Bandar Lampung (Lampost.co)—“Never try, never fly.” Itulah kalimat terakhir yang ditulis Juliana Marins dalam unggahan Instagram-nya. Sebuah kalimat sederhana yang mencerminkan semangat hidupnya: mencoba, terbang, menjelajah dunia. Tapi siapa sangka, itu menjadi pesan terakhirnya dari tanah Indonesia—tempat di mana mimpinya terhenti secara tragis di dasar jurang Gunung Rinjani.
Juliana bukan hanya seorang pendaki. Ia seorang penari pole dance, lulusan Universidade Federal do Rio de Janeiro jurusan periklanan, dan seorang publisis muda yang penuh semangat.
Sejak Februari 2025, perempuan 27 tahun ini telah melintasi Asia Tenggara—menginjakkan kaki di Filipina, Vietnam, Thailand, lalu Indonesia. Setiap langkahnya diabadikan melalui media sosial: pantai-pantai eksotis, senyuman lepas, dan gerakan tarian yang mengalir di ruang terbuka.
Lombok Jadi Petualangan Duka
Sebelum mendaki Rinjani, Juliana sempat menikmati keindahan Bali. Dalam unggahan terakhirnya, ia tampak berdiri di antara hijaunya lembah dan kabut pegunungan, mengenakan jaket tebal dan tatapan tajam ke arah puncak. Tak ada yang tahu bahwa itu adalah detik-detik menjelang tragedi.
Juliana memulai pendakian dari jalur Sembalun bersama lima wisatawan lain dan seorang pemandu. Saat tiba di Cemara Tunggal, ia merasa lelah dan diminta beristirahat. Namun ketika pemandu kembali, ia sudah tidak ada di tempat. Dugaannya ia terpeleset dan jatuh ke jurang pada Sabtu pagi, 21 Juni 2025. Ia tertemukan dalam kondisi tidak bernyawa empat hari kemudian, Selasa, 24 Juni 2025 di kedalaman 600 meter.
Baca Juga: Jenazah Juliana Marins Tiba di Denpasar, Segera Proses Autopsi
Yang memilukan, drone yang dikerahkan menunjukkan Juliana masih hidup sehari sebelum ditemukan. Rekaman itu menampilkan sosoknya terluka tapi sadar, menunggu pertolongan yang tak kunjung datang. Video ini menyebar luas di Brasil dan dunia, menyulut kemarahan serta rasa duka mendalam.
Bagi keluarganya di Niterói, Brasil, Juliana bukan hanya statistik korban jiwa. Ia adalah anak perempuan, sahabat, dan simbol keberanian. Ia mengejar hidup yang tidak biasa, menari di tiang dengan kebanggaan, menantang gunung-gunung dengan keyakinan, dan mencintai dunia dengan tulus.
Dukungan muncul dari banyak pihak, termasuk mantan bintang sepak bola Alexandre Pato, yang dengan sukarela menawarkan membiayai pemulangan jenazah Juliana ke tanah kelahirannya.
Namun lebih dari sekadar bantuan, kepergian Juliana mengajarkan banyak hal tentang pentingnya sistem penyelamatan yang tanggap. Tentang perlunya jaminan keselamatan wisatawan, dan tentang menghormati setiap nyawa yang datang berkunjung sebagai tamu.
Kenangan yang Abadi
Kini, akun Instagram Juliana penuhi ribuan komentar. Bukan hanya dari teman dan keluarga, tapi juga dari orang-orang yang tak mengenalnya—yang merasa tersentuh oleh kisahnya.
Ia memang telah pergi. Tapi langkah-langkahnya, keberaniannya, dan senyumnya akan tetap hidup di antara baris kenangan yang ia tinggalkan. Di kaki Rinjani yang megah, di langit Indonesia yang ia kagumi, nama Juliana Marins akan selalu terpatri sebagai jiwa petualang yang tak pernah takut untuk terbang.