Jakarta (Lampost.co) – Film Perang Kota karya Mouly Surya resmi tayang di bioskop Indonesia dan jaringan internasional terpilih pada April 2025. Film itu mengadaptasi novel Jalan Tak Ada Ujung karya sastrawan legendaris Mochtar Lubis yang rilis pada dekade 1950-an.
Perang Kota membawa penonton ke Jakarta masa 1946, di masa transisi penuh ketegangan setelah Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya.
Cerita berpusat pada Isa, guru sekolah yang trauma akibat perang dan kehilangan arah dalam hidupnya. Kisahnya makin rumit ketika ia terlibat cinta segitiga dengan istrinya Fatimah dan sahabat pejuangnya, Hazil.
Selain menyajikan romansa dan konflik batin, film tersebut juga memberikan gambaran jujur tentang kekacauan Indonesia pasca-kolonial. Terlebih, Mouly Surya yang menyutradarai film itu membuatnya dengan gaya khas yang intens, emosional, dan penuh kedalaman karakter.
Durasi 1 jam 57 menit terasa padat berisi, menyuguhkan visual Jakarta lama dan atmosfer sejarah yang begitu kuat. Film itu melibatkan kru internasional dari tujuh negara, termasuk pemenang Oscar dan editor peraih penghargaan Asia.
Sinematografinya tampil memukau, sementara tata artistik dan kostumnya menggambarkan suasana 1940-an dengan detail cermat. Sementara, akting para pemain utama, seperti Chicco Jerikho, Putri Marino, dan Jerome Kurnia mendapat pujian karena tampil kuat dan menyentuh.
Publik memuji keberanian Perang Kota dalam mengangkat sisi kelam sejarah yang jarang tersentuh sinema Indonesia modern.
Film itu tidak menutupi luka bangsa, melainkan menampilkannya secara manusiawi, lewat sosok-sosok biasa yang mencari makna. Selain tayang di Indonesia, Perang Kota juga akan tayang dalam sejumlah festival film internasional bergengsi di Asia dan Eropa.
Film itu menjadi langkah besar Mouly Surya setelah kesuksesan film Marlina dan membuktikan konsistensinya di ranah sinema global.
MD Pictures dan BASE Entertainment berkolaborasi dalam produksi film itu demi memperkuat kualitas teknis dan distribusinya. Sehingga, membuat perang Kota bukan hanya tontonan, melainkan refleksi sejarah, cinta, dan perjuangan yang masih relevan untuk generasi sekarang.