Jakarta (Lampost.co) – Film A Normal Woman karya Lucky Kuswandi mengangkat dinamika keluarga perempuan kelas menengah atas dalam balutan drama psikologis gotik. Cerita berfokus pada Milla, diperankan Marissa Anita, seorang perempuan yang tampak normal tapi hidup dalam tekanan keluarga.
Poin Penting
- Film A Normal Woman garapan Lucky Kuswandi.
- Cerita fokus pada tekanan dalam keluarga perempuan kelas menengah atas.
- Penulis tegaskan semua karakter menyimpan luka dan tekanan.
- Film menolak konsep hitam-putih dalam karakterisasi.
- Tampilkan perempuan sebagai korban dan pelaku dalam struktur sosial menekan.
Visual film ini tampak megah, namun di baliknya tersimpan konflik batin para karakter, terutama perempuan dengan luka masa lalu. Salah satu karakter paling menarik adalah Erika, diperankan Gisella Anastasia, yang tampak keras dan seperti antagonis.
Baca juga: A Normal Woman, Angkat Isu Psikologis Perempuan Masa Kini
Namun, film ini tidak menyederhanakan peran Erika sebagai penjahat. Ia justru hadir dengan luka yang dalam dan manusiawi.
Gisel, sang pemeran Erika, menyebut karakter ini rumit, sehingga butuh pendekatan khusus untuk bisa memahaminya. “Erika punya alasan dan latar belakang. Aku tidak membenarkan, tapi aku mengerti,” ucap Gisel pasca konferensi pers.
Menurutnya, pengalaman pribadi membantunya memahami Erika, sosok yang terlihat kuat namun menyimpan luka batin tak terlihat.
Penulis naskah Andri Cung menegaskan, tidak ada tokoh jahat dalam A Normal Woman. Semua karakter berjuang dengan tuntutan hidup. Mulai dari Milla, Jonathan, Angel, hingga Erika dan Liliana, semuanya hadir sebagai manusia dengan beban sosial yang berat.
Erika menjadi potret perempuan “berhasil” secara sosial, namun penuh luka yang tak pernah disembuhkan dengan utuh. Tampaknya keras dan dominan, namun sebenarnya hanya bertahan dari kerasnya ekspektasi lingkungan dan keluarga.
Film ini menunjukkan bahwa perempuan bisa menjadi pelaku kekerasan emosional karena tekanan, bukan sekadar karena jahat. Dengan pendekatan simbolik dan visual dingin, Lucky Kuswandi menggambarkan keretakan keluarga elit Gunawan secara elegan.
A Normal Woman tidak menawarkan jawaban, namun mengajak penonton memahami kompleksitas emosi tanpa menghakimi siapa pun.