Bandar Lampung (Lampost.co) — Penggemar film perang pasti selalu menantikan aksi epik terbaru. Deretan film perang terbaru ini beragam latar – dari perang dunia yang heroik hingga konflik modern futuristik. Apa saja judul-judul terpanas ini?
Poin Penting:
- Perang modern hingga sejarah epik dalam satu daftar wajib.
- Aksi heroik, strategi militer, dan drama penuh emosi.
- Film-film terbaru dengan sudut pandang unik dan menegangkan.
Simak ulasan interaktif berikut, lengkap dengan sinopsis singkat, review kritikus, rating IMDb/Rotten Tomatoes/Metacritic, serta bagaimana respon penontonnya. Siapkan diri Anda untuk dibawa ke medan pertempuran yang menegangkan dan mengharukan!
Baca juga: 10 Film Perang Terbaik Berdasarkan Kisah Nyata: Heroik, Tragis, dan Menginspirasi
1. Civil War (2024) – Dystopia Perang Saudara Futuristik di Amerika
Civil War merupakan film perang dystopia garapan Alex Garland yang membawa imajinasi kita ke Amerika Serikat di masa depan yang dilanda perang saudara. Kisahnya mengikuti sekelompok jurnalis perang yang melakukan perjalanan berbahaya dari New York ke Washington D.C. untuk mewawancarai sang presiden. Sementara pasukan pemberontak semakin mendekat ke ibu kota.
Dibintangi Kirsten Dunst sebagai fotografer veteran yang tangguh, film ini menyuguhkan ketegangan perang saudara modern dengan sentuhan thriller yang mencekam. Penonton diajak merasakan kekacauan dan ketidakpastian hidup di tengah negara yang terpecah-belah oleh konflik internal.
Film ini mendapat sambutan sangat positif dari kritikus. Rotten Tomatoes mencatat 81% ulasan kritikus positif dengan rating rata-rata 7.6/10. Konsensus kritikus menyebut Civil War sebagai tontonan yang “keras dan mengguncang, namun menggigit”, menyoroti ketidakpastian hidup di negara krisis dengan cara yang intens.
Skor Metacritic-nya 75/100 yang menandakan ulasan “umumnya bagus”. Di sisi lain, penonton juga cukup terkesan meski tidak seantusias kritikus – skor audiens Rotten Tomatoes sekitar 69%. Rating IMDb berada di kisaran 7,2/10, menunjukkan mayoritas penonton menikmati aksi menegangkan dan pesan film ini.
Banyak yang memuji keberanian film ini mengangkat tema sensitif perang saudara dengan gaya yang realistis dan menegangkan. Meskipun demikian beberapa penonton merasa temponya yang kelam membuat film ini cukup berat secara emosional.
2. Land of Bad (2024) – Misi Militer Gagal di Filipina yang Penuh Aksi
Di posisi berikutnya ada Land of Bad, film perang aksi-thriller modern. Bintang dalam film ini adalah Liam Hemsworth dan Russell Crowe. Ceritanya berfokus pada misi operasi militer di hutan Filipina yang berujung bencana. Hemsworth berperan sebagai operator drone AU yang memberikan dukungan udara bagi tim pasukan elite Delta Force dalam misi penyelamatan sandera CIA.
Misi itu berantakan akibat serangan kelompok pemberontak Abu Sayyaf. Satu-satunya anggota tim yang tersisa, Hemsworth, harus bertahan hidup di hutan. Selama 48 jam penuh neraka, ia hanya mengandalkan panduan drone dari kejauhan.
Sepanjang film, penonton mendapat suguhan adegan tembak-menembak, serangan drone, dan upaya survival. Aksi mendebarkan itu terjadi ketika upaya evakuasi sang prajurit. Bagi pencinta aksi militer modern, Land of Bad menyajikan ketegangan ala Black Hawk Down dengan sentuhan teknologi drone masa kini.
Dari segi ulasan, film ini mendapat respon yang cukup hangat. Rotten Tomatoes memberi skor 67% untuk Land of Bad. Dengan konsensus kritikus bahwa film ini menampilkan adegan laga seru dan jajaran aktor kuat, namun masih terjebak formula genre yang klise. Nilai rata-rata kritik di RT sekitar 6,1/10, menunjukkan kualitas yang lumayan.
