu (11/7/2020). Bapak tiga orang anak ini, menaruh harapan besar kepada kopi. Akhir Juli ini sampai Oktober, panen raya kopi segera datang. Ia sudah berhitung tentang berapa jumlah kopi yang bisa dipanen. Totalnya bisa lebih dari 3 ton biji kopi kering per hektare.
Pada ketinggian 991 mdpl di kawasan hutan register 45B, Erfan menanam kopi yang diselingi dengan tanaman lainnya seperti sengon semendo, lamtoro hantu, alpukat, durian, pisang, durian, lada, cabai rawit, dan empon-empon.
Erfan tak sembarang menanam pohon itu. Pengalaman Erfan menanam kopi bertahun-tahun telah mengajarinya bagaimana membuat formula yang pas, agar kopi berbuah lebat, serta tanaman lain disekitarnya juga ikut bisa panen melimpah.
Kuncinya, kopi harus memiliki tanaman naungan yang lebih tinggi. Disisi lain, kopi membutuhkan unsur hara mikro nitrogen yang bisa disuplai dari tanaman jenis legum. Akar tanaman jenis legum ini menyimpan unsur hara nitrogen yang dibutuhkan tanaman kopi. “Jadi, antar tanaman antara kopi dan naungannya di satu kebun jangan sampai berebut unsur hara,” ujar Erfan.

Kelompok tani yang dikomandoi Erfan mendapat izin 262 ha,103 ha (40%) pada lahan miring seluruhnya ditanam pohon kayu untuk konsevasi hutan. Dalam 1 Ha, petani harus menanam minimal 400 tanaman kayu untuk menaungi tanaman kopi mereka dengan kombinasi tanaman buah-buahan, tanaman kayu serta modifikasi kebun campuran.
Apa yang dilakukan oleh Erfan ini sesuai dengan konsep yang disampaikan pleh Peneliti Hutan Kemasyarakatan Universitas Lampung, Hari Kaskoyo. Hari menuturkan pada penanaman pohon hutan yang penting adalah stratanya, ada rendah, menengah dan tinggi.
“Minimal tiga lapis, cukup mencegah erosi. Tapi pemilihan komoditas juga penting, unsur hara tidak berebut. Petani masih belum banyak tahu, sehingga peran penyuluhan hutan menjadi penting bagi petani, supaya ekonomi tidak berkurang dan ekologis tetap terjaga.”
Usaha Erfan sebagai salah satu petani penjaga hutan di register 45B tak sia-sia, wajar jika akhirnya ia diganjar penghargaan sebagai tokoh hutan sosial KLHK di tahun 2019.
Hari menuturkan perhutanan sosial menjadi sistem kelola hutan lestari ditujukan untuk masyarakat sekitar hutan agar dapat memperoleh manfaat hutan tersebut. “Bagaimana budaya terpelihara, dan ekonomi warga bisa meningkat,” katanya.
Hutan lestari masyarakat sejahtera
Wahyudi, Kabid Penyuluhan Pemberdayaan Masyarakat dan Usaha Kehutanan, Dinas Kehutanan Propinsi Lampung menerangkan saat ini, Dinas Kehutanan Lampung telah memberikan 214 izin selama Januari-Mei 2020 pada lahan 176.363 hektare dengan 78 ribu Kepala Keluarga yang terlibat.
Ia merinci kerusakan hutan di Lampung mencapai 375.928 hektare yakni 37,42 persen dari total 1.004.735 hektare. Sementara kawasan hutan negara di propinsi Lampung mencapai 28,45 persen dari total luas propinsi Lampung. Dengan memberian izin ini, ia harap praktik illegal loging bisa berkurang.
Wahyudi menuturkan hutan kemasyarakatan memiliki skema yang lebih fleksibel. Masyarakat boleh menerapkan tumpang sari dengan tanaman kehutanan, asalkan mereka tidak menebang pohon kayu tersebut.
“Kami tidak tolerir (kalau menebang),” ujarnya.

Ia menilai, penerapan perhutanan sosial tidak bisa dipaksakan. Secara umum, pemerintah memiliki Peta Indikatif dan Areal Perhutanan Sosial atau PIAPS. Fungsinya untuk mengurangi konflik, menambah kesejahteraan warga, dan mengembalikan fungsi hutan.
“Jadi konsepnya adalah keberlanjutan. Hutan yang terlanjur rusak juga bisa diberi izin. Opsi yang pertama apakah warganya mau keluar dari hutan?”
