Jakarta (Lampost.co) — Pesatnya perkembangan teknologi dan penggunaan Artificial Intelligence (AI) semakin meresap ke berbagai bidang, termasuk dunia musik. Kehadiran teknologi itu mempermudah siapa pun untuk menciptakan musik meski tanpa keterampilan bermusik yang memadai. Namun, di tengah berbagai peluang, muncul pula kekhawatiran tentang dampak AI terhadap esensi dan makna kreatif dari musik itu sendiri.
Saat OpenAI merilis ChatGPT pada 2022, lahir pula aplikasi musik berbasis AI seperti Suno, yang membuat pengguna bisa menghasilkan lagu hanya dengan memberikan kata kunci tertentu. Mesin itiu dengan cepat dapat mengubah instruksi tersebut menjadi komposisi musik lengkap, menghadirkan tantangan sekaligus peluang bagi industri kreatif.
Salah satu contoh penggunaan AI yang menarik datang dari musisi country legendaris, Randy Travis. Setelah mengalami stroke, Travis menggunakan teknologi AI untuk mereproduksi suaranya seperti sebelum sakit. Lagu barunya, Where That Came From, menjadi bukti bagaimana AI membantu seniman tetap berkarya di tengah keterbatasan fisik.
Di ranah internasional, Grammy Awards juga menyikapi fenomena AI. Mereka mengeluarkan regulasi yang tidak menerima karya sepenuhnya yang tercipta dari mesin. Namun, tetap membuka ruang bagi AI sebagai bagian dari proses kreatif. Regulasi itu mengatur AI sebagai alat pendukung bagi musisi, bukan pengganti total.
Sementara di Indonesia, diskusi mengenai musik AI semakin hangat menjelang perhelatan Anugerah Musik Indonesia (AMI) Awards.
Ketua Umum AMI, Candra Darusman, mengatakan pihaknya melakukan Focus Group Discussion (FGD) terkait pemberian penghargaan untuk karya yang melibatkan AI.
“Saat ini, belum ada teknologi yang bisa mengukur seberapa besar porsi AI dalam sebuah lagu. Kami berencana agar tahun depan peserta melakukan self-assessment untuk menyatakan karya yang mereka daftarkan melibatkan AI atau tidak,” ujar Candra.
Dia mengakui AI tak terhindarkan dalam proses kreatif, tetapi menimbulkan kekhawatiran mendalam terkait pengaruh musik AI terhadap makna emosional dari musik itu sendiri. Musik tidak hanya soal enak atau tidak enak didengar, melainkan juga tentang perjalanan emosi manusia.
“Saya khawatir masyarakat akan terbiasa dengan musik yang mesin hasilkan hingga makna dan roh dari musik perlahan hilang. Jika tak bijak, musik bisa kehilangan kedalaman emosionalnya,” ujarnya.
Untuk itu, penerapan regulasi terkait AI akan mulai pada AMI Awards 2025 sebagai langkah responsif dalam menyikapi perubahan lanskap musik.
Respons Westlife hingga Maliq & D’Essentials
Sejumlah musisi global juga mengadopsi penggunaan AI dalam musik. Grup pop asal Irlandia, Westlife, memanfaatkan teknologi AI untuk merilis single berbahasa Mandarin, yang menjadi eksperimen menarik dalam dunia musik digital. Meski begitu, pertanyaan tetap muncul tentang musik yang didengar masih benar-benar karya artis tersebut?
Di Indonesia, grup Maliq & D’Essentials turut merespons tren AI melalui album berjudul Can Machines Fall In Love?. Karyanya tersebut mengajak pendengar merenungkan makna rasa dalam musik. “Kami tidak membenci teknologi, tetapi merasa perasaan tetap menjadi hal terkuat dalam menyentuh pendengar. Sejauh ini kami belum merasakan teknologi mampu menggantikan itu,” ujar Widi, penulis lagu Maliq & D’Essentials.
Album tersebut menggugah diskusi mendalam: Apakah mesin benar-benar dapat memahami dan merasakan cinta? Meski untuk saat ini jawabannya masih “tidak,” bayang-bayang kekhawatiran tetap menghantui. Bagaimana jika, di masa depan, manusia tak lagi peduli pada emosi di balik musik dan lebih fokus pada aspek teknis atau kualitas suara saja?