Metacritic memberi skor 57/100 (kategori review campuran). Beberapa kritikus memuji adegan aksi dan niat film ini mengangkat isu realisme peperangan modern, tetapi mengkritik dialog dan efek visualnya yang dianggap kurang digarap maksimal.
Di pihak penonton, rating IMDb sekitar 5,5–6/10, yang menandakan respon penonton terpecah. Fans aksi militer menikmati adu tembak dan tensi tinggi film ini, sementara sebagian penonton lain merasa ceritanya generik. Menariknya, ada yang berpendapat film ini lebih bagus daripada skor 67% RT-nya dan menganggapnya thriller militer yang seru.
Secara keseluruhan, Land of Bad tetap layak Anda tonton untuk hiburan aksi perang modern. Asal Anda tidak keberatan dengan plot yang sederhana.
3. The Ministry of Ungentlemanly Warfare (2024) – Aksi Perang Dunia II Gaya Guy Ritchie
Sutradara Guy Ritchie menyuguhkan film perang bertema perang rahasia lewat The Ministry of Ungentlemanly Warfare. Film ini berdasarkan kisah nyata pada era Perang Dunia II yang menceritakan pembentukan unit komando rahasia Inggris. Unit ini melakukan operasi “tidak kesatria” (ungentlemanly) melawan Nazi.
Henry Cavill tampil karismatik sebagai pemimpin tim komando tersebut. Mendampinginya, yaitu Eiza González, Alan Ritchson, hingga Hero Fiennes Tiffin sebagai para agen khusus. Film ini mengak penonton mengikuti misi berbahaya penuh penyamaran, ledakan, dan baku tembak seru di belakang garis musuh Nazi.
Gaya khas Ritchie terasa kental: dialog cepat nan jenaka, aksi laga bergaya, serta adegan spektakuler yang menghibur. Film ini pada dasarnya adalah perpaduan film mata-mata dan perang yang menyenangkan, dengan bumbu humor Inggris dan aksi heroik.
Ulasan kritikus terhadap The Ministry of Ungentlemanly Warfare cenderung campuran namun cenderung positif. Rotten Tomatoes mencatat skor 68% (hampir segar) dengan rata-rata rating 6,1/10. Konsensus menyebut film ini mengemas kisah nyata penuh keberanian menjadi aksi blockbuster yang seru, penuh spectacle meski tidak terlalu tegang.
Skor Metacritic-nya 55/100 yang menunjukkan review “rata-rata” dari kritikus. Menariknya, respon penonton jauh lebih antusias: CinemaScore film ini adalah “A–” (hampir sempurna) dan survei PostTrak memberi 88% skor positif.
Artinya, penonton bioskop sangat terhibur dengan aksi dan humor film ini, meskipun para kritikus merasa filmnya dangkal dari sisi suspense. Banyak yang memuji aksi tim komando dan pesona Henry Cavill sebagai jagoan perang, membuat film ini asyik ditonton. Secara keseluruhan, film perang terbaru ala Ritchie ini sukses sebagai hiburan laga: kritikus mungkin memberikan catatan, tetapi penonton umum bersorak puas.
4. One Life (2024) – Drama Perang Menyentuh tentang Penyelamatan Anak di Era Nazi
Beranjak ke genre drama perang biografis, One Life menampilkan kisah nyata Nicholas Winton. Cerita pahlawan yang berjasa menyelamatkan ratusan anak Yahudi dari Holocaust menjelang Perang Dunia II. Sir Anthony Hopkins memerankan Nicholas Winton di usia tua. Menemaninya, Johnny Flynn yang memerankannya saat muda.
Film berlatar akhir 1930-an ini memperlihatkan bagaimana Winton, seorang pialang saham Inggris. Ia menghentikan kariernya demi misi kemanusiaan berbahaya. Yaitu mengevakuasi anak-anak Yahudi dari Cekoslovakia yang terancam Nazi, melalui serangkaian kereta penyelamat menuju Inggris.
