Bandar Lampung (Lampost.co) — Film perang modern Land of Bad (2024) menawarkan gambaran berbeda tentang medan tempur masa kini. Bukan lagi soal pasukan besar dan serangan frontal, melainkan perang jarak jauh berbasis teknologi drone yang membuat satu kesalahan kecil bisa berujung kematian.
Dibintangi Liam Hemsworth dan Russell Crowe, Land of Bad mengisahkan misi militer rahasia yang gagal total di hutan Filipina. Seorang prajurit terisolasi tanpa dukungan darat, hanya bergantung pada panduan operator drone ribuan kilometer jauhnya.
Land of Bad adalah film perang modern tentang bertahan hidup, keterbatasan teknologi, dan dilema moral dalam peperangan era digital. Film ini menegangkan, meski alurnya dinilai cukup konvensional oleh sebagian kritikus.
Misi Gagal, Satu Prajurit Terjebak di Medan Tempur
Cerita bermula dari operasi pasukan elite Delta Force yang ditugaskan menyelamatkan seorang aset CIA. Misi tersebut berakhir kacau setelah kelompok militan Abu Sayyaf melancarkan serangan mendadak.
Sebagian besar pasukan gugur.
Satu prajurit tertinggal di tengah hutan, terluka, dan dikepung musuh.
Di sinilah fokus film bergeser. Bukan lagi tentang strategi perang besar, melainkan perjuangan bertahan hidup seorang tentara yang hanya bisa mengandalkan arahan dari operator drone Angkatan Udara AS, diperankan Russell Crowe.
Relasi dua karakter ini—satu di ruang kendali, satu di garis tembak—menjadi tulang punggung emosi film.
Perang Drone: Modern, Dingin, dan Penuh Risiko
Berbeda dari film perang klasik yang sarat heroisme, Land of Bad menghadirkan perang modern secara dingin dan realistis. Drone memang memberi keunggulan, tetapi bukan tanpa batasan.
Film ini menyoroti:
-
Keterlambatan data dan salah koordinat
-
Keterbatasan pandangan udara
-
Beban psikologis operator drone yang menyaksikan kematian dari layar monitor
Pendekatan ini membuat Land of Bad kerap dibandingkan dengan Black Hawk Down, namun dengan konteks peperangan abad ke-21 yang lebih sunyi dan tanpa glorifikasi berlebihan.
Apakah Land of Bad Berdasarkan Kisah Nyata?
Land of Bad tidak sepenuhnya berdasarkan kisah nyata. Namun, ceritanya terinspirasi dari operasi militer modern yang mengandalkan drone dalam konflik asimetris, termasuk di kawasan Asia Tenggara dan Timur Tengah.
Penggunaan drone sebagai penentu strategi dan keselamatan pasukan merupakan praktik nyata dalam militer modern. Hal inilah yang membuat film ini terasa relevan dan realistis, meski tokohnya fiktif.
Penilaian Kritikus dan Respons Penonton
Secara umum, Land of Bad menerima respons cukup positif, meski tidak istimewa.
-
Rotten Tomatoes: sekitar 67%
-
Metacritic: 57/100 (ulasan campuran)
-
IMDb: sekitar 5,5–6/10
Kritikus memuji intensitas adegan aksi dan akting Russell Crowe yang solid. Namun, alur cerita dinilai terlalu mengikuti formula film perang pada umumnya, dengan dialog yang kurang tajam.
Di sisi lain, banyak penonton justru merasa film ini lebih seru daripada skor kritiknya. Penggemar film perang modern mengapresiasi ketegangan survival dan sudut pandang perang berbasis teknologi yang jarang diangkat secara mendalam.
Apa yang Membuat Land of Bad Tetap Menarik Ditonton?
Meski bukan film perang terbaik tahun ini, Land of Bad memiliki daya tarik tersendiri, terutama karena:
-
Mengangkat isu perang drone yang relevan dengan konflik global saat ini
-
Menampilkan sudut pandang operator drone, bukan hanya prajurit di lapangan
-
Memadukan aksi militer dengan drama bertahan hidup
-
Didukung nama besar seperti Russell Crowe
Film ini cocok bagi penonton yang menyukai ketegangan cepat dan ingin melihat wajah baru peperangan modern.
Layak Ditonton atau Tidak?
Jika Anda mencari film perang dengan cerita kompleks dan pendalaman karakter mendalam, Land of Bad mungkin terasa biasa. Namun, bagi pencinta aksi militer modern, ketegangan nonstop, dan tema teknologi perang, film ini tetap layak ditonton.
Land of Bad bukan film perang yang ingin dikenang sebagai mahakarya. Namun, film ini berhasil merekam realitas perang masa kini—cepat, sunyi, dan penuh risiko kesalahan fatal.








