Jawa Timur (Lampost.co) — Budi melirik arlojinya. Waktu sudah menunjukkan pukul 23.34 WIB. Udara dingin menyengat tubuhnya sedari tadi. Ia baru saja terbangun dari tidur singkat yang hanya sejam. Riuh rendah puluhan nelayan dan pedagang Tempat Pelangan Ikan (TPI) Unit Pelaksana Teknis Pelabuhan Perikanan Pantai (UPT PPP) Pondokdadap Sendang Biru, Malang, Jawa Timur pada medio Juli 2022 itu ternyata tak kenal waktu. Lelang yang berlangsung sejak pagi itu terus berlanjut hingga dini hari. Saat itu, musim tuna sedang berlangsung. Tempat pelelangan seluas 25×70 meter persegi itu jadi panggung para nelayan dan pedagang menjala untung dari kebaikan laut dalam.
Budi Ismianto, sang pengawas lelang, harus menyudahi istirahat singkatnya dan kembali bekerja. Juru timbang dan juru nota melincah kembali. Pelelangan kembali dimulai. Pedagang berlomba mengajukan harga tertinggi. Para nelayan semringah menyimak para pedagang yang bersahutan, tak mau kalah. Dalam sehari pada musim tuna, lelang bisa berlangsung sampai 100 kali setiap hari. Lelah dan kantuk diabaikan demi kelancaran lelang. “Ikan tidak bisa menunggu. Bisa rusak. Begitu tiba, langsung lelang,” kisah Budi di Kantor KUD Mina Jaya, Sendangbiru, awal pekan keempat November 2022.
Informasi kedatangan kapal menyebar cepat melalui ponsel para pedagang. Bukan cuma nelayan lokal, niaga di TPI itu juga disemarakkan oleh pendatang dari Sulawesi dan Kalimantan yang turut dalam kemeriahan musim tuna. Pada musim itu, produksi per hari mencapai 300 ton. Jumlah itu disumbang oleh sekitar 150 kapal lokal dan 150 kapal pendatang. Jangkauan tangkapan hingga mendekati perbatasan Australia.
Tuna bigeye dan yellowfin berbobot di atas 20 kg menjadi primadona. Jumlah rerata ikan yang dilelang 11–20 ton per hari, dengan total produksi tuna per tahun mencapai 600 ton. Estimasi perputaran uang tertinggi di hingga Rp20 miliar per hari. Perniagaan di TPI terbaik se-JawaTimur itu sukses menyumbang pendapatan asli daerah (PAD) sebesar Rp4 miliar pada 2021, dan Rp4.008.000.000 periode Januari hingga triwulan ketiga tahun ini. Tren peningkatan PAD itu baru terjadi sejak dua tahun terakhir. Sementara pada 2019–2021 sumbangan retribusi TPI ke pemerintah daerah berkisar Rp1,7 miliar.
“Ini momen kebangkitan ekonomi nelayan. Meski pada tahun ini cuaca ekstrem sering terjadi, nelayan menyiasatinya dengan mengakses informasi arus laut dan cuaca jadi tetap bisa melaut di titik tertentu,” ujarnya. Sekretaris KUD Mina Jaya itu mengungkapkan ikan tuna dari TPI itu punya kualitas terbaik dan didistribusikan ke Bali dan Jakarta. Selain konsumsi dalam negeri, pabrik besar juga mengekspor tuna ke berbagai negara dengan dokumen asal ikan lengkap dari pelabuhan.
KUD Mina Jaya juga menjadi penyokong kebutuhan modal 147 orang anggotanya. Dengan simpan pinjam hingga Rp25 juta, nelayan sangat terbantu dalam mengembangkan peralatan dan operasional. “Ekosistem nelayan di sini amat baik, hingga menjadi daerah rujukan studi banding nasional. Di sini juga ada Stasiun Pengisian Bahan Bakar Nelayan. Jadi, kami mudah mendapatkan bahan bakar,” ujarnya.
Selain nelayan dan pedagang, masyarakat daerah juga ketiban durian runtuh. Tingginya aktivitas lelang menghidupkan denyut ekonomi warga sektor produk olahan seperti abon tuna dan ikan asap. Ditambah lagi, para nelayan pendatang yang menyewa rumah penduduk selama musim tuna berlangsung. “Wisatawan pantai Malang Selatan juga biasanya berburu ikan segar ke sini,” kata Budi.
Kepala Pelabuhan Perikanan Pondokdadap Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Malang, Mufid Supriyanto mengatakan daerah tersebut menjadi eskportir tuna ke pasar Eropa. Ia memerinci volume produksi sentra industry perikanan di Selatan Jawa Timur pada 2021 sebanyak 11.251.430 kg dengan nilai produksi Rp180.945.107.720. Sementara Januari–November 2022 sebesar 10.599.772 kg senilai Rp226.801.296.100. “Selain besarnya produksi, keberadaan pasar ikan higienis yang menjadi sentra penjualan ikan segar turut mendongkrak pertumbuhan ekonomi daerah,” ujarnya.
Ubah Laku
Semarak kampung nelayan Sendangbiru turut terbentuk dalam akulturasi budaya tangkap ikan dari nelayan Sinjai. Bermula pada 1995, nelayan SInjai berdatangan ke daerah itu. Kedatangan mereka dengan ikan berkualitas tinggi, amat kontras dengan hasil tangkapan nelayan local yang hanya mampu mendapatkan ikan bernilai ekonomi sedang.
“Dalam waktu dua hari kami dapat tangkapan dalam jumlah besar. Sementara nelayan local berlayar hingga lima hari dengan tangkapan yang lebih sedikit. Alhasil, kami disangka pakai ilmu hitam karena bisa dapat ikan yang lebih bernilai itu,” tutur salah satu nelayan Sinjai yang telah bermukim di Sendangbiru, Yusuf. Konflik social tak terelakkan pada masa itu.
Berkat mediasi sejumlah tokoh, konflik mereda. Nelayan local dan pendatang mulai berkomunikasi dengan hangat. Bahkan, terjadi pertukaran ilmu tangkap. Nelayan local yang tadinya menggunakan alat tangkap yang tidak ramah lingkungan mulai tercerahkan untuk memakai rumpon yang lebih aman bagi ekosistem laut. Transfer ilmu juga meliputi teknik tangkap hingga perlakuan di atas kapal.
Deni Zulniyadi