One Life menghadirkan emosi haru dan ketegangan tanpa perlu adegan pertempuran – perang digambarkan melalui ancaman yang menghantui di latar belakang. Sementara fokus pada keberanian, kemanusiaan, dan pengorbanan satu orang biasa yang membuat perbedaan besar. Dengan dukungan aktris hebat seperti Helena Bonham Carter dan Jonathan Pryce, film ini menjadi sajian inspiratif di tengah kelamnya bayang-bayang perang.
Para kritikus sangat memuji One Life. Film ini meraih status Certified Fresh dengan skor 90% di Rotten Tomatoes. Konsensusnya menyebut bahwa berkat akting brilian para pemain, One Life sukses memberikan tribut yang menghangatkan hati pada upaya kemanusiaan yang luar biasa.
Hopkins dan kawan-kawan mendapat pujuan karena mampu mengangkat kisah bersejarah ini menjadi tontonan emosional yang menggetarkan. Metacritic mencatat skor sekitar 69/100 – indikasi ulasan umumnya positif. Penonton pun menyambut baik; IMDb rating sekitar 7,5/10 menunjukkan banyak yang tergerak hatinya oleh film ini.
Penerimaan penonton sangat hangat. Banyak yang meneteskan air mata haru melihat perjuangan Winton menyelamatkan 669 anak dari kejaran Nazi. Kritikus memuji bahwa film ini “ditopang penampilan cemerlang para pemeran dan berhasil menghantarkan tribute menggugah untuk upaya kemanusiaan yang luar biasa”.
Singkatnya, One Life adalah film perang berbalut drama kemanusiaan yang menyentuh dan inspiratif. Film ini wajib Anda tonton untuk memahami sisi lain heroisme di masa perang.
5. Escape from Germany (2024) – Kisah Nyata Pelarian 79 Misionaris di Awal Perang Dunia II
Berikutnya, Escape from Germany menawarkan kisah perang dunia II dari sudut pandang tak terduga. Sekelompok misionaris muda yang terjebak di Jerman Nazi pada tahun 1939. Berdasarkan peristiwa nyata, film ini menceritakan 79 misionaris Amerika (mayoritas Mormon) yang harus melarikan diri dari Jerman tepat saat pecahnya Perang Dunia II.
Ketika Hitler mulai menutup perbatasan, para misionaris ini – sebagian besar masih berusia belasan hingga 20-an – berpacu dengan waktu menyeberangi perbatasan. Mereka hendak menuju negara tetangga demi menyelamatkan diri.
Escape from Germany menyoroti serangkaian keajaiban dan keberuntungan yang membantu pelarian mereka, dari kereta yang tertunda hingga penjaga perbatasan yang lengah. Film ini sarat dengan nilai iman dan keteguhan hati. Memperlihatkan bagaimana keyakinan dan persaudaraan membantu mereka melewati situasi genting tanpa harus mengangkat senjata. Sutradara T.C. Christensen menyajikan film perang yang unik: tanpa adegan pertempuran brutal, namun tetap menegangkan melalui drama pelarian dan sisi spiritual yang kental.
Meski bukan blockbuster besar, film ini mendapat perhatian khusus di komunitas tertentu dan tanggapan penonton yang sangat positif. Menariknya, skor audiens di Rotten Tomatoes mencapai 93% – tanda bahwa para penonton (terutama dari komunitas religious/historis terkait) sangat mengapresiasi film ini.
Ulasan Terbagi
Banyak yang terinspirasi oleh kisah nyata keberanian dan mukjizat dalam cerita. Namun, secara umum ulasan kritikus cukup terbagi. Kritikus arus utama tidak banyak mengulas film ini. Metacritic bahkan belum mengeluarkan skor resmi (hanya sekitar 51-60 prediksi “mixed”). Ada kritikus yang memuji Escape from Germany sebagai sajian keluarga yang uplifting meski berlatar perang. Ttapi ada juga yang menilai film ini terlalu “menggurui” dengan pesan religius yang sangat tebal.
