Jakarta (Lampost.co) – Pengepungan di Bukit Duri, film baru garapan Joko Anwar, langsung menuai kontroversi sejak penayangan perdana. Film ini menampilkan Morgan Oey, Omara Esteghlal, Hana Pitrashata Malasan, Endy Arfian, serta Fatih Unru.
Poin Penting
- Film: Pengepungan di Bukit Duri karya Joko Anwar menuai kontroversi.
- Kritik Warganet: Menilai film memfetisiasi kekerasan tanpa mengkritik negara atau elite berkuasa.
- Respons Joko Anwar: Mengatakan filmnya adalah bentuk kritik terhadap pembiaran struktural negara.
Namun, alih-alih dipuji, film ini justru dikritik keras terkait representasi isu sosial dan politiknya. Banyak warganet mengungkapkan kekecewaan lewat media sosial, terutama di platform X.
Baca juga : Baim Wong Beri Tangggapan Laporan Paula Verhoeven ke Komisi Yudisial
Mereka menilai, Pengepungan di Bukit Duri hanya menggambarkan kekerasan masyarakat miskin tanpa mengkritisi elite berkuasa.
Salah satu kritik pedas datang dari akun X @prlf**. Ia menyebut film ini sebagai “parade fetisisasi kekerasan yang ditampilkan secara estetik, sambil ditempeli isu rasisme di lapisan paling dangkal.”
Selain itu, akun @tktr**t juga berpendapat.
Ia menyatakan, film ini “gagal menggugat kekuasaan” dan “menghilangkan jejak peran negara serta militer.” Bahkan, ia menilai “brutalitas dijadikan tontonan visual yang ‘menarik’ tanpa kedalaman etis dan historis.”
Menurutnya, Pengepungan di Bukit Duri justru memperkuat narasi lama bahwa kekerasan berasal dari masyarakat miskin. “Padahal sejarah kita justru bicara sebaliknya,” tulisnya.
Kritik tersebut memicu perdebatan panas, namun film juga mendapat dukungan dari sebagian penonton.
Komentar Joko Anwar Tentang Kritik Film Pengepungan di Bukit Duri
Menanggapi kritik itu, Joko Anwar akhirnya angkat bicara. Melalui akun X @jokoanwar, ia memberikan klarifikasi pada Senin, 21 April 2025.
Ia menulis, “Dengan menggambarkan kerusuhan sebagai siklus, film ini justru mengkritik pembiaran struktural—yang tentu saja mencakup negara sebagai aktor besar.”
Lebih lanjut, Joko Anwar menjelaskan alasan di balik pendekatan film ini.
“Ini adalah pilihan kami ketika memutuskan untuk bersuara lewat Pengepungan di Bukit Duri,” tulisnya.
Bahkan, ia memperjelas bahwa kekerasan dalam film adalah hasil sistem negara yang timpang.
“Setiap ruang kosong yang dibiarkan oleh negara—dalam pendidikan, keadilan, dan keamanan—diisi oleh kekacauan. Dan itulah bentuk kritik kami.”
Joko Anwar juga menggambarkan filmnya sebagai “film akibat.”
Menurutnya, brutalitas karakter dalam film adalah cermin dari luka sosial bangsa.
“Perilaku itu lahir dari masyarakat yang sudah terbiasa menyakiti. Dan masyarakat itu dibentuk oleh arah kebijakan, nilai-nilai negara, dan cara bangsa ini menyikapi luka,” jelasnya.
Terkait maraknya kritik di media sosial, Joko Anwar menekankan pentingnya dialog terbuka.
Ia berkata, “Dialog ini bukan soal siapa paling benar, tapi soal keberanian untuk saling mendengarkan. Tanpa itu, film cuma jadi monolog doang.”
Lebih lanjut, ia menegaskan bahwa kritik baginya bukanlah ancaman.
“Bagi saya, kritik itu cermin, bukan ancaman. Jadi jangan kuatir, saya nggak akan resah karena kritik,” tegas Joko Anwar.
Ia mengajak masyarakat untuk berargumen tanpa membungkam orang lain.
“Akan lebih sehat lagi, kalau argumen saya ditanggapi dengan argumen juga dan tidak menyuruh saya untuk diam. Karna saya manusia. Tidak mungkin dibungkam,” pungkasnya.
Dengan klarifikasi tersebut, Joko Anwar menunjukkan sikap terbuka terhadap berbagai tanggapan atas Pengepungan di Bukit Duri.