DUA guru besar ini menyinkronkan kebutuhan moderasi pendidikan untuk menjawab persoalan yang dihadapi bangsa saat ini. Satu sisi bicara konsep moderasi, di sisi lain strategi menuju perubahan dari moderasi itu. Duduk dalam satu panggung diskusi, Profesor Achmad Asrori dan Sulthan Syahril mendalami moderasi dari berbagai disiplin ilmu yang mereka miliki.
Profesor dari Universitas Islam Negeri (UIN) Raden Intan Lampung itu sengaja diundang mengisi diskusi di Kampus Institut Agama Islam (IAI) Annur, Lampung, Minggu (26/9). Banyak hal baru terungkap dari dua guru besar tersebut. Asrori mengingatkan kaum intelektual muslim di masa silam banyak mewarnai peradaban. Pengaruhnya masih dirasakan saat ini.
Para ilmuwan muslim sekaligus pemimpin masa lalu itu—menginspirasi sehingga visioner dan cerdas dalam mengembangkan keilmuan. Seperti hal moderasi beragama dalam dunia pendidikan. Perguruan tinggi dan sekolah menjadi laboratorium untuk menumbuhkan pola pikir pembaruan.
Akan halnya Profesor Sulthan Syahril. Dia berpendapat agama membawa risalah cinta dan kecerdasan bukan kebencian. Apalagi agama diajarkan seorang guru yang memiliki basis keilmuan, moderat, dan toleran terhadap keberagaman. Dengan begitu, radikalisme dan eksklusivisme yang berkembang bisa dilokalisasi—tidak menjalar ke mana-mana.
Beberapa survei melakukan penelitian terkait radikalisme dalam lembaga pendidikan. Hasil menunjukkan kelompok-kelompok radikal secara masif melakukan penetrasi pandangan radikal di kalangan generasi muda melalui institusi pendidikan. Bahkan, siswa dan mahasiswa kecenderungan bersikap intoleransi dan radikalisme jika tidak dibekali ilmu agama.
Ini pertaruhan ideologi! Buku berjudul Menjaga Benteng Kebhinekaan di Sekolah yang diterbitkan Maarif Institute (2018), melihat ada tiga pintu utama pemahaman radikal dan intoleransi bersosialisasi di lingkungan sekolah. Pintu pertama, kegiatan ekstrakurikuler. Kedua, peran guru dalam sebuah proses belajar mengajar. Ketiga, melalui kebijakan sekolah yang lemah dalam mengontrol masuknya radikalisme di lembaga pendidikan.
Pandangan yang sama disampaikan Profesor Haedar Nashir. Kata Ketua Umum PP Muhammadiyah itu, moderasi menjadi rujukan strategi dalam menghadapi radikalisme. Moderasi Indonesia dan keindonesiaan adalah keniscayaan bagi kepentingan masa depan yang sejalan dengan landasan, jiwa, pikiran, dan cita-cita kemerdekaan. Pancasila adalah jawabannya!
Moderasi saat ini, ujar Haedar, diperlukan sebagai jalan alternatif menuju deradikalisasi yang searah dengan Pancasila sebagai ideologi tengah serta karakter bangsa Indonesia yang moderat. Negeri ini harus dibebaskan dari segala serangan radikalisme, baik liberalisasi dan sekularisasi maupun ortodokasi dalam kehidupan politik, ekonomi, budaya, dan keagamaan.
Sekolah sebagai wadah yang ampuh dan modal kuat. Apalagi bersinerginya Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah mengibarkan kemoderatan, sehingga paham radikalisme tidak akan tumbuh subur di sekolah. Ada kelompok yang menginginkan perubahan sistem politik di Indonesia.
Kelompok inilah yang setia menafikan kemajemukan Indonesia. Gerakan berkeinginan mengubah Indonesia sebagai negara khilafah islamiah atau mengusung NKRI bersyariah. Kelompok itu sudah lupa bahwa nusantara ini dirajut dalam bingkai kehidupan ber-Pancasila dan UUD 1945.
***
Indikator moderasi dalam beragama paling tidak memiliki komitmen yang kuat tentang kebangsaan. Lalu bersikap toleran terhadap sesama, memiliki prinsip menolak tindakan kekerasan, serta menghargai tradisi dan budaya lokal masyarakat negeri ini yang sangat beragam.
Sekali lagi harus dikibarkan di bumi nusantara bahwa moderasi beragama adalah konsepsi yang dapat membangun sikap toleran dan rukun guna memperkuat persatuan dan kesatuan bangsa. Negeri ini harus terus mengampanye moderasi beragama, terutama dalam bidang pendidikan.
Tanpa disadari, dunia digital mengubah semua tatanan kehidupan. Maka itu mentransformasikan moderasi–tidak hanya dalam ruang konvensional. Saatnya masuk ke dunia digital sehingga anak-anak bangsa milenial dan generasi internet akan melek apa maunya moderasi agama.
Ingat! Ciri kehidupan sosial di era industri sudah serbadigital. Ini menjadi catatan penting bagi pendidik dan pemuka agama. Cara anak-anak bangsa mencari sumber ilmu keagamaan sudah bergeser seiring dengan kemajuan teknologi. Dalam telepon pintar, semuanya diselesaikan cepat dan singkat.
Dalam genggaman tangan, kampanye moderasi beragama di era digital—pesatnya arus informasi menjadi peluang sekaligus menjadi tantangan. Pastinya, narasi keagamaan sangat bebas untuk diakses. Bahkan, sering dimanfaatkan untuk menyuburkan konflik serta paham radikalisme.
Di era digital, moderasi beragama harus dibangun secara sistematis, masif, dan terstruktur. Kalangan anak muda dilibatkan secara berkesinambungan. Adalah generasi Y (lahir 1981—1995) dan Z (lahir 1996—2010) mengambil peran saat ini. Merekalah generasi yang akrab dengan internet. Apalagi Z sangat menjanjikan dari sisi sosial, politik, budaya, pendidikan, ekonomi.
Generasi Z sebagai kekuatan terbesar dalam membangun bangsa di masa depan. Generasi ini serba instan. Mampukah mereka membangun moderasi beragama di tengah pengaruh radikalisme? Nilai juang mereka sangatlah rendah, serta lebih bergaya hidup konsumerisme.
Untuk itu, perlu kekuatan yang dahsyat melibatkan generasi Y dan Z untuk membangun narasi moderasi beragama. Ini adalah era mereka. Dalam penelitian pakar Universitas Gadjah Mada (UGM) pada 2019 yang dipimpin Leonard Chrysostomos Epafras, terungkap pengaruh kuat fasilitas digital dengan kehidupan milenial terutama generasi Z.
Saat ini semua orang bisa mengakses apa saja dari sekian banyak tulisan, foto, video, serta grafis di media sosial. Generasi Z adalah kelompok yang strategis mengampanyekan moderasi beragama. Mengapa? Karena mereka memiliki kedekatan dan akrab bermain di ruang sosial seperti Youtube, Instagram, Tiktok, Twitter, Facebook, WhatsApp.
Ribuan akun dan aplikasi diproduksi. Generasi Z memanfaatkan ruang sosial untuk mengeksplorasi pengalaman keagamaan secara personal. Mereka bereksperimen. Ruang digital menjadi arena kontestasi pada eksklusivitas. Saatnya melibatkan mereka untuk menghadang kelompok agama garis keras yang tidak setuju dengan moderasi beragama. ***