Sebagai contoh, Common Sense Media memberi review positif bahwa film ini menginspirasi tanpa perlu kekerasan perang. Sedangkan The Movie Cricket mengkritik penulisan naskahnya. Karena mengangap terlalu seperti pelajaran Sekolah Minggu.
Di IMDb, ratingnya sekitar 5,4/10 – cukup rendah, mungkin karena penonton umum kurang terhubung dengan gaya penyampaian film yang bernuansa religius. Meski demikian, penerimaan penonton sasaran sangat hangat. Terbukti dengan sejumlah penghargaan komunitas yang film ini terima. Jika Anda mencari film berlatar perang yang aman ditonton keluarga dan sarat pesan iman, Escape from Germany bisa jadi pilihan menarik.
6. Murder Company (2024) – Aksi Perang Dunia II “Misi Bunuh Diri” di Balik D-Day
Murder Company menghadirkan lagi aroma Perang Dunia II, namun dengan pendekatan bak film komando rahasia. Berlatar invasi D-Day 1944, film ini berkisah tentang sekelompok prajurit Amerika yang mendapat misi rahasia. Yaitu menyusup jauh ke belakang garis Nazi untuk mengantarkan seorang anggota perlawanan Prancis. Tujuan untuk menghabisi target tinggi Nazi menjelang puncak invasi.
Pemeran dalam film ini adalah William Moseley, Pooch Hall, Gilles Marini, dan Kelsey Grammer (dalam peran atasan militer). Nama-nama yang mungkin tak lazim di genre film perang, namun hadir menambah warna tersendiri. Adegan-adegan pertempuran kecil di hutan Eropa, pergerakan diam-diam di desa musuh, serta ketegangan tiap kali para tentara ini nyaris ketahuan, memberi nuansa thriller perang yang berbeda. Murder Company menjual dirinya sebagai “cerita nyata yang belum pernah diceritakan” tentang misi khusus di hari-H.
Ada intrik dan aksi, namun juga drama persahabatan dan pengkhianatan di tengah misi bunuh diri tersebut. Sayangnya, banyak pihak menilai eksekusi film ini kurang memuaskan. Rating IMDb-nya sangat rendah, sekitar 3,6/10. Ini menandakan mayoritas penonton kecewa dengan film ini.
Ulasan Negatif
Rotten Tomatoes mencatat skor kritikus sekitar 30–40% (data terbatas), menunjukkan lebih banyak ulasan negatif. Salah satu review menyebut Murder Company “menyia-nyiakan potensi ceritanya”, dengan kritik pada karakter yang datar dan produksi yang terasa murah.
Beberapa kritikus mencatat bahwa adegan pertempuran terkesan berulang dan dialognya tidak memorable. Bahkan efek visual seperti tembakan dan darah dianggap lemah sehingga mengganggu pengalaman menonton. Meski idenya menarik (misi rahasia di tengah D-Day), film ini disebut “rata-rata saja” dan gagal memberikan emosi mendalam – penonton sulit peduli pada tokoh-tokohnya.
Rotten Tomatoes memberi skor sekitar 67% (berdasarkan sedikit review, mungkin 2/3 kritikus suka). Namun skor audiens RT jauh lebih rendah di kisaran 28%. Singkatnya, Murder Company kurang berhasil mengesankan. Kelebihannya mungkin ada di beberapa laga tembak-menembak dan fakta menarik dari sejarah. Tapi kekurangannya cukup banyak. Bagi yang benar-benar penggemar film perang terbaru dan ingin menonton semua rilisan bertema WWII, silakan coba; namun, sebaiknya turunkan ekspektasi.
7. Hounds of War (2024) – Dendam Mematikan Sang Tentara Bayaran
Beralih ke setting modern, Hounds of War adalah film perang/aksi tentang tim tentara bayaran elit yang beroperasi di Timur Tengah. Sederet bintang dalam film ini adalah Frank Grillo dan Robert Patrick. Cerita berawal ketika sebuah misi mereka gagal total dan hanya satu anggota tim yang selamat. Grillo berperan sebagai prajurit tangguh yang kehilangan rekan-rekannya. Ia kemudian bersumpah membalas dendam atas kematian “saudara-saudaranya”.