Jika warga tidak keluar hutan, maka harus mengikuti peraturan hutan sosial. Menurutnya, pemanfaatan perhutanan sosial di Lampung sudah diimplementasikan pada hutan kemasyarakatan, hutan desa, hutan tanaman rakyat, dan kemitraan kehutanan, sementara hutan adat masih belum karena syaratnya cukup berat.
Tujuan jangka panjang perhutanan sosial diantaranya mampu terbangunnya pusat-pusat ekonomi domestik dan pertumbuhan desa sentra produksi hasil hutan berbasis desa yang menyerap tenaga kerja dan mengentaskan kemiskinan. Hal ini seperti yang disampaikan oleh B. Herudojo Tjiptono, Direktur Bina Usaha Perhutanan Sosial dan Hutan Adat KLHK, pada seminar daring Perhutanan sosial dalam pengelolaan Hutan pada Kamis (9/7/2020).
Secara nasional sampai dengan 24 Juni 2020, realisasi capaian perhutanan sosial sejumlah 4.194.689,82 hektare dengan melibatkan 859.809 kepala keluarga dan 6.632 unit SK izin/hak.
Peta Indikatif dan Areal Perhutanan Sosial atau PIAPS menceriminkan alokasi kawasan hutan yang bisa diajukan oleh masyarakat untuk Perhutanan Sosial. Di Lampung, PIAPS mencapai 383.594 ha. Menurutnya, di Lampung, capaian perhutanan sosial mencapai 214.333 ha dari 383.594 ha dengan 325 SK.
“Ini saya pikir ini sangat bagus, dari 383.594 ha sudah 214.333 ha (termanfaatkan), sudah 60%. Jadi peluangnya masih besar di Lampung untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan membantu atau meningkatkan kebutuhan lahan,” ujar Herudojo.
Senada dengan Herudojo, Peneliti perhutanan sosial Universitas Lampung, Hari Kaskoyo Rabu (15/7/2020) menuturkan bahwa hutan sosial memberi anugerah kepada orang lain, yakni berupa sumber air tetap terjaga dan menghindari erosi tanah.
“Hutan sehat memang karunia Tuhan. Tapi kita juga harus tahu kondisi bahwa manusia butuh pasokan oksigen, belum lagi kebakaran menyebabkan polisi udara. Kalau udara sejuk, kan tidak perlu AC lagi,” ujarnya.
Hari membuat disertasi tentang perhutanan sosial di Lampung Barat. Ia mengatakan neraca sumber daya hutan harus ada.
“Petani harus diakui perannya, kalau berhasil ya harus dianggap menjaga hutan,” kata Hari.
Ia meneliti banyak aspek sebelum dan sesudah warga mengikuti hutan kemasyarakatan (HKm) yang terbit pada Journal of Sustainable Forestry pada 2017 dari segi alam, sosial, finansial, manusia dan fisik. Hari menyebutkan setelah HKm, secara umum, rumah yang dibuat dengan dinding dan atap kayu menurun untuk semua kategori kekayaan, sedangkan rumah yang dibuat dengan dinding dan atap bata meningkat. Lalu, kepemilikan sepeda motor dan ponsel juga meningkat setelah petani mengikuti HKm.
Setelah masuk ke program HKm, perubahan yang paling nyata pada kategori modal manusia adalah proporsi rumah tangga yang menerima pelatihan informal, meningkat secara signifikan. Pelatihan informal termasuk layanan pertanian, pertanian kopi, pembuatan hambatan bangunan untuk erosi, agroforestry, pengolahan kopi, sadap karet, dan pertanian karet. Peningkatan pelatihan ini juga meningkatkan kemampuan petani untuk secara efisien memanfaatkan jenis modal lainnya, seperti modal alam, dan meningkatkan produktivitas.
Selain itu, persentase anak yang pergi ke sekolah juga meningkat secara signifikan untuk rumah tangga miskin. Peningkatan dalam persentase anak yang bersekolah juga merupakan hasil dari kesadaran petani bahwa pendidikan dapat meningkatkan penghidupan anak-anak mereka.
Sekarang warga yang sudah mendapat izin pun bisa mendapat keistimewaan, seperti memeroleh prioritas bantuan, layanan BLU, mendapat modal, sasaran penyuluhan, dan sebagainya.