Alur film mengikuti aksinya menelusuri konspirasi, menghadapi pengkhianatan, dan menghabisi musuh satu per satu. Dengan koreografi laga khas sutradara Isaac Florentine, Hounds of War menyajikan banyak adegan baku tembak, pertarungan tangan kosong, dan ledakan. Dari judulnya yang garang, kita mungkin berharap film ini penuh adrenalin ala John Wick versi militer.
Namun kenyataannya, Hounds of War justru mendapat cap membosankan dari sejumlah kritikus. Seorang kritikus di Jakarta Globe bahkan menyebut film ini “total snoozefest”. Merasa tertipu oleh judulnya yang seolah menjanjikan aksi nonstop padahal eksekusinya datar. Kritik tertuju pada kurangnya pembangunan cerita dan karakter yang membuat penonton peduli. Banyak adegan laga dinilai gagal memicu semangat karena editing-nya aneh. Beberapa adegan perkelahian malah di-fast-forward sehingga kehilangan greget.
Zona Merah
Rotten Tomatoes belum mengeluarkan skor resmi (terlalu sedikit ulasan kritikus). Tapi indikasi awal sangat mungkin di zona merah. IMDb mencatat rating sekitar 4,5/10, pertanda penerimaan penonton pun lemah. Meski begitu, ada juga penggemar action kelas B yang masih menikmati film ini berkat aksi khas Florentine (sutradara yang dikenal lewat film laga low-budget). Mereka menganggap Hounds of War masih “lumayan” bagi yang suka aksi balas dendam sederhana.
Secara keseluruhan, film ini tidak memenuhi harapan banyak orang. Kecuali Anda penggemar berat Frank Grillo atau ingin melihat semua film bertema militer. Hounds of War mungkin bukan prioritas utama dalam daftar tontonan Anda.
8. Blitz (2024) – Drama Perang Steve McQueen tentang Kehidupan di Tengah Bom London
Sutradara pemenang Oscar Steve McQueen (12 Years a Slave) kembali dengan Blitz. Sebuah film perang yang lebih berfokus pada drama kemanusiaan ketimbang aksi militer. Blitz mengajak kita ke London pada masa Perang Dunia II, tepatnya saat pemboman besar-besaran Jerman (Blitz) tahun 1940. Uniknya, alih-alih hanya menyorot prajurit atau pertempuran, film ini bercerita melalui sudut pandang warga sipil. Ada seorang ibu muda (Saoirse Ronan) dan seorang bocah 9 tahun (Elliott Heffernan) yang harus bertahan hidup dan menjaga harapan di tengah kota yang porak-poranda.
McQueen menghadirkan gambaran kehidupan sehari-hari di bawah ancaman bom. Dari berlindung di bunker, kehilangan orang tercinta, hingga solidaritas sesama warga. Dengan sinematografi elegan dan musik garapan Hans Zimmer, Blitz menawarkan pengalaman yang visualnya indah namun emosinya pilu tentang keberanian sipil. Jangan harapkan adegan pertempuran sengit; film ini lebih pada survival dan kemanusiaan di masa perang.
Apresiasi Tinggi
Blitz mendapat apresiasi tinggi dari kritikus. Rotten Tomatoes memberikan skor sekitar 81% dengan pujian pada pendekatan film ini yang menghadirkan kisah bertahan hidup penuh hati. Critics consensus memuji penampilan Saoirse Ronan dan Elliott Heffernan yang disebut memberikan “denyut jantung” pada potret masyarakat Inggris di masa perang.
Metacritic juga menunjukkan skor 71/100 (umumnya favorable). Para kritikus senang bahwa Steve McQueen berani mengambil sudut pandang berbeda – perang melalui mata anak-anak dan wanita – menjadikan film ini segar dan mendalam. Beberapa ulasan menyebut film ini mengharukan dan “merayakan ketangguhan manusia” di tengah horor perang. Meski begitu, ada sedikit catatan bahwa narasi film terbilang episodik dan tidak semua karakter digali dalam, sehingga kedalaman dramatis kadang naik-turun.
Bagaimana dengan penonton? Blitz rilis terbatas di bioskop Inggris lalu tayang di Apple TV+, dan respon penonton cukup positif. Banyak penonton memuji visualnya yang autentik membawa mereka serasa “menyaksikan langsung London era 1940”. Mereka merasa tersentuh oleh cerita para tokohnya.
IMDb rating saat ini sekitar 7/10, menandakan apresiasi yang solid. Bagi penggemar film perang yang lebih “berpikir” dan dramatis, Blitz adalah sajian wajib. Film perang terbaru ini membuktikan bahwa perang tidak hanya tentang peluru dan tank, tetapi juga tentang manusia dan hati nurani.
9. The Six Triple Eight (2024) – Kisah Batalyon Wanita Kulit Hitam dalam Misi Pos Perang Dunia II
The Six Triple Eight menjadi sorotan sebagai film perang terbaru karya Tyler Perry. Film ini mengangkat kisah nyata batalyon perempuan Afrika-Amerika satu-satunya yang bertugas di luar negeri pada Perang Dunia II. Terkenal dengan julukan “6888” (Six Triple Eight), batalyon ini terdiri dari 855 wanita kulit hitam dari Korps Wanita Angkatan Darat (WAC). Mereka mendapat tugas ke Eropa pada 1945 untuk menangani tumpukan surat pos yang menunda bagi tentara Sekutu.
Kerry Washington memimpin ensemble cast sebagai Mayor Charity Adams, komandan batalyon tersebut, wanita tangguh yang memecah banyak batasan kala itu. Film ini memperlihatkan perjuangan mereka menghadapi rasisme dan seksisme di tengah militer. Sekaligus tekad dan disiplin mereka menjalankan tugas “sepele tapi vital”. Yaitu mengantarkan surat dan paket kepada prajurit di garis depan demi menjaga moral tentara.
The Six Triple Eight menawarkan perspektif unik bahwa kontribusi dalam perang bukan hanya melalui senjata. Tetapi juga lewat pelayanan dan semangat pantang menyerah. Ada adegan pelatihan militer, ketegangan menghadapi ancaman bom U-Boat saat berlayar. Hingga momen mengharukan ketika para prajurit wanita ini berhasil memulihkan aliran surat dan mendapat penghargaan.
Respon Beragam
Film ini mendapat respon beragam. Para kritikus memberikan ulasan campuran – Rotten Tomatoes mencatat 56% ulasan positif saja. Dengan konsensus bahwa meskipun ceritanya penting dan Kerry Washington tampil kuat, film ini terlalu berbumbu melodrama manis sehingga pesan heroiknya kurang menggigit.
Nilai rata-rata kritikus hanya 5,4/10, dan Metacritic pun memberi skor 51/100 (indikasi “mixed”). Beberapa kritikus seperti di Guardian memberi rating 2/5. Juga mengatakan para wanita hebat ini “layak mendapat film yang lebih baik” dan mengkritik nada film yang mereka anggap kaku dan basi.
Namun sebaliknya, Variety dan Hollywood Reporter justru memuji film ini. Mereka menyebutnya karya terbaik Tyler Perry hingga saat ini. Terutama berkat performa para pemain (Kerry Washington dan Ebony Obsidian mencuri perhatian).
Bagaimana tanggapan penonton? Menariknya, The Six Triple Eight sangat mendapat apresiasi di kalangan penonton kulit hitam dan komunitas sejarah. Film ini menyabet Penghargaan NAACP Image untuk Outstanding Motion Picture dan beberapa penghargaan ensemble lainnya.
Skor audiens di Rotten Tomatoes berkisar 70-77%, menandakan penonton umum cenderung suka ketimbang kritikus. Banyak yang terinspirasi oleh kisah yang sebelumnya jarang diketahui ini. Juga tersentuh dengan penghormatan terhadap para pahlawan wanita terlupakan.