Masalah yang ada saat ini di masyarakat, tutur Hari yakni sejak 2016, kelola hutan beralih dari kabupaten ke propinsi, maka dana yang diterima kesatuan pengelolaan hutan (KPH) dari Rp1 miliar lebih, saat ini hanya menjadi Rp600 jutaan saja. “Pengelolaan hutan juga membutuhkan dana. Bagaimana membuat sistem hutan lestari? Kalau begini, Pemkab mesti melakukan evaluasi juga,” ujarnya.
Izin Menggarap Lahan
Warsito yang saat itu masih menjabat Kepala Dinas Kehutanan Lampung Barat menceritakan tantangan yang dihadapinya kala itu. “Selalu ada kebakaran hutan sampai 3.000 ha, terjadi penebangan liar dan juga perburuan satwa liar,” ujarnya.
Adanya pembentukan kelompok tani sangat membantu Warsito, penyuluh dan LSM dalam menjaga hutan. Meskipun dalam jangka waktu 10 tahun membina, hanya ada 5 kelompok (Bina Wana; Wana Lestari Sejahtera; Setiawan Bakti; Rimba Jaya; dan Rigis Jaya II), yang benar-benar sadar, tapi dengan dibinanya kelompok tersebut tingkat kebakaran hutan tak pernah terjadi lagi, padahal saat itu para petani belum dapat izin menggarap hutan.
Warsito berharap ke depannya 5 kelompok ini terus diberdayakan dan akan muncul kelompok-kelompok lain yang akan menjaga hutan kita semua, sehingga menjaga hutan bukan lagi kewajiban polisi hutan (polhut), tapi kewajiban kita semua. “Hutan lestari dan masyarakat sejahtera akan tercapai melalui perhutanan sosial,” tambah Warsito.
Menurut Warsito bahkan setelah itu, penebangan liar justru dijaga bukan lagi polhut tapi oleh kelompok tani. Tak hanya itu, sebelumnya jika ada satwa liar yang lewat di sekitar hutan maka akan diburu, namun sekarang jika ada satwa liar para petani akan melapor.
“Pak kemarin ada harimau lewat, Pak kemarin ada beruang madu lewat, kesadarannya sudah luar biasa. Begitupun juga kalau ada kebarakan hutan, kalau biasanya kami yang memadamkan ini sudah mereka yang memadamkan kebakaran tersebut,” jelas penerima penghargaan tokoh hutan sosial KLHK 2020.
Perilaku warga sudah berubah180 derajat. Kebarakan hutan nyaris sudah tidak ada, begitu pula penebangan liar dan perburuan satwa liar. “Mereka adalah petani penjaga,” kata Warsito.
Warsito menambahkan, pengelolaan hutan bersama masyarakat ini hasilnya lebih baik dibandingkan dengan hutan taman nasional. “Setelah mantap dengan konsep hutan kemasyarakatan saya menghadap ke pak bupati. Lalu pak bupati bertanya ke saya, Jadi ini nanti mau nebangin hutan?”
“Tidak pak, justrus mereka akan menanam dan tidak akan menebang pohon. Kopinya kan berbuah dan tongkrongan hutannya akan bagus,” jawab Warsito kala itu.
Bupati setuju dan mengizinkan warga mengelola hutan sementara. Izin tersebut membawa angin segar bagi para petani di Pekon Tugusari, Kecamatan Sumber Jaya, Lampung Barat. Setelah mendapatkan izin sementara, 5 tahun selanjutnya mereka mendapatkan evaluasi dan hasilnya bagus maka terbitlah izin pengelolaan hutan selama 35 tahun mulai tahun 2007.
“Saya ini bisanya cuma bertani, tapi lahan pun tidak punya. Jadi dengan izin tersebut saya bisa menghidupi keluarga saya,” kata Lasimin, petani anggota kelompok Mitra Wana Lestari Sejahtera.
Tokoh yang Terlibat
Dalam kelompok tani Mitra Wana Lestari Sejahtera, Lasimin menjadi pengeksekusi lapangan, dalam proses perencanaan ada Sugeng Riyanto (48) dan Ahmad Erfan (56).
Sugeng dan Erfan merupakan konseptor dan motivator dalam kelompok tani tersebut dan kelompok tani yang baru muncul. Ketiganya kini sudah menjadi tenaga fasilitator di Lampung barat. Pada 2006 lalu, kelompok tani ini juga mendapat penghargaan Country Best Forest Management (CBFM) Award dari Kementerian Lingkungan Hidup RI.