IMDb rating berada sekitar 6,4/10, cukup lumayan. Secara keseluruhan, The Six Triple Eight adalah film yang mengangkat sejarah penting dengan cara yang mungkin agak konvensional dan sentimental. Tapi tetap layak Anda tonton terutama untuk memperluas wawasan tentang kontribusi perempuan Afrika-Amerika dalam perang. Kisah mereka akhirnya terdengar dan terkenang. Dan itu sendiri sudah merupakan kemenangan.
10. Dirty Angels (2024) – Tim Pasukan Wanita dalam Misi Penyelamatan di Afghanistan
Terakhir dalam daftar film perang terbaru kita adalah Dirty Angels, sebuah thriller perang modern yang disutradarai oleh Martin Campbell (sutradara Casino Royale). Mengambil latar Afghanistan tahun 2021, tepat saat penarikan mundur pasukan AS, film ini bercerita tentang tim pasukan komando wanita yang menyamar sebagai petugas medis.
Tim ini menjalankan misi penyelamatan berani. Pembentukan tim khusus beranggotakan wanita tangguh ini secara diam-diam, ketika para teroris Taliban menculik sekelompok siswi, termasuk putri Duta Besar AS, dan meminta tebusan.
Eva Green berperan sebagai pemimpin tim mendapat julukan “Jake”. Ia mengajak serta karakter dengan keahlian masing-masing. Yaitu penembak jitu (Ruby Rose), ahli bahan peledak, mekanik, hacker, dll. Misi mereka penuh rintangan. Harus melewati perbatasan, mengakali informan musuh, hingga baku tembak jarak dekat melawan militan. Dirty Angels pada dasarnya mencoba menghadirkan “Expendables versi perempuan” dalam setting perang Afghanistan terbaru, lengkap dengan aksi heroik, sisterhood, dan ketegangan penyelamatan sandera.
Kritik Pedas
Sayangnya, Dirty Angels gagal memenuhi ekspektasi. Baik kritikus maupun penonton melayangkan banyak kritik pedas. Rotten Tomatoes memberikan skor hanya sekitar 30% untuk film ini, dan bahkan skor audiens RT lebih rendah (~28%), pertanda kekecewaan di kedua kubu. Kritikus menyoroti bahwa meskipun premisnya menjanjikan (girl-power di medan perang), eksekusinya klise dan naskahnya lemah. Tidak ada konsensus resmi kritikus (terlalu sedikit review), tapi beberapa komentar menyebut Dirty Angels “punya semua bahan keren tapi hasilnya hambar”.
Sutradara Martin Campbell yang biasa ahli di genre action justru mendapat anggapan kurang berhasil di sini. Adegan laga, generik dan kurang menegangkan, serta karakter-karakter wanitanya tipis sehingga penonton sulit peduli.
Rating IMDb hanya sekitar 4,1/10, menegaskan penerimaan penonton yang buruk. Banyak penonton mengeluhkan plot yang tertebak dan dialog yang cheesy. Sebagian lagi kecewa karena film ini terkesan mencoba memanfaatkan isu aktual (kekacauan pasca-penarikan Afghanistan). Namun tanpa riset mendalam, sehingga terasa kurang meyakinkan. Sisi positifnya, ada penonton yang tetap terhibur oleh aksi Eva Green dan timnya sebagai hiburan aksi ringan – namun jumlahnya tak banyak.
Singkat kata, Dirty Angels menjadi contoh bahwa deretan bintang dan sutradara besar belum tentu menjamin kualitas. Bagi yang penasaran, tontonlah dengan ekspektasi rendah semata untuk aksi perempuan bersenjata. Tetapi bila mencari film perang berkualitas, judul-judul lain di daftar ini lebih layak Anda dahulukan.
Kesimpulan
Itulah 10 film perang terbaru yang patut masuk radar Anda. Dari dystopia futuristik hingga drama sejarah yang mengharukan, masing-masing film menawarkan perspektif berbeda tentang perang dan keberanian. Beberapa di antaranya menuai pujian tinggi. Sementara yang lain memicu perdebatan – namun semuanya menambah warna genre film perang di periode terbaru ini.
Semoga ulasan di atas membantu Anda memilih tontonan epik berikutnya. Selamat menonton, dan siapkan diri untuk larut dalam kisah-kisah heroik penuh laga dan emosi!