Erfan cukup gencar dalam mendampingi petani dikala izin sudah terbit. Tugasnya membantu membuat program kerja para petani. Ia memodifikasi pembelajaran dengan menampung petani. Erfan mengumpulkan petani dan untuk ditanyai kegiatannya apa saja. Setelah petani menyebutkan kegiatannya barulah Erfan yang membuat matriks kerjanya.
Program kebun campuran di dalam kebun kopi pun diluncurkan Erfan untuk diterapkan di petani-petani kopi yang ia kenal. “Berbagi ilmu itu kan gratis, jadi selagi bisa saya akan terus membagikan ilmu saya,” ucap Erfan.
Kini anggota kelompok taninya sudah 103 anggota. Dengan Luas izin lahan 260 ha. Erfan tahu bahwa hal pertama yang dipelajari dari sini adalah hutan bisa dikelola oleh masyarakat dengan catatan tidak merubah fungsinya. Menurutnya, selama tidak merusak, masyarakat bisa diberi akses.
Selain Mitra Wana Lestari Sejahtera ada juga kelompok tani Bina Wana. Mantan Kepala Desa Tri Budi Syukur, Engkos Kosasih selaku ketua kelompok itu menceritakan bagaimana gigihnya perangkat desa mendukung kelompok tani ini.
Pada 1994, warga yang menggarap lahan register diusir oleh pasukan gajah. Pada 1996, Engkos dan rekan-rekan petani mencoba mengkomunikasikan dengan pemda.
“Ekonomi warga saat itu collapse. Bupati datang, melihat bekas garapan warga. Akhirnya Bupati menjamin garapan lahan bagi warga sehingga kami bisa menanam lagi,” ujarnya.
Tapi, ucapan dari bupati saat itu yang membolehkan warga menggarap lahan bukan lantas disambut baik oleh warga. Warga masih trauma akan pengusiran aparat. “Memahamkan masyarakat bukan hal mudah,” ujarnya.
Engkos kemudian gigih meyakinkan warga, untuk kembali menggarap lahan. Kabar baiknya, pada tahun 1999 ada surat keputusan tentang hutan kemasyarakatan (HKm) dari pemerintah pusat.
Engkos kemudian membentuk kelompok serta mendapat izin menggarap lahan register sementara yaitu 5 tahun. Saat masa izin habis pada 2005, petani masih menggantung, apakah boleh menggarap lahan ataukah tidak boleh.
Pada 2007, kelompok tani berkumpul dirumah warga, berpindah-pindah. Engkos dan Erfan berdiskusi untuk membentuk Warem Tahu—Wadah Rembuk Petani Hutan. Perkumpulan ini kemudian membahas agenda apa yang akan dilakukan oleh petani desa.
Kabar baik pun mengumandang. Ada aturan dari pemerintah pusat petani bisa menggarap lahan dengan tambahan izin.
“Di launching di Jogja bahwa petani mendapat izin kelola hutan selama 35 tahun,” katanya, mengenang.
Perangkat desa nyatanya memiliki peran besar dalam mendapatkan perizinan tersebut.
“Setelah mendapat izin HKm, kami menyosialisasikan ke petani lain secara swadaya. Setelah itu ada kelompok (petani) lain mulai tumbuh,” terang Engkos.
Engkos dan petani lainnya kini dapat merasakan manfaat perhutanan sosial. “Sebelum Hkm, tingkat pendidikan disini sampai SMA bisa dihitung jari. Sekarang sarjana sudah banyak,” kata Engkos.
Semua yang dilakukan oleh anggota Warem Tahu demi menjaga hutan dengan konsep hutan kemasyarakatan (HKm) nyatanya memiliki nilai lebih. Para petani bisa berkebun dan dapat hasil serta pemerintah tidak memungut biaya. Di sisi pemerintah, pohon di hutan tidak ditebang, satwa tidak diburu dan tidak ada kebakaran hutan. Bahkan, hadirnya HKm ini bisa mengentaskan kemiskinan warga di sekitar hutan.
Berdasarkan penelitian dari World Agroforestry Centre- ICRAF, dalam publikasinya di jurnal Agrivita 2014, menemukan bahwa konsep Hkm secara ekonomis menguntungkan. Lansekap mosaik dengan kombinasi berbagai sistem tanam kopi, hamparan sawah, dan lajur tanaman/pepohonan di sepanjang bantaran sungai (riparian strips) tidak selalu buruk atau bahkan lebih baik daripada hanya hutan sebagai penyedia fungsi Daerah aliran sungai (DAS) bagi masyarakat. *